SEMA 7/2014 : SEBUAH PEMBENARAN YANG BENAR-BENAR KURANG BENAR

Mahkamah Agung, pada tanggal 31 Desember 2014, mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, dimana SEMA ini, dalam poin nomor 3, mempertegas kembali aturan mengenai pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana yang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. Menurut poin nomor 4, PK dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali hanya dengan alasan apabila terhadap suatu objek yang sama, terdapat 2 (dua) putusan PK yang bertentangan, sesuai dengan SEMA RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali.

Terbitnya SEMA ini mengundang reaksi dari beberapa pihak. Ketua Badan Pengurus Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahyu, dalam siaran persnya kepada hukumonline, Senin (5/1). “ICJR menduga bahwa SEMA No.7 Tahun 2014 lahir karena intervensi Pemerintah melalui Menkopulhukam dan Jaksa Agung ke Mahkamah Agung terkait dengan pembatasan Peninjauan Kembali dalam KUHAP,” ujarnya[1]. Menurutnya, intervensi pemerintah sebagai upaya pengalihan tanggung jawab eksekusi mati kepada MA[2].

Kemudian, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti mengatakan bahwa SEMA ini akal-akalan Mahkamah Agung supaya Kejaksaan Agung bisa eksekusi terpidana hukuman mati[3]. Lebih lanjut, Poengky menambahkan bahwa Ia berpandangan SEMA telah menambrak konstitusi. Pasalnya, KUHAP bersifat lex spesialis sejak adanya putusan MK, khususnya terkait pengajuan PK. Soalnya norma baru tersebut mengesampingkan norma lama, yakni Pasal 24 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman[4]. “Perlu kami ingatkan bahwa keputusan MK tersebut adalah pembatalan norma prosedural yang diatur dalam UU yang lex spesialis yaitu KUHAP. Dan norma yang diatur dalam lex spesialis ini juga ada dan ditentukan di dalam UU yang bersifat generalis seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung,” ujarnya[5].

Hal yang senada disampaikan oleh Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi. Menurutnya, pembatasan pengajuan PK melalui SEMA membuat ketidakadilan terhadap terpidana yang masih menempuh upaya hukum. Ia khawatir terpidana yang dihukum mati ketika di eksekusi, belakangan terdapat bukti baru yang membuktikan bukan terpidana dimaksud sebagai pelaku kejahatan. “Seperti kasus Sengkon dan Karta. Jadi saya kira SEMA ini bukan saja sebuah kekeliruan, tetapi kekonyolan,” ujarnya[6].

Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial (KY), Imam Anshori Saleh, menyatakan bahwa SEMA tersebut adalah tidak tepat apabila dipandang dari sisi tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena putusan MK lebih tinggi daripada SEMA, sehingga aturan dalam peraturan yang lebih rendah tidak dapat menghapuskan aturan dalam peraturan yang lebih tinggi[7]. Pendapat serupa juga disampaikan hakim agung, Gayus Lumbuun, yang menyatakan bahwa dalam pemahaman Hukum Administrasi Negara, kedudukan sebuah Surat Edaran (circular) berada dibawah Peraturan (regeling), oleh karena itu SEMA No 7 Tahun 2014 tidak dapat mengenyampingkan Putusan MK tersebut[8].

MK pun menyayangkan sikap MA yang menafsirkan sendiri konstitusi tanpa mengindahkan putusan MK. Wakil Ketua MK, Arief Hidayat, menyatakan bahwa yang dilakukan MA dapat dikatakan sebagai pembangkangan, dimana penafsiran konstitusi yang dilakukan MK semestinya adalah yang dipakai dalam SEMA. Kalau terjadi ketidakpatuhan, maka itu pelanggaran terhadap konsesi hukum dan puncak hukum tertinggi itu konstitusi. Dia pun mengaku prihatin jika ada pihak-pihak yang tidak mematuhi putusan MK. Sebab MK sebagai lembaga penafsir konstitusi tertinggi dan final berdasarkan UUD 1945 seharusnya putusannya dipatuhi dan diikuti oleh lembaga lain. Dengan kata lain, lembaga di luar MK tidak bisa menafsirkan konstitusi secara sendiri berdasarkan kewenangan masingmasing. “Kalau begitu, hukum di Indonesia tidak dijalankan menurut konstitusi atau UUD 1945,” tandasnya. Arief menerangkan, diperbolehkannya PK diajukan berkali- kali justru mempertimbangkan asas kehati-hatian dalam memutus. Dengan prinsip, jika ditemukan novum (bukti baru), upaya hukum luar biasa itu bisa diajukan dan itu bisa berulang kali[9].

Ketua MK, Hamdan Zoelva, ikut mengomentari terbitnya SEMA 7/2014 dengan menyatakan, adanya ketentuan PK berkali-kali seharusnya tidak menjadi polemik untuk mempertanyakan di mana letak kepastian hukumnya. Menurut dia, siapa pun yang pernah belajar hukum harusnya mengetahui vonis pada tingkat kasasi telah memberikan kepastian hukum. Karena itu, seharusnya eksekusi bisa dilaksanakan. Kalau tidak bisa dilaksanakan karena adanya ketentuan PK bisa diajukan berkali-kali, menurut Hamdan, itu merupakan cara berpikir yang tidak benar[10].

Mengenai pertimbangan poin nomor 1 dan 2 SEMA 7/2014, yang menyatakan bahwa MK hanya menghapus ketentuan PK dalam pasal 268 (3) KUHAP, dan tidak menghapus ketentuan PK di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, menurutnya, MK memang tidak membatalkan ketentuan PK yang berada pada UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman. Sebab kedua norma tersebut terlalu umum. Adapun yang dimohonkan waktu itu adalah untuk perkara pidana[11].

Di sisi lain, hakim agung, Suhadi, menyatakan bahwa alasan tujuan dikeluarkan SEMA 7/2014, yang mengatur bahwa PK dalam perkara pidana hanya dapat diajukan 1 kali adalah untuk memberikan kepastian hukum. Selain itu, lambatnya eksekusi terhadap gembong narkoba juga menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi terbitnya SEMA tersebut[12]. Hal senada juga diutarakan oleh hakim ad-hoc tindak pidana korupsi pada tingkat kasasi, Prof. Dr. Krisna Harahap. “Kalau boleh dua kali, tiga kali, empat kali dan seterusnya, kapan bisa dieksekusi?” kata Prof. Krisna[13].

Krisna juga menilai SEMA bukan mengesampikan putusan MK karena putusan MK tidak serta merta menghapus pasal di UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA tersebut. Putusan MK tersebut juga tidak memiliki cover yang cukup kuat untuk serta merta menghapus UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung[14]. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Kepala Biro HUkum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, yang menyatakan bahwa SEMA itu bukanlah bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK. SEMA itu diterbitkan sebagai panduan bagi para hakim dalam mempertimbangkan dan memutus. “Selanjutnya terserah hakim tingkat pertama (pengadilan negeri) yang akan memutus apakah akan diteruskan atau tidak (PK-nya) ke MA serta hakim agung yang akan memutuskan demi keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat,” paparnya[15].

