“SALAH BACA PASAL YANG BERAKIBAT FATAL”: LOGIKA PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN DALAM KUHP

Pada hari Kamis, tanggal 16 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan dengan nomor 1/PUU-XI/2013. Dalam amarnya, MK menyatakan bahwa frase “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan” dalam Pasal 335 Ayat (1) Angka 1 KUHP bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, dengan putusan ini, MK menyatakan bahwa frase tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar hukum.

Putusan ini bermula dari permohonan yang diajukan oleh Pemohon, yaitu Oei Alimin Sukamto Wijaya, yang merasa bahwa keberlakuan frase tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga Negara Indonesia. Pemohon mengalami penganiayaan di Hotel Meritus Surabaya, yang mana penganiayaan tersebut dilakukan oleh pemilik Hotel Meritus Surabaya, Haryono Winata alias Mingming. Atas penganiayaan ini, Pemohon melaporkan Haryono Winata ke Polsek Genteng Surabaya. Alih-alih laporannya ditindaklanjuti, Pemohon malah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Genteng Surabaya atas 3 (tiga) laporan pelapor yang berbeda, yaitu atas nama pelapor Haryono Winata (berdasarkan surat panggilan nomor SPG/107/IX/2012/Reskrim tertanggal 24 September 2012 dan SPG/123/X/2012/Reskrim tertanggal 9 Oktober 2012), Hary Moeljono (berdasarkan surat panggilan nomor SPG/83/IX/2012/Reskrim tertanggal 11 September 2012), dan Jenny Kosasi alias Cucu (berdasarkan surat panggilan nomor S-Pgl/3567/X/2012/Reskrim tertanggal 25 Oktober 2012).

Pemohon ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana “perbuatan yang tidak menyenangkan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP untuk semua laporan di atas. Pemohon beranggapan bahwa perkataannya “hei jika kamu berani jangan mukuli aku disini (hotelmu) kalo berani ayo bertengkar di Suramadu” adalah dasar polisi untuk menetapkan dirinya sebagai tersangka. Pemohon mendalilkan bahwa frase “perbuatan yang tidak menyenangkan” maknananya sangat luas, subjektif, dan dapat ditarik kemana-mana, seperti karet, sehingga akan sangat mudah memidana seseorang dengan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP atas dasar “perbuatan yang tidak menyenangkan”.

Atas permohonan tersebut, MK berpendapat bahwa “perbuatan yang tidak menyenangkan” tidak dapat diukur secara objektif. Selain itu, hal yang tidak menyenangkan tersebut adalah semua akibat tindak pidana. Semua dampak tindak pidana adalah hal yang tidak menyenangkan, tidak ada akibat tindak pidana yang menyenangkan. Dengan demikian, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang dapat membedakan secara tegas dari tindak pidana lain. MK berpendapat dikarenakan rumusan frase tersebut yang menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga dapat memberi peluang bagi penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang, padahal konstitusi menjamin hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam proses penegakan hukum sesuai Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945, maka MK menyatakan bahwa frase tersebut bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Hal-hal di atas menimbulkan pertanyaan bagi penulis, apakah benar ketentuan pidana “perbuatan yang tidak menyenangkan” adalah benar sangat luas, subjektif, dapat ditarik kemana-mana, dan dapat memberi peluang bagi penegak hukum untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang? Lebih jauh, apakah memang seseorang dapat dipidana dengan dasar melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan”? Sebelum menjawab hal-hal tersebut, perlu penulis sampaikan terlebih dahulu redaksional Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, yaitu:

 

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;

 

Apabila kita mencermati dengan seksama bunyi pasal di atas, maka menurut penulis, “perbuatan yang tidak menyenangkan” pada dasarnya tidak dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, karena “perbuatan yang tidak menyenangkan” bukanlah sebuah bentuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, melainkan hanya sebuah unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal tersebut. Apabila kita membedah ketentuan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP di atas dengan cermat, menurut penulis, ketentuan tersebut akan terbagi menjadi 5 (lima) unsur, yaitu subjek, perbuatan, tujuan perbuatan, cara berbuat, dan objek. Penjabaran dari tiap unsur tersebut adalah sebagai berikut:

  • Subjek : barangsiapa;
  • Perbuatan : memaksa orang lain;
  • Tujuan perbuatan : supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu;
  • Cara berbuat : dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan;
  • Objek : orang itu sendiri atau orang lain;

