SALAH PAHAM TENTANG KORUPSI : “KEDZALIMAN YANG BERASAL DARI KETIDAKPAHAMAN”

Pada 4 September 2015 lalu, Majelis Hakim Peninjauan Kembali, yang dipimpin oleh Hakim Agung Syarifuddin selaku Ketua Majelis Hakim PK serta Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago dan Andi Samsan Nganro sebagai anggota Majelis Hakim, menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA), Hotasi Nababan, dalam perkara dengan nomor 41 PK/Pid.Sus/2015, dalam kasus korupsi penyewaan pesawat oleh PT MNA kepada Thirdstne Aircraft Leasing Group (TALG), yang mengakibatkan keugian Negara sebesar US$ 1,000,000. Putusan ini kemudian “memberlakukan kembali” putusan kasasi dalam perkara ini, yang menghukum Hotasi Nababan dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Adapun putusan kasasi ini, yang dijatuhkan oleh Ketua Majelis Hakim Agung Artidjo Alkostar, adalah putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dijatuhkan oleh Hakim Pangeran Napitupulu sebagai Ketua Majelis serta Alexander Marwata dan Hendra Yosfin sebagai Hakim Anggota, yang membebaskan secara murni (vrijspraak) Hotasi Nababan.

Bagi penulis, kasus ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut secara hukum, karena menurut penulis, dalam kasus Hotasi Nababan ini, terdapat beberapa kesalahpahaman atau ketidakpahaman dari para penegak hukum dalam memandang perbuatan Hotasi Nababan dan memandang perbuatan seperti apa yang dapat dikatakan perbuatan korupsi. Dalam tulisan ini nantinya, penulis tidak akan berpatokan hanya kepada kasus Hotasi Nababan. Yang menjadi concern penulis dalam tulisan ini adalah terdapat kesalahpahaman atau ketidakpahaman dari para penegak hukum dalam memandang perbuatan korupsi, yang pada faktanya terjadi pula pada kasus Hotasi Nababan. Atas dasar tersebut, maka pembahasan tulisan ini akan dititikberatkan kepada kesalahpahaman atau ketidakpahaman apa saja yang menurut penulis terjadi pada para penegak hukum kita.

Untuk kasus Hotasi Nababan sendiri, pada intinya, berdasarkan fakta persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, yang penulis dapatkan dari putusan Pengadilan Tipikor Jakarta atas Hotasi Nababan, (dapat diunduh disini), kasus ini bermula ketika pada tahun 2006, PT MNA mengalami kesulitan keuangan yang ditandai dengan laporan keuangan perusahaan yang terus merugi dan mendapat penilaian TIDAK SEHAT berdasarkan SK Menteri BUMN No. KEP.100/MBU/2002 tanggal 4 Juni 2002. Hal ini disebabkan kurangnya armada yang dimiliki, dimana pemasukan dari operasi armada yang terbatas tidak sebanding dengan pengeluaran yang dikeluarkan untuk biaya operasional dan gaji karyawan. Untuk itu, pada bulan Mei 2006, PT MNA berencana menambah armada baru untuk menaikkan pendapatannya dan menyusun rencana tersebut dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2006.

Dalam RKAP tersebut, diatur bahwa PT MNA akan melakukan pengadaan sewa pesawat Boeing 737 seri 200 yang sumber dananya dari kredit avtur serta diatur pula fleksibilitas mengenai jumlah dan jenis pesawat yang akan disewa. Untuk itu, PT MNA terus berusaha untuk mendapatkan pesawat terbang dari lessor (pemberi sewa) pesawat. Namun, karena rendahnya kepercayaan lessor kepada PT MNA menyebabkan usaha PT MNA untuk menyewa pesawat sering menemui kegagalan. Untuk mempercepat proses pencaian dan penyewaan pesawat, PT MNA menugaskan General Manager (GM) Aircraft Procurement, Tony Sudjiarto, untuk memasang iklan mengenai hal kebutuhan penyewaan pesawat PT MNA tersebut di situs www.speednews.com.

Pada Mei 2006, Tony Sudjiarto melakukan inspeksi pesawat Boeing 737 seri 400 di China dan pada Oktober 2006, ia melakukan inspeksi pesawat Boeing 737 seri 500 yang masih disewa Batavia Air dan akan berakhir masa sewanya. Kedua pesawat tersebut kemudian diketahui adalah milik Lehman Brothers dengan agen penjualan East Dover Ltd. Dan kemudian juga diketahui Lehman Brothers ingin menjual pesawat tersebut, bukan untuk disewakan. PT MNA sendiri pada dasarnya sudah lama menginginkan pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 dengan pertimbangan lebih irit dalam pemakaian bahan bakar, sehingga dinilai akan mampu mengurangi biaya operasional yang harus dikeluarkan. Baru pada awal Desember 2006, TALG menawarkan penyewaan 2 (dua) pesawat tersebut kapada PT MNA, dimana TALG akan membeli 2 (dua) pesawat tersebut dari Lehman Brothers/East Dover Ltd. dengan catatan PT MNA bersedia menyewa kedua pesawat tersebut dari TALG.