Dari jabaran-jabaran di atas, maka dapat kita lihat bahwa terbitnya SEMA 7/2014 ini didasari atas 2 (dua) hal. Yang pertama, sebagai tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014, yang menyatakan ketentuan pasal 268 ayat (3) KUHAP (yang mengatur tentang PK hanya dapat dilakukan 1 kali) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan putusan MK ini, PK dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, tanpa batasan. Yang kedua adalah sebagai tanggapan atas PK yang diajukan oleh beberapa gembong narkoba yang telah divonis mati, sehingga PK dinilai menghalangi jalannya eksekusi terhadap para gembong narkoba tersebut. Selain itu, dikhawatirkan PK yang dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali (berulang kali) akan digunakan sebagai instrumen bagi terpidana untuk berkali-kali mengajukan PK dengan tujuan menunda eksekusi, atau dengan kata lain, PK berulang kali dapat menunda eksekusi dari pidana yang dijatuhkan kepada terpidana.

Apabila kita menelaah lebih dalam, maka permasalahan utama yang menjadi pembahasan atas terbitnya SEMA 7/2014 adalah :

  1. Apakah SEMA dapat mengenyampingkan ketentuan yang ada dalam putusan MK?
  2. Apakah benar upaya hukum PK dapat menunda eksekusi putusan pidana, termasuk eksekusi putusan pidana mati?
  3. Apakah memang PK pada dasarnya dapat diajukan lebih dari 1 kali dalam perkara pidana, sesuai dengan putusan MK?

Untuk pertanyaan pertama, kita harus mengacu kepada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2), pada intinya, menyatakan bahwa peraturan, yang salah satunya, dikeluarkan oleh Mahkamah Agung diakui keberadaannya dan memiliki hukum mengikat selama diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dan apabila kita melihat kepada pasal 79 UU 14/1985 jo. UU 5/2004 jo. UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung, maka disebutkan bahwa “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”, dimana penjelasannya berbunyi:

Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.

Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian.

Permasalahan yang timbul dari aturan ini adalah tidak dijelaskannya bentuk peraturan yang dapat dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, sehingga pada akhirnya ditafsirkan bahwa kewenangan Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung adalah mengacu kepada pasal ini, sehingga pada akhirnya SEMA dapat disebut sebagai peraturan perundang-undangan. Apakah putusan MK adalah peraturan perundang-undangan juga sehingga muncul pendapat bahwa SEMA sebagai aturan yang lebih rendah tidak dapat mengesampingkan putusan MK sebagai aturan yang lebih tinggi?

Perlu dipahami bahwa putusan MK pada dasarnya bukan lah peraturan perundang-undangan. Namun, sifat dari putusan MK adalah mengubah undang-undang, yang adalah peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) angka 3 UU 12/2011. Menurut penulis, apabila ada putusan MK yang membatalkan suatu pasal, atau kata, atau frasa, dalam satu undang-undang, atau satu undang-undang tersebut dibatalkan, maka dengan sendirinya putusan MK tersebut mengubah undnag-undang tersebut. Hubungan antara undang-undang dan SEMA sendiripun sebenarnya tidak dijelaskan hierarki nya, karena UU 12/2011 hanya memasukkan UUD NRI 1945, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi, dan Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hierarki nya, sedangkan SEMA dan peraturan lainnya, seperti yang diterbitkan BI, BPK, dan lain sebagainya, disebut diakui keberadaannya dan mengikat dengan syarat seperti yang telah dijelaskan di atas, tanpa dijelaskan hierarki nya dimana. Namun, dalam praktik ketatanegaraan, SEMA dan peraturan-peraturan lainnya tersebut, secara hierarki, diletakkan dibawah UUD NRI 1945, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi, dan Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sehingga, berdasarkan hal-hal ini, dapat dikatakan bahwa aturan dalam putusan MK, secara sifat, lebih tinggi dari SEMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.

Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal sebuah teori yang dikenalkan oleh Hans Kelsen, yang disebut sebagai Stufenbau Theory, yang artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berada di atasnya. Dengan bekaca kepada teori ini, dan melihat secara sifat bahwa SEMA, secarta hierarkis berada dibawah undnag-undang yang diubah dengan putusan MK, maka sangat jelas bahwa pada dasaranya, SEMA tidak boleh bertentangan dengan undnag-undang, yang telah diubah dengan putusan MK, atau dengan kata lain, SEMA tidak boleh bertentangan dengan putusan MK.

Untuk pertanyaan, “Apakah benar upaya hukum PK dapat menunda eksekusi putusan pidana, termasuk eksekusi putusan pidana mati?”, kita harus kembali ke dalam aturan-aturan mengenai PK itu sendiri dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam KUHAP (UU 8/1981) sendiri, ketentuan mengenai hal ini telah diatur secara jelas dan gamblang dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP, dimana dinyatakan bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”. Dari aturan ini, kta sudah dapat menjawab pertanyaan di atas, bahwa tidak benar pengajuan PK dapat menunda eksekusi putusan pidana. Sehingga, pendapat yang menyatakan bahwa PK berulang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum adalah salah, karena seperti ketentuan di atas, PK sendiri tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan yang dijatuhkan, sehingga hal tersebut adalah suatu bentuk kepastian hukum sendiri. Selain itu, dengan melihat kepada sifatnya serta aturan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa PK hanya bisa diajukan terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, dengan proses PK yang setelah proses upaya hukuk kasasi,maka putusan kasasi adalah putusan yang dapat dikatakan sebagai putusan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ada upaya hukum.

Selain itu, Karena aturan ini tidak memberikan pengecualian pada pemidanaan tertentu, maka, pidana mati, yang termasuk dalam salah satu bentuk pemidanaan, yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, eksekusi atau pelaksanaannya tidak lah dapat ditunda dengan adanya pengajuan PK. Selain itu pula, dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP dinyatakan apabila setelah PK diajukan (sebelum putusan), pemohon PK meninggal dunia, ahli waris dapat menentukan apakah PK yang diajukan akan dilanjutkan atau tidak. Selain itu, Pasal 263 ayat (1) KUHAP juga telah menjelaskan bahwa ahli waris dapat mengajukan PK. Sehingga, berdasarkan hal-hal ini, pendapat yang mendasari terbitnya SEMA ini yang mendasarkan kepada lambatnya eksekusi pidana mati beberapa gembong narkoba adalah tidak tepat, karena pada dasarnya, para gembong tersebut dapat dieksekusi, walaupun masih dapat mengajukan PK.

Untuk pertanyaan ketiga, apakah seharusnya PK dapat diajukan lebih dari 1 kali, sesuai putusan MK? Atau dengan kata lain, bagaimana sebenarnya pengaturan pengajuan PK? Untuk menjawab ini, penulis akan mengambil gambaran yang ada di Belanda, mengingat secara historis, hukum Indonesia banyak mengadopsi hukum Belanda, yang saat itu mnejajah Indonesia. Lalu, bagaimana pengaturan PK untuk perkara pidana di Belanda?