Berdasarkan penjabaran di atas, maka kita dapat melihat bahwa pada dasarnya “perlakuan/perbuatan yang tidak menyenangkan” hanyalah sebuah unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal tersebut, yaitu unsur “cara berbuat/melakukan” perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh ketentuan tersebut, yaitu memaksa orang lain, yang mana perbuatan tersebut bertujuan supaya orang tersebut melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu. Oleh karena itu, ketika seseorang terbukti melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan”, maka ia tidak dapat serta merta dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, kecuali dapat dibuktikan bahwa “perbuatan yang tidak menyenangkan” tersebut dilakukan dalam rangka memaksa orang lain dan bertujuan agar orang yang dipaksa tersebut melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu. Dengan kata lain, untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang atas Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, tidak hanya cukup fakta bahwa ia telah melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan”, namun juga harus didukung fakta bahwa ia melakukan hal tersebut dalam rangka memaksa orang lain dengan tujuan agar orang yang dipaksa melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu. Artinya, orang yang hanya terbukti melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan” tidak dapat diproses hukum dengan dasar Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP.

Berdasarkan hal tersebut, maka pada dasarnya, menurut penulis, Pemohon dalam perkara MK a quo tidak dapat diproses hukum dengan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP atas dasar melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan” karena kalaupun perkataan Pemohon yang telah disebutkan sebelumnya dapat dikatakan sebuah “perbuatan yang tidak menyenangkan”, pada faktanya, tidak ada hal yang menunjukkan bahwa perkataan tersebut dilakukan dalam rangka memaksa pelapor dengan tujuan agar pelapor melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu. Dan apa yang terjadi pada Pemohon tersebut juga terjadi pada perkara lain. Dalam putusan nomor 1234/Pid.B/2013/PN.BKS terntanggal 16 Januari 2014, Pengadilan Negeri Bekasi menghukum Terdakwa bernama Mulyadi Mulya karena telah melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan” dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Kemudian, di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan putusan ini dengan putusan Nomor 219/Pid.B/2014/PT.BDG yang diucapkan pada tanggal 16 September 2014, dimana Majelis Hakim PT Bandung menyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan” dan mengubah pemidanaan menjadi pidana penjara selama 4 (empat) bulan. Perlu dipahami bahwa pada dasarnya putusan ini dijatuhkan oleh Pengadilan, khususnya Pengadilan Tinggi setelah frase “perbuatan yang tidak menyenangkan” dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Namun, penulis tidak akan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut karena bukan merupakan inti dari tulisan ini. Mungkin dalam tulisan lain akan penulis bahas mengenai hal tersebut.

Dari kualifikasi perbuatan yang dianggap terbukti pada Terdakwa Mulyadi Mulya dalam amar putusannya, yaitu hanya menyebutkan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana “perbuatan yang tidak menyenangkan”, sangat tampak jelas bahwa Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut, baik di tingkat pertama, maupun di tingkat banding, menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa dengan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP hanya karena perbuatan Terdakwa memenuhi kualifikasi “perbuatan yang tidak menyenangkan”. Majelis Hakim tidak melihat hubungan antara “perbuatan yang tidak menyenangkan” dengan unsur perbuatan “memaksa orang lain” dan unsur tujuan “melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu”. Padahal, kalau saja Majelis Hakim memperhatikan unsur-unsur tersbeut, maka Terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP.

Mengapa ada seseorang yang dapat diproses hukum dengan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP hanya dengan mendalilkan bahwa orang tersebut telah melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan”? Menurut penulis, hal ini terjadi karena kesalahan penegak hukum dalam membaca Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP itu sendiri. Para penegak hukum membaca “perbuatan yang tidak menyenangkan” sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dan terpisah dari perbuatan “memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”, sehingga para penegak hukum merasa tidak perlu melihat hubungan antara “perbuatan yang tidak menyenangkan” dengan unsur “memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu”. Implikasi logisnya adalah ketika ada perbuatan seseorang yang hanya memenuhi kualifikasi “perbuatan yang tidak menyenangkan”, maka orang tersbeut akan langsung dapat diproses dengan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP karena telah melakukan tindak pidana “perbuatan yang tidak menyenangkan”. Menurut penulis, cara membaca Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP seperti yang dilakukan penegak hukum ini adalah sebuah kesalahan besar yang berakibat sangat fatal. Untuk membuktikan hal tersebut, mari kita lihat secara logika pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.