Setelah melakukan pembicaraan dan negosiasi jarak jauh dengan menggunakan internet dan e-mail, akhirnya PT MNA menyetujui proposal yang diajukan TALG, yang dituangkan dalam 2 Lease Agreement Summary of Terms (LASOT), yang merupakan dokumen lazim dalam penyewaan pesawat, masing-masing untuk pesawat Boeing 737 seri 400 dan 500, yang ditandatangani oleh Tony Sudjiarto mewakili PT MNA dan Alan Messner selaku CEO TALG. Adapun isi kesepakatan dalam LASOT tersebut antara lain:

  1. Kewajiban PT MNA menempatkan security deposit di Kantor Hukum Hume & Associates PC sejumlah US$ 500,000 untuk 1 (satu) pesawat sebagai jaminan penyewaan pesawat;
  2. PT MNA harus membayar security deposit satu hari setelah TALG menandatangani purchase agrrement dengan East Dover Ltd. Atau pemilik terakhir;
  3. TALG wajib mengembalikan security deposit jika gagal menyerahkan pesawat.

Pembayaran menggunakan mekanisme security deposit yang ditempatkan di pihak ketiga, yaitu Hume & Associates, dilakukan karena pihak TALG hanya mau menerima pembayaran dengan sistem tersebut. Mengingat buruknya tingkat kepercayaan PT MNA sedangkan PT MNA membutuhkan pesawat tersebut dalam waktu cepat guna menaikkan pedapatan mereka, maka PT MNA menyapakati cara pembayaran tersebut, yang mana cara pembayaran ini juga telah disetujui oleh semua anggota direksi PT MNA dengan menandatangani circular board. Lagipula, cara pembayaran tersebut juga sudah biasa dilakukan oleh PT MNA dan tidak ada masalah, dalam arti, apabila perjanjian batal, maka uang tersebut akan dikembalikan kepada PT MNA.

Sebelum melakukan pembayaran, PT MNA berupaya untuk memastikan keamanan security deposit dengan menugaskan Laurence Siburian, yang adalah seorang advokat dari Indonesia yang sedang menempuh pendidikan doktorat di Amerika Serikat, untuk mengecek keberadaan TALG dan Kantor Hukum Hume & Associates beserta segala hal terkait 2 (dua) kantor tersebut. dikarenakan waktu pengecekan yang singkat, Laurence tidak sempat memeriksa secara keseluruhan mengenai TALG dan Hume & Associates, namun mendapatkan fakta bahwa kedua lembaga tersebut benar ada dan kantornya berada di satu gedung yang sama yang terletak tidak jauh dari Gedung Putih Amerika Serikat, yang adalah termasuk kawasan bonafit di Amerika. Informasi ain yang didapatkan adalah mengenai track record Alan Messner dan Jon Cooper selaku pimpinan TALG dalam penyewaan pesawat.

Selanjutnya, TALG telah mengikat perjanjian jual beli pesawat dengan East Dover Ltd dengan menandatangani Summary of Term for Sales (SOT) untuk dua pesawat Boeing 737 seri 400 dan 500. Kemudian, atas perjanjian tersebut, PT MNA melakukan pembayaran sesuai dnegan yang telah disepakati yaitu melalui mekanisme security deposit kepada TALG melalui Hume & Associates senilai US$ 1,000,000.

Namun, sampai waktu yang disepakati, TALG tidak juga mengirimkan pesawat yang disewa oleh PT MNA. TALG meminta penambahan pembayaran dikarenakan berkembangnya keadaan bisnis. PT MNA pun tidak menyanggupinya dan membatalkan perjnajian tersebut serta meminta uang yang ada di security deposit untuk dikembalikan seluruhnya. Namun, kemudian, diketahui bahwa uang tersebut telah dicairkan dan digunakan untuk kepentingan pribadi Alan Messner dan John Cooper, dimana Alan Messner mendapatkan US$ 810,000 dan John Cooper mendapatkan US$ 190,000. Atas hal ini, PT MNA dengan bantuan JAMDATUN (Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara), yang diwakili Yosep Suari Sabda selaku pengacara Negara, mengajukan gugatan secara perdata di pengadilan “US District Court for the District of Columbia” terhadap Alan Messner dan John Cooper, dimana PT MNA memenangkan gugatan tersebut dan Alan Messner serta John Cooper dihukum telah melakukan “wanprestasi” dan diperintahkan mengembalikan uang PT MNA beserta bunganya.