Imam Nasima, dalam tulisannya yang berjudul “Seperti Apa Pengaturan Peninjauan Kembali Di Belanda?”, menceritakan bahwa telah terjadi perkembangan di Belanda mengenai pengaturan pengajuan PK, dimana terdapat beberapa perkara pidana yang belakangan hari dibuka kembali, karena ditemukannya bukti atau kesaksian baru yang membuat putusan sebelumnya terbantahkan, seperti kasus pembunuhan Putten, Schiedam, atau Deventer, selama memenuhi syarat-syarat pengajuan PK di Belanda, yaitu atas dasar (1) adanya putusan-putusan (BKHT) yang isinya saling bertentangan, (2) adanya putusan Mahkamah HAM Eropa yang menetapkan adanya pelanggaran prosedur dan PK dibutuhkan untuk pemulihan hukum, atau (3) jika terdapat “novum”.

Mengacu kepada putusan MK, ada hal yang menarik untuk kita ketahui bersama bahwa sebenarnya, pemohon dalam putusan MK nomor 34/PUU-IX/2013, Antasari Azhar, menguji pasal 268 ayat (3) KUHAP mengenai PK dalam perkara yang hanya dapat dilakukan 1 kali kepada Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu hak mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi[16]. Pemohon juga “hanya” meminta MK untuk menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD NRI 1945 jika dimaknai “tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi”, atau dengan kata lain, meminta MK melakukan “konstitusional bersyarat” atas pasal tersebut. Jadi, pada intinya, pemohon hanya meminta PK diperbolehkan lebih dari 1 kali dengan syarat jika ditemukan keadaan baru (novum) yang selama persidangan belum dimanfaatkan atau belum ditemukan[17], yaitu yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP.

Sebenarnya, permohonan Antasari Azhar ini sama dengan perkembangan mengenai pengaturan pengajuan PK dalma perkara pidana di Belanda. Di Belanda, menurut Imam Nasima, masih dalam tulisan yang sama, terdapat perubahan dalam undang-undang mengenai PK yang menguntungkan (untuk kepentingan terdakwa) yang berlaku mulai tanggal 1 oktober 2012 yang lalu, yang salah satunya adalah terkait dengan pengertian “novum” yang diperluas. Dalam undang-undang yang baru, “novum” bukan hanya berarti sebuah kondisi faktual baru, tetapi juga perspektif-perspektif baru yang didapatkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya hasil temuan baru yang didapatkan dengan penggunaan teknik forensik terbaru. Dengan demikian, pengertian fakta baru bukan lagi harus dipahami sebagai adanya sebuah fakta (baru) lain, tetapi bisa juga cara baru untuk memeriksa fakta tersebut. Misalnya, ditemukannya bercak darah bisa saja sudah terjadi sebelumnya, tetapi melalui pemeriksaan DNA yang baru dikenal, ternyata ditemukan hasil pemeriksaan yang baru.

Dengan perspektif bahwa dunia ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang terus berkembang, seperti pemeriksaan DNA yang telah dijelaskan di atas, maka seharusnya PK tidak dapat dibatasi hanya 1 kali, karena tidak menutup kemungkinan bahwa ada perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang dapat dijadikan dasar untuk mengubah hukuman terhadap seseorang, dari yang bersalah menjadi tidak bersalah, atau sebaliknya. Coba kita bayangkan bersama, bagaimana apabila seseorang telah divonis bersalah, dan ternyata ada perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang diduga kuat, dapat dijadikan dasar untuk menjadikan vonis atas dirinya berubah menjadi tidak bersalah, namun tidak ada lagi upaya hukum yang bisa diajukan, karena PK hanya bisa diajukan 1 kali. Apa upaya yang dapat ditempuh oleh terpidana dan/atau ahli warisnya? Apakah adil bagi terpidana dan/atau ahli warisnya atas hal ini?

Untuk itu, sebaiknya, PK, terutama dengan alasan adanya novum, baik dalam arti benar-benar fakta baru, maupun dalam arti adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi terhadap fakta lama yang menghasilkan pandangan baru terhadap fakta tersebut, tidak dapat dibatasi hanya 1 kali. Hal ini dikarenakan tidak ada yang dapat memastikan bahwa tidak akan ada novum yang dapat mengubah status terpidana, karena kemungkinan untuk adanya novum tersebut selalu ada sampai kapanpun juga.

Terkait putusan MK nomor 34/PUU-IX/2013 dan dampaknya, yaitu diperbolehkannya pengajuan PK lebih dari 1 kali dalam perkara pidana, setidaknya ada beberapa hal menarik yang dapat kita lihat bersama. Yang pertama, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa pada dasarnya, Antasari Azhar (pemohon) hanya mengajukan pembatalan Pasal 268 ayat (3) KUHAP secara “konstitusional bersyarat”, yaitu dalam arti pasal tersebut tetap konstitusional sepanjang memperbolehkan PK diajukan lebih dari 1 kali, hanya untuk alasan yang ada dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, yaitu terdapat keadaan baru (novum). Namun, MK ternyata menghapuskan pasal 268 ayat (3) KUHAP secara keseluruhan, sehingga bukan hanya terkait novum yang dapat diajukan PK lebih dari satu kali, namun juga 2 syarat lain, yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf b dan c KUHAP, yaitu terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 263 ayat (2) KUHAP). Sehingga, dapat dilihat, MK dalam perkara ini memutus melebihi yang dimintakan oleh pemohon, atau yang biasa disebut ultra petita[18].

Yang kedua adalah mengenai pernyataan Ketua MK (pada saat itu), Hamdan Zoelva, dalam menanggapi isi SEMA 7/2014, yang menyatakan bahwa MK tidak menghapus ketentuan mengenai PK hanya dapat diajukan 1 kali di dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Hamdan Zoelva menyatakan bahwa MK tidak menghapus ketentuan PK yang hanya dapat diajukan 1 kali dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung, karena ketentuan PK dalam UU-UU tersebut bersifat sangat umum, terutama mengandung pula arti PK dalam perkara perdata, tata usaha negara, agama, dan militer. Padahal, yang diajukan oleh Antasari Azhar hanyalah PK dalam perkara pidana. Apabila MK menghapus pasal mengenai PK dalam UU-UU tersebut, maka akan membawa dampak secara langsung bagi pengajuan PK perkara perdata, tata usaha negara, agama, dan militer, dimana dalam perkara-perkara tersebut, PK juga dapat diajukan lebih dari 1 kali, suatu hal yang sebenarnya harus diuji terlebih dahulu apakah benar dapat diajukan 1 kali.