Kalau kita melihat dalam Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, maka kita akan menemui frase “perbuatan yang tidak menyenangkan” disebutkan 2 (dua) kali, yaitu pada frase “dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dan frase “dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”. Pertanyaannya adalah apabila memang pembuat undnag-undang bermaksud mengatur bahwa “perbuatan yang tidak menyenangkan” adalah sebuah tindak pidana yang berdiri sendiri, untuk apa frase “perbuatan yang tidak menyenangkan” disebutkan 2 (dua) kali dalam pasal tersebut? Bukankah cukup disebutkan 1 (satu) kali? Kalau memang ingin disebutkan 2 (dua) kali, apakah frase “perbuatan yang tidak menyenangkan” yang pertama dan kedua memiliki perbuatan yang berbeda? Kalau berbeda, apa perbedaannya? Bukankah hal tersebut malah akan menimbulkan kerancuan dalam membaca maksud pasal tersebut?

Kemudian, kalau kita mencermati struktur Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP tersebut, maka kita akan menemukan bahwa frase “perbuatan yang tidak menyenangkan” selalu didahului kata “maupun”. Menurut penulis, hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya “perbuatan yang tidak menyenangkan” adalah sebuah perbuatan alternatif dari perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu kekerasan, ancaman kekerasan, dan suatu perbuatan lainnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada dasarnya “perbuatan yang tidak menyenangkan” adalah suatu hal yang memiliki derajat yang sama dengan “kekerasan”, “ancaman kekerasan”, dan “suatu perbuatan lainnya”, yang adalah kualifikasi perbuatan-perbuatan yang menjadi cara untuk melakukan perbuatan yang telah disbeutkan sebelumnya, yaitu memaksa orang lain dengan tujuan agar orang yang dipaksa melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, bukan merupakan suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dan terpisah dari perbuatan “memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu”. Atas dasar kesamaan derajat tersebut, penulis berpendapat, bahwa seharusnya “perbuatan yang tidak menyenangkan” juga hanya merupakan cara untuk melakukan perbuatan “memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu”, bukan tindak pidana yang berdiri sendiri dan terpisah.

Selain itu, apabila kita melihat kepada judul Bab dimana Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP berada, yaitu “BAB XVIII KEJAHATAN TERHADAP KEMERDEKAAN ORANG”, maka seharusnya seluruh pasal yang berada dalam bab ini membicarakan mengenai tindak pidana atau kejahatan yang melanggar kemerdekaan seseorang. Pertanyaannya, apakah sebuah “perbuatan yang tidak menyenangkan” akan selalu dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang? Coba kita lihat dalam perkara Pemohon perkara MK a quo. Pertanyaannya adalah apakah kata-kata “hei jika kamu berani jangan mukuli aku disini (hotelmu) kalo berani ayo bertengkar di Suramadu” dapat dikatakan sebagai kejahatan atas kemerdekaan orang? Kemerdekaan orang seperti apa yang dilanggar hanya karena kata-kata tersebut?

Berdasarkan penjabaran di atas, maka penulis berpendapat bahwa “perbuatan yang tidak menyenangkan” bukan lah sebuah tindak pidana yang terpisah dan berdiri sendiri, melainkan hanyalah salah satu cara untuk melakukan perbuatan yang sebenarnya dilarang dengan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, yang adalah masuk dalam kategori “kejahatan atas kemerdekaan orang” sesuai judul bab dimana pasal ini berada, yaitu “memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu”. Hal ini juga tentu berkaitan mengapa kemudian Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP menjadi salah satu pasal yang dikecualikan dari tindak pidana lain dalam hal penahanan. Berdasarkan Pasal 21 Ayat (4) huruf a KUHAP, orang yang dapat dikenakan penahanan adalah orang yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Kemudian, Pasal 21 Ayat (4) huruf b KUHAP mengecualikan beberapa pasal dimana apabila orang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan pasal tersebut dapat dikenakan penahanan, walaupun ancaman pidana penjaranya tidak mencapai 5 (lima) tahun atau lebih, yang salah satunya adalah Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, yang sebenarnya diancam dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.

Menurut penuis, pengecualian ini tentu tidak ditujukan untuk sebuah tindak pidana yang hanya berbentuk “perbuatan yang tidak menyenangkan”. Bayangkan saja apa yang terjadi pada Pemohon perkara MK a quo, hanya karena perkataan “hei jika kamu berani jangan mukuli aku disini (hotelmu) kalo berani ayo bertengkar di Suramadu”, ia dapat ditahan. Dan bayangkan apabila hal tersebut terjadi dengan kita, ketika kita melakukan sesuatu yang tidak disukai orang lain, misalnya dalam contoh yang sangat ekstrim, menginjak kaki orang lain atau bersin mengenai tubuh orang lain, dan ia melaporkan ke polisi dengan “perbuatan yang tidak menyenangkan”, maka kita akan ditahan karena diduga telah melakukan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP. Bukankah hal tersebut adalah sebuah kekonyolan? Untuk itu, penulis berpendapat, pasti pengecualian dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP tersebut dimaksudkan untuk perbuatan lain yang lebih berat, yang menurut penulis, perbuatan tersebut adalah “memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu”, yang mana perbuatan tersebut masuk dalam kategori “kejahatan terhadap kemerdekaan orang”. “Perbuatan yang tidak menyenangkan” hanyalah salah satu bentuk cara dalam melakukan perbuatan “memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu”.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut penulis, seharusnya cara membaca Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP yang benar, sehingga seseorang dapat dipidana dengan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP adalah orang-orang yang terbukti melakukan hal sebagai berikut:

 

Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain

atau

Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain

 

Dengan cara pembacaan pasal seperti ini, maka akibat fatal yang ditimbulkan dari kesalahan membaca pasal ini tidak akan terjadi lagi. Tidak akan ada lagi orang yang diproses hukum dan dijatuhi putusan berdasarkan Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP hanya karena melakukan perbuatan yang masuk dalam kualifikasi “perbuatan yang tidak menyenangkan” tanpa menghubungkan dengan perbuatan “memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu”.

Yang menarik adalah Majelis Hakim MK yang mengadili perkara a quo seakan juga tidak paham dengan maksud sebenarnya dari pasal ini. Dari membaca pertimbangannya, penulis mendapatkan kesan bahwa Majelis Hakim MK juga menganggap “perbuatan yang tidak menyenangkan” adalah sebuah tindak pidana yang terpisah dan berdiri sendiri dari perbuatan lain yang diatur dalam Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, sehingga karena tidak dapat diukur secara objektif, maka pasal ini akan sangat mudah digunakan untuk memidana seseorang karena melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan” dan rentan disalahgunakan oleh penegak hukum, sehingga frase “perbuatan yang tidak menyenangkan” harus dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Memang pada faktanya penegak hukum salah menggunakan pasal ini. Namun, yang harus dipahami hal tersebut terjadi bukan karena hanya penyalahgunaan pasal ini oleh penegak hukum, namun juga karena kesalahan penegak hukum dalam membaca maksud pasal ini, sehingga penegak hukum salah menggunakan pasal ini.

Penulis menyadari bahwa tidak terlalu berguna lagi untuk membahas mengenai “perbuatan yang tidak menyenangkan” karena faktanya frase tersebut telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Penghapusan ketentuan “perbuatan yang tidak menyenangkan” oleh MK inipun, di satu sisi, sangat penulis sambut baik karena ketentuan “perbuatan yang tidak menyenangkan” ini tidak dapat lagi digunakan oleh penegak hukum untuk memproses hukum seseorang. Namun disatu sisi, hal ini meninggalkan keprihatinan bagi penulis karena seharusnya MK dapat mengartikan dengan benar apa yang dimaksud oleh Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa pada dasarnya “perbuatan yang tidak menyenangkan” bukanlah suatu tindak pidana yang berdiri sendiri, melainkan salah satu unsur dalam sebuah tindak pidana yang sebenarnya diatur dalam Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP tersebut.

Melakukan proses hukum terhadap seseorang haruslah berdasarkan ketentuan yang berlaku, karena pada dasarnya proses hukum dapat berdampak pada hilangnya hak orang yang diproses hukum. Oleh karena itu, jangan sampai salah menerapkan sebuah ketentuan dalam memproses seseorang secara hukum, apalagi kesalahan tersebut berbentuk kesalahan membaca ketentuan yang digunakan sebagai dasar hukum. Terapkanlah suatu ketentuan sebagai dasar hukum dengan memperhatikan maksud pasal dan logika pengaturannya. Jangan sampai kita melupakan hal tersebut, menggunakan ketentuan dengan salah, dan pada akhirnya akan berakibat fatal karena akan ada seseorang yang diproses hukum dan kehilangan hak nya atas dasar ketentuan yang salah kita terapkan. Mari mawas diri bersama.