Menurut penulis, pendapat Hamdan Zoelva ini patut untuk dikritisi lebih lanjut karena sebenarnya MK bisa menjatuhkan putusan “konstitusional bersyarat” dengan menyatakan bahwa pasal mengenai PK dalam UU-UU tersebut konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang diartikan tidak termasuk PK dalam perkara pidana. Apakah ultra petita? Jelas. Karena pemohon tidak mengajukan permohonan terkait pasal mengenai PK dalam UU-UU tersebut. Tapi, bukankah sebelumnya MK telah melakukan ultra petita terhadap permohonan pemohon, dimana yang diminta hanya untuk novum (Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP), lalu MK menghapus keseluruhan pasal? Mengapa tidak melakukan ultra petita pula untuk pasal mengenai PK dalam UU-UU tersebut, untuk menghindari kerancuan seperti yang terjadi saat ini, dimana Mahkamah Agung, menggunakan pasal mengenai PK dalam UU-UU tersebut sebagai dasar untuk “membelot” dari putusan MK, dengan mengatur dalam SEMA 7/2014, dimana PK hanya dapat diajukan 1 kali?

Yang ketiga adalah terkait SEMA 7/2014, yang merupakan “jawaban” Mahkamah Agung terhadap putusan MK tersebut. Menurut penulis, Mahkamah Agung terkesan memaksakan bahwa PK hanya dapat dilakukan 1 kali dengan mengeluarkan SEMA tersebut. Dalam ilmu hukum, dikenal asas dimana peraturan perundang-undangan yang lebih khusus lebih kuat dibandingkan peraturan yang lebih umum, atau biasa disebut dengan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Mengenai ketentuan PK, tentu saja KUHAP adalah peraturan yang lebih khusus (lex spesialis) daripada UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung (lex generalis), karena KUHAP khusus mengatur mengenai PK dalam perkara pidana, sedangkan ketentuan PK dalam UU-UU tersebut tidak hanya untuk perkara pidana, namun juga untuk perkara perdata, agama, tata usaha Negara, dan militer. Seharusnya, ketentuan PK dalam UU-UU tersebut tidak dapat dijadikan dasar oleh Mahkamah Agung dalam SEMA 7/2014 untuk menyatakan PK dalam perkara pidana hanya dapat diajukan 1 kali, karena untuk ketentuan mengenai PK dalam perkara pidana, dalam peraturan yang lebih khusus, yaitu KUHAP, sudah dihapus dan dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK, berdasarkan putusan MK nomor 34/PUU-IX/2013.

Berdasarkan hal di atas, maka seharusnya, ketentuan mengenai PK dalam UU-UU tersebut tidak lagi mengikat untuk perkara-perkara pidana, melainkan hanya untuk perkara-perkara perdata, agama, tata usaha Negara, dan militer. Menurut penulis pribadi, Mahkamah Agung terkesan seperti anak-anak dengan memaksakan PK dalam perkara pidana hanya boleh diajukan 1 kali dengan pembenaran formil belaka. Suatu hal yang menurut penulis tidak layak ditunjukkan oleh sebuah institusi seperti Mahkamah Agung.

Alasan yang timbul dari penolakan PK berulang kali, banyak dihubungkan dengan eksekusi hukuman mati, dimana ada anggapan bahwa PK berulang kali akan menimbulkan ketidakpastian hukum atas terpidana, sehingga kejaksaan sebagai eksekutor putusan akan selalu menunda eksekusi hukuman mati, sampai ada putusan yang tidak diajukan upaya hukum lagi. Eksekutor merasa ragu untuk mengeksekusi terpidana karena apabila nantinya sudah ada putusan PK yang tetap menjatuhkan pidana mati kepada terpidana, yang mana seharusnya dapat langsung dieksekusi, lalu terpidana dieksekusi, lalu diajukan PK lagi oleh ahli warisnya, dan ternyata terpidana tidak bersalah, maka bagaimana mengembalikan keadaan si terpidana yang sudah dieksekusi karena merehabilitasi/mengembalikan nyawa terpidana yang sudah mati adalah hal yang tidak mungkin.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, dalam konstruksi terdakwa dinyatakan bersalah, apakah dengan PK yang dilakukan hanya 1 kali menutup kemungkinan bahwa terpidana ternyata tidak bersalah? Jawabannya adalah tidak. Akan selalu ada peluang bahwa terpidana ternyata tidak bersalah, misalnya ditemukan novum baru yang menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya. Lalu, dengan PK yang dibatasi hanya dapat diajukan 1 kali, bagaimana keluarga terdakwa mendapatkan keadilan hukum atas terpidana hukuman mati yang mungkin telah dieksekusi, dan ternyata tidak bersalah? Bukankah PK yang dapat diajukan berulang kali dapat memberikan keadilan hukum atas kepastian hukum yang telah diterima oleh terpidana hukuman mati yang telah dieksekusi?

Sebenarnya, permasalahan eksekusi pidana mati tidak lah tepat apabila dikaitkan dengan PK yang dapat diajukan berulang kali, seperti yang telah penulis jelaskan di atas. Permasalahan eksekusi pidana mati lebih baik dibahas dalam lingkup mengenai jangka waktu eksekusi pidana mati dan mekanisme apa yang dapat ditempuh oleh ahli waris, apabila terpidana yang sudah dieksekusi mati, ternyata dinyatakan tidak bersalah. Misalnya, apakah dapat menempuh mekanisme permintaan ganti rugi yang harus diberikan kepada ahli waris terpidana yang sudah “terlanjur” dieksekusi? Bagaimana menempuh mekanisem tersebut? Apakah langsung dalam putusan PK, atau harus mengajukan gugatan perdata, atau yang lain? Hal itu yang seharusnya dipikirkan terkait hukuman mati dan PK lebih dari 1 kali, bukan malah membatasi pengajuan PK yang dapat berakibat terbatasnya hak terpidana dan ahli waris terpidana untuk mendapatkan kepastian dan keadilan hukum atas terpidana.

Menurut penulis, SEMA ini hanya upaya menutup mata atas keadilan hukum yang seharusnya diterima terpidana dan ahli warisnya, dan lebih menekankan kepada kepastian hukum berupa keyakinan dari eksekutor untuk segera mengeksekusi terpidana mati, yang mana pada dasarnya, keyakinan ini sebenarnya tidak perlu dicari, karena sudah datang melalui aturan bahwa PK tidak menghalangi atau menunda eksekusi, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, sehingga eksekutor seharusnya tidak perlu ragu untuk mengeksekusi terpidana dengan hukuman mati. SEMA ini hanya menutup kemungkinan untuk terpidana dan ahli warisnya mendapatkan status bahwa terpidana ternyata tidak bersalah dengan membatasi pengajuan PK yang hanya dapat dilakukan 1 kali.

Merumuskan suatu kebijakan atau peraturan yang mengatur orang banyak hendaklah menggunakan dudukan yang tepat dan dasar yang seharusnya dijadikan tempat berpijak, bukan berdasarkan dasar-dasar yang tidak tepat dan cenderung mengada-ada, terlebih menggunakan pijakan lain, padahal pijakan yang tepat sudah disediakan. Inilah gambaran mengenai terbitnya SEMA 7/2014, yang membatasi pengajuan PK dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan 1 kali, yang “membelot” dari putusan MK, yang memperbolehkan pengajuan PK lebih dari 1 kali dalam perkara pidana. Pendapat bahwa PK dapat menunda eksekusi, terutama hukuman mati, sangatlah tidak tepat dan mengada-ada, karena KUHAP sendiri sudah menjelaskan bahwa PK tidak menghalangi eksekusi, termasuk eksekusi hukuman mati.