 

4 thoughts on ““SALAH BACA PASAL YANG BERAKIBAT FATAL”: LOGIKA PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN DALAM KUHP

  1. Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;

    Mungkin maksudnya ini utk setiap tindakan,ucapan,perilaku seseorang yg tidak menyenangkan yg memang bertujuan agar org yg diajak bicara/lawannya terpancing utk emosi dan melakukan suatu tindakan pidana sehingga org tsb bisa di pidana (di langgar kemerdekaan nya/karena ditahan). Jd selain yg melakukan tindakan pidana (yg dipancing) ditahan krn penganiayaan,yg memancing/menyebabkan org lain itu bertindak spt itu juga ditindak,walaupun masa hukumannya berbeda,sehingga org jg tidak bisa semena2 menghina,ngomong kasar,mencaci maki,tp baru (misalkan) dia di tampar hanya yg nampar yg ditindak tp org itu nggak.. btw,mohon maaf kalo penafsiran saya salah n asal2an.. hehe..

    Like

    1. Penafsiran anda tidak salah..itu sesuai dengan apa yang saya sebutkan di atas bahwa seharusnya “perbuatan yang tidak menyenangkan” tidak dapat dipandang berdiri sendiri..dia adalah cara yang digunakan untuk memaksa orang lain melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu..dia adalah unsur tindak pidana Pasal 335 Ayat (1) KUHP, bukan merupakan suatu tindak pidana. Masalahnya adalah apakah patokannya adalah dampak yang terjadi dari perbuatan kita semuanya bisa menjadi perbuatan yang tidak menyenangkan? apakah melapor ke polisi juga dapat dikategorikan sbg “melakukan sesuatu”? Kalo iya, sama saja kayak saya menginjak kaki anda, anda tidak suka dan anda marah-marah, apakah saya dapat dikatakan memaksa anda melakukan sesuatu, yaitu “marah-marah”? apakah saya dapat dikatakan telah melakukan “perbuatan yang tidak menyenangkan” dan dapat dipidana dengan Pasal 335 Ayat (1) KUHP?

      Untuk itu saya menganggap pasal ini seharusnya diartikan memang seseorang itu meniatkan untuk memaksa orang lain untuk berbuat, tidak berbuat, atau membiarkan sesuatu..bukan hanya sekedar adanya akibat berupa orang yang merasa terpaksa melakukan suatu perbuatan..hal ini akan lebih memberikan kepastian hukum perbuatan-perbuatan mana saja yang dapat dijatuhi pidana..

      Namun, terima kasih sudah berdiskusi mengenai hal ini mas/mbak..perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dalam ranah akademis selama pendapat kita masing-masing memiliki dasar berpijak yang kuat..

      Salam…

      Like

  2. pertanyaan pak. jika ada tetangga yang merusak jemuran kita dan tetangga tersebut lebih duluan tinggal ditempat itu, lalu tetangga tersebut mengaku kalo tali jemuran adalah milik nya, sementara rumah nya saja berbeda,dalam artian bersebelahan. karena kami datang mengontrak ke rumah tersebut bahwa tali jemuran sudah ada ditinggal oleh orang sebelum nya..malah seenak nya dia merusak setelah sekian bulan kita bertetangga.

    Like

    1. Mohon maaf baru merespon Pak Dedy, terima kasih atas pertanyaannya. Terkait hal tersebut, sudah ada pasal khusus tentang perusakan barang dalam KUHP pak, yaitu Pasal 406 KUHP. Jadi, tidak tepat kalau dihubungkan dengan “perbuatan tidak menyenangkan” karena merusak barang itu sudah tindak pidana snediri.

      Tapi, dalam kasus Bapak, perlu dibuktikan dulu siapa pemilik sebenarnya tali jemuran itu, apakah benar punya tetangga bapak, atau memang punya penghuni rumah bapak sebelumnya. Ini penting karena tindak pidana “perusakan” itu harus dilakukan ke barang yang bukan punya pelaku. Semoga menjawab ya, Pak..

      Like

Leave a reply to kanggurumalas Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.