Terkait hukuman mati, seharusnya bukan PK dalam perkara pidana yang dibatasi, yang mana dengan pembatasan itu pula, tidak menutup kemungkinan bahwa terpidana mati yang sudah dieksekusi pada dasarnya tidak bersalah. Seharusnya lebih dipikirkan mekanisme-mekanisme terkait hukuman mati, seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Selain itu, perlu dipikirkan bersama mengenai adanya novum yang bisa kapan saja muncul, yang dapat mengubah status kesalahan dari terpidana. Jangan menutupi kemungkinan mengenai adanya novum tersebut dengan membatasi pengajuan PK dalam perkara pidana. Jangan menutupi proses hukum yang dapat ditempuh oleh ahli waris terpidana mati untuk mendapat keadilan hukum mengenai status kesalahan terpidana mati.

Dan, hendaknya para penegak hukum di Indonesia memiliki visi yang sama mengenai kesatuan hukum, sehingga tidak ada lagi perbedaan pendapat antara satu institusi hukum dengan institusi hukum lainnya, yang dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perumusan keputusan-keputusan hukum harus diputuskan secara visioner dengan logika yang tepat, sehingga keputusan tersebut tidak hanya berguna untuk saat ini, tapi juga berguna untuk di masa yang akan datang, dan terutama, tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang.

 

*Tulisan ini telah dikoreksi dengan tulisan berjudul “Koreksi Atas Tulisan SEMA 7/2014:Sebuah Pembenaran Yang Benar-benar Kurang Benar, serta Komentar Atas Putusan MK No. 45/PUU-XIII/2015 dan 66/PUU-XIII/2015”. Silahkan baca disini:

https://kanggurumalas.com/2016/07/24/koreksi-atas-tulisan-sema-72014-sebuah-pembenaran-yang-benar-benar-kurang-benar-serta-komentar-atas-putusan-mk-no-45puu-xiii2015-dan-66puu-xiii2015/

 

[1]“Pemerintah Diminta Tidak Intervensi Mahkamah Agung, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54aa6191a5547/pemerintah-diminta-tidak-intervensi-mahkamah-agung, diakses pada Selasa, 6 Januari 2014, pukul 12.00 WIB.

[2] Ibid.

[3] “SEMA Pembatasan PK Dinilai Akal-akalan MA”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54aa4faaf2a48/sema-pembatasan-pk-dinilai-akal-akalan-ma, diakses pada Selasa, 6 Januari 2014, pukul 12.00 WIB.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] “SEMA Tidak Bisa Menghapus Putusan Mahkamah Konstitusi”, http://www.gresnews.com/berita/hukum/20041-sema-tidak-bisa-menghapus-putusan-mahkamah-konstitusi/, diakses pada Selasa, 6 Jnauari 2015, pukul 12.00 WIB.

[8] “Peraturan Mahkamah Agung Tentang PK Tidak Bersebrangan Dengan Putusan MK”, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/01/17313831/Peraturan.Mahkamah.Agung.tentang.PK.Tidak.Berseberangan.dengan.Putusan.MK, diakses pada Selasa, 6 Januari 2015, pukul 12.00 WIB.

[9] “MA Dinilai Membangkangi Konstitusi”, http://www.koran-sindo.com/read/946663/149/ma-dinilai-membangkangi-konstitusi-1420520533, diakses pada Selasa, 6 Januari 2015, pukul 12.00 WIB.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Andi Saputra, “Lambatnya Eksekusi Gembong Narkoba Jadi Salah Satu Alasan Dikeluarkannya SEMA”, http://news.detik.com/read/2015/01/02/093852/2792201/10/lambatnya-eksekusi-gembong-narkoba-jadi-salah-satu-alasan-keluarnya-sema?nd771104bcj, diakses pada Selasa, 6 Januari 2015, pukul 12.00 WIB.

[13] Andi Saputra, “Eksekusi Mati Gembong Narkoba Lambat, Prof Krisna : SEMA Itu Jalan Keluar”, http://news.detik.com/read/2015/01/04/094953/2793412/10/eksekusi-mati-gembong-narkoba-lambat-prof-krisna-sema-itu-jalan-keluar?n991104466, diakses pada Selasa, 6 Januari 2015, pukul 12.30 WIB.

[14] Ibid.

[15] “MA Dinilai Membangkangi Konstitusi”…, loc.cit.

[16] Disamping itu, pemohon juga mendasarkan kepada Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu tentang hak mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan yang adil di hadapan hukum. Yang penulis maksudkan dalam hal ini adalah, Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 adalah pasal yang menjadi stretching point dalam permohonan tersebut.

[17] Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2013, halaman 10-11.

[18] Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, penjatuhan putusan yang melebihi permohonan, atau ultra petita, dapat dilakukan dalam konteks constitutional review, dengan melihat kepada sejarah, yaitu putusan John Marshall (Chief Justice of Supreme Court United States of America/Ketua Mahkamah Agung Amerika) dalam kasus Marbury vs Madison (Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan MK”, http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/, diakses pada hari Kmais, 22 Januari 2015, pukul 16.00 WIB).

23 thoughts on “SEMA 7/2014 : SEBUAH PEMBENARAN YANG BENAR-BENAR KURANG BENAR

  1. sema tidak ada dalam hirearki peraturan perundang-undangan indonesia, tetapi dalam sema 7 2014 mempertegaskan pasal 66 (1) UU MA dan pasal 24 (2) UU KK bahwa putusan MK nomor 34/puu-xi/2013 tidak serta merta menghapus norma hukum dari pasal pasal 66 (1) UU MA dan pasal 24 (2) UU KK. yang ingin saya pertegas dari kata-kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, tentang “norma yang baru mengesampingkan norma lama” ini adalah hal yang baru saya dengar, karena dari kata aslinya lex specialis derogat legi generali. Lex disini berasal dari bahasa latin yang berarti undang-undang, sedangkan norma berasal dari bahasa latin “norma” yang secara etimologis merupakan standar perilaku didasarkan pada prinsip atau bahasa indonesiannya asas[Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum (edisi revisi), kencana, jakarta, 2014, h 52]. sekian terima kasih

    Like

    1. terima kasih atas komentarnya..namun mohon maaf saya tidak sependapat bahwa sema tidak memiliki kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia..dia memiliki tempat hanya saja tidak jelas hierarkinya dimana..ketidakjelasan ini bukan berarti menghapus keberadaan sema dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia..

      terkait dengan pendapat DE Imparsial, Poengky Indarti tersebut, saya bukan dalam posisi membenarkan atau menyalahkan..saya hanya mengutip bagaimana reaksi beberapa pihak atas munculnya SEMA tersebut, salah satunya adalah beliau..dan kalau boleh mengkoreksi, lex specialis derogat lege generalis bukan “hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama”..itu adalah “lex posteriori derogat legi priori”..lex specialis derogat legi generali adalah peraturan yang lebih khusus mengenyampingkan peraturan yang lebih umum..mungkin disisi itu media yang saya rujuk salah mengutip atau memang beliau salah menyebutkan..namun apabila kita baca secara menyeluruh, tampak jelas bahwa yang dimaksud beliau adalah lex specialis derogat legi generalis..aturan dalam KUHAP adlh yang lebih khusus ttg acara pidana daripada UU KK atau UU MA, shg apabila norma dalalm KUHAP dihapuskan, tidak bisa lagi merujuk kepada UU KK dan UU MA terkait hukum acara pidana..

      Salam..terima kasih..

      Like

      1. maaf saya salah, keburu komen aja sampe ga fokus, penekanan saya hanya norma itu lain dengan lex. saya hanya mau mengoreksi yang dikatakan norma baru mengesampingkan norma yang lama adalah hal yang salah. yang benar adalah aturan/undang2 baru mengenyampngkan aturan/undang2 yang lama. terima kasih atas koreksinya.

        sedangkan menurut saya dari konsepnya saja udah beda, SURAT EDARAN MA dan PERATURAN MA, surat edaran hanya berisi petunjuk, sedangkan perma adalah peraturan/pengaturan, yang keduanya hanya mengikat lingkup mahkamah agung dan peradilan yang dibawahnya. dalam pasal 8 (1) UU12/2011 “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 (1) mencakup “peraturan” yang ditetapkan …Mahkamah Agung……..” . jelas tertulis disitu adalah “peraturan” bukan surat edaran.

        dan pasal 79 UU 14/1985 dan penjelasannya yang jelas didalamnya memuat kata “peraturan” bukan surat edaran, pasal 79 UU 14/1985 dan penjelasannya mengatakan ;untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal2 yang belum cukup diatur dalam uu 14/1985 dan terdapat kekosongan hukum dalam suatu hal (dalam hal ini PK) MA berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap.
        sudah jelas yang dimaksud diatas adalah apabila terjadi kekosongan hukum, dan masalah PK tidak terjadi kekosongan hukum, karena sudah diatur di KUHAP, UUMA, dan UUKK. hanya tergantung MA bagaimana sedapat mungkin menafsirkan UU mana yg dipakai (asas preferensi), tetapi MA tetap memilih menggunakan UUMA dan UUKK yang dipertegaskan dalam sema 7/2014.
        contoh dikeluarkannya peraturan akibat kekosongan hukum adalam PERMA 1/1980 tentang PK.
        ma dapat mengeluarkan perma, sema, fatwa, sk
        itu pendapat saya… selebihnya nnti saya tanya ke ahli hukum tata negara tentang peraturan perundangan-undangn, sekian terima kasih…..

        Like

      2. terima kasih kembali atas tanggapannya..namun saya pribadi tidak mengartikan “peraturan” yang ada dalam UU 12/2011 ataupun UU MA sebagai “Peraturan MA” atau Perma..kalau kita berpegang secara formil bahwa “peraturan” adalah hanya yang dinamakan “peraturan”, ya bisa saja..hanya saja tidak ada satupun perundang-undangan atau literatur yang menyebutkan bahwa kata “peraturan” itu mencakup apa saja, bahkan di UU 12/2011 dan UU MA..jadi, saya simpulkan, bahwa segala yang bersifat “mengatur” dari MA adalah “peraturan” sebagaimana yang dimaksud dalam UU 12/2011 dan UU MA..terlepas dari penamaannya apakah berbentuk “SEMA” atau “Perma”..

        tapi memang masalah ini adalah masalah panjang yang sudah sering saya dengar dan belum pernah diselesaikan..saya sangat menerima perbedaan pendapat mengenai hal ini..terutama ketika tidak ada aturan yang jelas mengenai apa saja yang disebut sebagai “peraturan” dalam UU 12/2011 dan UU MA..

        masalah kekosongan hukum jelas bahwa tidak ada kekosongan hukum dan itu sudah saya jelaskan pula dalam tulisan saya..jadi, sema itu, yang saya artikan masuk ke dalam “peraturan”, tidak bisa dikeluarkan..

        terima kasih..saya harap anda juga mengeluarkan tulisan mengenai hal ini agar bisa menambah wawasan masyarakat tentang hukum..itu jauh lebih baik menurut saya..salam..

        Like

  2. sagat menarik dan bagus analisanya. saya inin menyanyakan. baaimana menurut anda penaturan ideal (seharusnya) PK pasca putusan MK? apakah sema ini sebaiknya d cabut atau baaimana? aar tdk terjadi kerancuan dan ketidakjelasan dalam penerapan norma. mohon penjelasanya, trimakasih.

    Like

    1. Terima kasih atas pertanyaannya..menurut saya, seharusnya PK dalam perkara pidana tidak dapat dibatasi sampai kapanpun, terutama dengan alasan “adanya novum”..hanya saja harus lbh diperjelas sejauh apa suatu hal bisa dibilang “novum”..dan sebenarnya bisa saja novum itu lahir bukan karena kesalahan siapa-siapa, namun karena keterbatasan keadaan..bagaimana kalau ada novum baru yang kuat, yang lahir karena bukan kesalahan siapa-siapa, tapi karena keterbtasan, padahal terpidana sudah PK sebelumnya?

      Misalnya, ada perkara pembunuhan dan seseorang dipidana atas perbuatan tersebut..dia sudah PK dan tetap dihukum..lalu, di kemudian hari, ternyata ditemukan teknologi pemeriksaan DNA dan setelah diperiksa, ternyata bukan orang tersebut yang membunuh..disini kita bisa melihat bahwa lahirnya novum bukan karena kesalahan siapa-siapa, namun karena keterbatasan pengetahuan pada sat terpidana dipidana..bagaimana menyelesaikan masalah ini kalau PK dlm perkara pidana hanya dibatasi 1 kali?bukankah menjadi tidak adil dan kejam, dengan membatasi PK dlm perkara pidana 1 kali, sehingga orang mendapatkan ketidakdilan, bahkan dipersalahkan atas perbuatan yang ternyata terbukti tidak ia lakukan?

      jadi menurut saya, seharusnya pengaturan tentang PK yang ada adalah sejalan dengan putusan MK dan seharusnya SEMA ini dicabut agar tidak terjadi keraguan dalam diri hakim dalam menerapkan norma ttg PK ini..

      semoga jawaban saya bisa menjawab pertanyaan anda..terima kasih sekali lagi..

      Like

  3. trimakasih atas balasannya,
    dengan dibatalkannya pasal 268 (3) KUHAP melalui putusan MK 34/XI-PUU/2013, apakah sekiranya perlu dibuatkan kembali pasal yg mengatur permohonan PK atas PK? ketiadaan aturan (pasal 268 ayat 3) inilah y mungkin dijadikan alasan MA meneluarkan sema utk mengisi kekosonan hukum. kendati putusan MK 34/xi-puu/2013 yg slama ini mjd payung hukum atas dibatalkannya pasal 268 ayat 3 KUHAP tetap saja terasa kurang afdhol atau mantap jika tidak ada aturan tentang pengajuan PK itu sndiri. Misal “permohonan PK atas PK dapat dilakukan terbatas pada alasan sebagaimana diatur pada pasal 263 ayat (2)”. apakah hal ini bisa dilakukan? mohon tanapannya, trimakasih.

    Like

    1. Terima kasih kembali atas pertanyaannya..menurut pendapat saya, tidak ada kekosongan hukum yang ditimbulkan dari putusan MK tersebut..MK tidak membatalkan norma ttg PK scr keseluruhan..yang dibatalkan hanyalah pembatasan pengajuan PK..seharusnya, dgn putusan tersebut, dapat scr langsung diartikan secara a contrario..atas putusan BHT, bisa diajukan PK yang tidak memiliki batasan berapa kali jumlah pengajuan (a contrario dari batasan pengajuan yang dulu hanya 1 kali)..yang dihilangkan oleh MK adalah batasan yang dulu ada sehingga sekarang tidak ada batasan berapa kali pengajuan yang diperbolehkan..

      Dan apabila kita membaca SEMA tersebut, MA juga tidak menyatakan ada kekosongan hukum..MA hanya “menambal” ketentuan tersebut dengan pasal yang bunyi nya sama dengan pasal yang dihapuskan dari UU yang berbeda..artinya ketentuannya sudah ada..hanya MA tidak mau tunduk kepada putusan MK..

      Menurut pendapat saya pribadi, memang seharusnya seluruh putusan MK harus direspon oleh legislatur untuk kemudian diatur kembali (kecuali apabila atas putusan yang menyatakan permohonan ditolak atau tidak dapat diterima)..termasuk putusan ttg PK ini..seharusnya legislatur mencabut pasal tersebut dan kemudian harus menjelaskan keadaan hukum yang ada pasca putusan MK tersebut..shrsnya legislatur merespon hal ini agar tidak terjadi kekacauan hukum..tapi, mungkin legislatur kita lupa bahwa putusan MK bersifat negatif legislatur..yang mana shrsnya putusannya harus dikuatkan dgn peraturan per-uu-an lagi..tapi saat ini, pembahasan uu akibat putusan MK sudah masuk di DPR dan masuk ke dalam kategori peraturan per-uu-an yang bisa dibahas kapan saja (sisipan), tidak perlu masuk prolegnas, sama seperti pembahasan uu pengesahan perppu..semoga keadaan ini akan membaik..

      Mungkin seperti itu pendapat saya..semoga bisa menjawab pertanyannya..salam..

      Like

  4. trimakasih atas balasanya,
    menurut Maria Farida Indrati, bahwa SE tidak termasuk kategori peraturan perundang-undangan. Meskipun muncul kesan sebagai peraturan, sifatnya hanya untuk kalangan intern. apakah SEMA no. 7 th 2014 ini menegasikan putusan MK (pembatalan pasal 268 ayat 3 yg bisa dimaknai a contrario)?
    ada yg berpendapat bahwa SEMA menabrak UU terutama putusan MK, namun sejatinya terbit SEMA itu sejalan dengan pasal 24 ayat 2 UU no. 48 kekuasaan kehakiman dan pasal 66 ayat 1 UU no. 3 2009 ttg Mahkamah Agung “permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali”. Dlm kasus ini apakah MA boleh utk tdk patuh dg asas lex spesialist?
    pertanyaan ke 3, apakah sema termasuk peraturan atau kebijakan? mohon penjelasannya karna saya masih belajar ilmu hukum, kalo berkenan saya jua minta refrensi buku/skripsi/tesis/disertasi/penelitian lainya menenai posisi SEMA dlm sistem perundan-undanan di indonesia, trimakasih banyak.

    Like

    1. Terima kasih atas pertanyannya..pertanyaannya sebenarnya, untuk urusan PK, yang mana sebenarnya yang adalah lex specialist?UU MA dan UU kekuasaan kehakiman kah, atau KUHAP kah?menurut saya, karena PK adalah bagian dari hukum acara, sehingga untuk PK, lex specialist nya adalah KUHAP, yang mana pasal KUHAP mengenai hal itu telah dibatalkan oleh MK, sehingga seharusnya, menurut saya, ketentuan yang ada di dalam putuan MK lah yang seharusnya dipatuhi. UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman sejatinya tidak mengatur hukum acara, namun mengatur kelembagaan MA dan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, saya berpendapat SEMA tersebut tidak boleh bertentangan dengan putusan MK tersebut, dalam penegasan bahwa yang dibatalkan dalam putusan MK tersebut adalah aturan utama untuk PK. Bahkan, saya mempercayai bahwa aturan PK di UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman mengambil aturan PK yang ada di KUHAP. Sehingga pembenaran yang ada di SEMA menjadi sangat-sangat konyol menurut saya.

      Menurut saya, SEMA ini tidak menegasikan, namun hanya tidak ingin memperhatikan SEMA tersebut dan mencari pembenaran yang konyol. Itu sebenarnya poin saya. Menurut saya, menegasikan dan tidak memperhatikan adalah 2 hal yang berbeda.

      Mengenai apakah SEMA termasuk peraturan perundang-undangan atau kebijakan, sampai saat ini, sependek yang saya tahu, belum pernah ada yang membahas hal ini secara komprehensif, baik buku, skripsi, tesis, maupun disertasi. Dan dengan kondisi seperti itu, ditambah dengan peraturan dalam UU MA dan UU 12/2011 juga tidak jelas mengenai kewenangan membuat peraturan internalnya, terutama mengenai peraturan internal apa saja yang dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan menurut UU 12/2011, maka hasilnya dapat muncul interpretasi yang berbeda. Interpretasi saya pun bisa salah sebenarnya. Namun, poin nya adalah ketidakjelasan aturan dalam UU MA tersebut yang bisa diinterpretasikan berbeda-beda oleh setiap orang, bahkan oleh saya, mas, atau siapapun.

      Pada intinya, yang ingin saya sampaikan adalah alasan yang dibuat MA untuk mengeluarkan SEMA tersebut cenderung konyol dan kekanak-kanakan. Dan seharusnya, SEMA tersebut, secara materiil tidak bisa bertentangan dengan putusan MK tersebut karena alasan-alasan di atas. Mohon maaf kalau saya tidak bisa menyampaikan dengan baik dan benar. Semoga bisa menjawab mas.

      Terima kasih atas diskusinya mas. Menarik sekali. Mungkin mas Agung mau membahas lebih lanjut mengenai kedudukan SEMA dalam peraturan perundang-undangan. Salam..

      Like

  5. Dalam SEMA 7/2014 poin 5 yang menyatakan “permohonan yang tidak sesuai dengan kententuan SEMA 7/2014 agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan tingkat pertama permohonan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkara tidak perlu dikirim ke MA sebagaimana diatur dalam SEMA 10/2009”. pertanyaan saya apakah akibat dari hukum penetapan pengadilan yaang tidak mengikuti putusan MK34/2013 ?

    Like

    1. Terima kasih atas pertanyaannya. Mohon maaf baru merespon…

      Terkait pertanyaan tsb, saya rasa kita harus menyepakati terlebih dahulu sifat dari putusan MK itu sendiri. Saya menilai putusan MK itu sifatnya sederajat dengan undang-undang, karena ia dapat mengubah norma yang ada di undang-undang, dimana sejalan dengan stufenbau theory, peraturan perundang-undangan hanya dapat diubah dengan yang sederajat atau lebih tinggi. Atas dasar itu, putusan MK seharusnya dinilai sebagai suatu aturan hukum yang berlaku dan mengikat semua orang.

      Lalu, bagaimana apabila ada penetapan pengadilan yang tidak mengikuti putusan MK tersebut, yang adalah aturan hukum? Penetapan tersbeut dapat dimintakan pembatalan ke Mahkamah Agung. Dasar hukumnya adalah Pasal 30 Ayat (1) huruf b UU 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang pada intinya MA dalam tingkat kasasi dapat membatalkan putusan atau penetapan pengadilan yang salah menerapkan hukum yang berlaku.

      Dan faktanya, tahun 2016 kemarin, MA sendiri “mengingkari” SEMA 7/2014 yang mereka buat sendiri. Ada perkara PK kedua dalam perkara pidana yang diterima dan dikirimkan oleh PN dan diterima oleh MA. Bahkan, putusan tersebut dijadikan landmark decision tahun 2016 nya MA. Bisa cek sendiri putusan Nomor 01/PK/Pid/2016. BIsa di cek juga di http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a7021b49b8f/ini-11-putusan-ma-berstatus-landmark-decisions-tahun-2016 .

      Semoga menjawab pertanyaan anda…

      Like

  6. mohon maaf saya ingin bertanya lgi tentang SEMA 7/2014 telah disebutkan diatas bahwa , dasar hukum untuk untuk pembatalan penetapan pengadilan adalah pasal 30 (1) UU MA,
    bagaimana jika dibandingkan dengan sema 10/2009 yang menganalogikan pasal 45A UUMA pada pasal 4 yg intinya “penetapan” tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum.
    apakah dengan menganalogikan pasal 45A dengan serta merta menghapus upaya hukum yg dapat ditempuh oleh pemohon PK yg ditolak PK untuk kedua kalinya. terima kasih

    Like

    1. Terima kasih atas pertanyaannya, mohon maaf sekali sebelumnya karena lama merespon.

      Memang kalau kita mengacu sceara langsung kepada ketentuan Poin 5 SEMA 7/2014 jo. Poin 1 Sema 10/2009 jo. Pasal 45A UU MA (tanpa disebut ayat berapa), maka akan terkesan bahwa aturan dalam ayat (4) dari Pasal 45A UU MA juga ikut dirujuk. Namun, kalau saya menafsirkan tidak demikian. Saya menafsirkan bahwa yang dimaksud “Pasal 45A UU MA” dalam poin-poin SEMA 10/2009 hanya mengacu kepada ayat (3) nya karena diujung kalimat, SEMA tersebut memperjelas bahwa “dengan penetapan ketua pengadilan negeri dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke MA”, yang bunyinya sama dengan ayat (3) di Pasal 45A UU MA.

      Selain itu, kalau kita mencermati bagian awal SEMA 10/2009, SEMA ini lahir karena adanya PK yang diajukan lebih dari 1 kali dalam perkara yang sama, sehingga agar tidak terjadi “penumpukan perkara permohonan Pninjauan Kembali”, maka SEMA ini lahir, sehingga PK yang berlebih seperti itu tidak perlu dikirim ke MA. Dari segi maksud pembentukan SEMA ini, saya melihat kepentingan lahirnya SEMA ini hanya terhadap ayat (3) di Pasal 45A UU MA, tidak termasuk ayat lain.

      Lagipula, kalau mau mengacu ke Pasal 45A secara full, apa hubungannya ayat (1), (2), dan (5) di Pasal 45A UU MA dengan SEMA 10/2009? Saya rasa tidak ada hubungannya. Misalnya, terhadap ayat (2) huruf a, dimana putusan praperadilan tidak bisa dikasasi. Apakah SEMA 10/2009 juga mengacu ke aturan ini? apa hubungannya dengan PK lebih dari 1 kali? Apakah putusan praperadilan juga materi yang tidak bisa diajukan PK lebih dari 1 kali? seperti yang kita tahu bahwa MA mengeluarkan Perma 4/2016 yang isinya larangan PK terhadap putusan praperadilan. Jangankan 2x, sekali saja tidak bisa.

      Atas dasar-dasar itu, saya berpendapat bahwa SEMA 10/2009 yang mengacu ke Pasal 45A UU MA hanya mengacu ke ayat (3) dari Pasal tersebut, bukan keseluruhan. Dengan alasan itu, maka ayat (4) dari Pasal 45A UU MA tidak berlaku untuk penetapan PK lebih dari 1 kali dan masih dapat diajukan sesuai Pasal 30 Ayat (1) UU MA.

      Namun, yang harus kita pahami bersama, disini ada ketidakjelasan aturan hukum mengenai hal ini. Hal yang bisa dilakukan adalah menguji secara langsung di Pengadilan dan lihat bagaimana jawaban MA atas masalah ini. Seperti yang saya katakan, bahkan ketika MA sudah mengatur PK tidak boleh diajukan lebih dari sekali dan tidak perlu dikirim berkasnya ke MA, namun faktanya ada PK kedua yang diterima oleh MA, yang artinya diterima oleh PN dan berkasnya dikirim ke MA, dan MA menerima PK tersebut. Malah putusan PK tersebut dijadikan putusan penting (landmark decision) oleh MA.

      Mungkin begitu jawaban saya mas Firman, semoga membantu..

      Like

      1. sekali lagi terima kasih atas jawabannya. sangat membantu untuk mencerahkan perihal PK ini. terima kasih

        Like

      2. Sama-sama mas Firman..kalau boleh tau, latar belakang mas Firman apa ya? soalnya cuma mas Firman yang masih interest dengan bahasan ini, setidaknya yang diskusi dengan saya..

        Salam kenal mas..sukses selalu..

        Like

      3. maaf baru balas, saya mahasiswa fakultas hukum yang perpanjangan masa studi, saya telah mengajukan judul tentang sema 7/2014 vs put. MK ini semenjak sema 7/2014 dikeluarkan dan judul telah diterima/acc oleh dosen pembimbing bulan januari 2015, vakum 2 tahun krn ada masalah internal. terima kasih atas semua jawabannya semoga manfaat ditulisan saya. thanks

        Like

  7. mas firman, apakah saya boleh menjadikan skripsi nya menjadi literatur ? krn saya saat ini pun sedang mengerjakan tugas akhir yang bahasannya sama seperti mas firman, Terimakasih.

    Like

  8. bang azhe, apakah saya boleh menanyakan beberapa hal mengenai PK? sekiranya bang azhe punya waktu luang, Terimakasih bang.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.