Dalam peristiwa ini, menurut Kejaksaan (setidaknya yang penulis pahami), ada 2 (dua) perbuatan yang dilakukan oleh Hotasi Nababan, yang kemudian digunakan dasar untuk mendakwa Hotasi dengan pasal korupsi. Pertama, Hotasi Nababan tidak melaporkan rencana penyewaan 2 (dua) pesawat tersebut, yaitu Boeing 737 seri 400 dan 500 dari TALG dan juga tidak memasukkan rencana penyewaan pesawat tersebut ke dalam RKAP tahun 2006 untuk kemudian disetujui oleh RUPS. Kedua, pembayaran oleh PT MNA, yang diperintahkan oleh Hotasi Nababan, seharusnya belum dapat dilakukan, karena antara TALG dan East Dover Ltd belum ada perjanjian jual beli atau purchasing agreement, melainkan masih sebatas SOT. Padahal, menurut LASOT yang telah disepakati, pembayaran oleh PT MNA baru dapat dilakukan ketika telah ada “purchasing agreement” antara TALG dan East Dover Ltd. 2 (dua) perbuatan ini menggambarkan intensi bahwa Hotasi Nababan telah melawan hukum dan memperkaya orang lain sehingga menimbulkan kerugian Negara sebesar US$ 1,000,000.

Yang menarik dalam peristiwa ini adalah, baik KPK, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, maupun Kementerian BUMN, telah menyatakan bahwa tidak ada unsur korupsi dalam peristiwa sewa menyewa pesawat oleh PT MNA kepada TALG ini, khususnya dari apa yang dilakukan oleh Hotasi Nababan. Bahkan, Kementerian BUMN sendiri, yang notabene membawahi PT MNA sebagai BUMN, seperti yang disampaikan Menteri BUMN saat itu, Sofyan Djalil, tidak menegur dan menghukum PT MNA dan menganggap peristiwa yang terjadi pada PT MNA adalah murni masalah bisnis dan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Government (GCG). Namun, kejaksaan berpendapat lain dan tetap melanjutkan proses hukum terhadap Hotasi Nababan. Atas perbuatan tersebut, Hotasi Nababan di dakwa dengan dakwaan subsidiaritas, primer Pasal 2 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, subsidair Pasal 3 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di dalam persidangan Pegadilan Tipikor Jakarta, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut berpendapat bahwa perbuatan Hotasi Nababan sudah dilakukan dengan hati-hati, beritikad baik, dan demi kepentingan perusahaan, berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi PT MNA serta informasi terbaik yang diperoleh pada saat keputusan itu diambil, sehingga tidak melanggar prinsip Good Corporate Governance. Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Hotasi Nababan tidak bersifat melawan hukum dan dengan alasan tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa dakwaan primair Penuntut Umum tidak terbukti menurut hukum. Kemudian, Majelis Hakim juga berpendapat bahwa tidak ada mens rea (niat jahat) dari Hotasi Nababan, yang bertujuan untuk memperkaya TALG dengan pembayaran security deposit sejumlah US$ 1,000,000, sehingga unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi” tidak terbukti dan dakwaan subsidair Penuntut Umum tidak terbukti menurut hukum. Atas dasar (setidaknya) 2 (dua) hal tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan putusan bebas murni (vrijspraak) terhadap Hotasi Nababan.

Atas putusan tersebut, Kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim kasasi yang mengadili perkara tersebut, yaitu Artidjo Alkostar sebagai Hakim Ketua Majelis serta Muhammad Askin dan MS. Lumme masing-masing sebagai hakim anggota, berpendapat bahwa telah terbukti adanya sifat melawan hukum dari perbuatan Hotasi Nababan, yaitu Hotasi Nababan tidak melaporkan tentang pengubahan RKAP PT MNA tahun 2006 kepada RUPS, khususnya mengenai penyewaan pesawat kepada TALG, yang mana hal tersebut bertentangan dengan Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UU 19/2003 tentang BUMN jo. Pasal 35 Ayat (1), (2), dan (3) PP 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN, yang mewajibkan Hotasi Nababan selaku Direktur Utama menyampaikan RKAP kepada RUPS untuk mendapat pengesahan. Akibat dari perbuatannya tersebut, Majelis Hakim berpendapat, Hotasi Nababan telah memperkaya orang lain atau korporasi, yaitu TALG dan Negara telah dirugikan senilai US$ 1,000,000. Atas dasar hal-hal tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Hotasi Nababan telah memenuhi seluruh unsur dakwaan primair Penuntut Umum, yaitu Pasal 2 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun serta pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

Atas putusan kasasi ini, Hotasi Nababan kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK), dengan mengajukan bukti baru (novum) berupa putusan dari Pengadilan Distrik Columbia, Amerika Serikat, yang memvonis pidana John Cooper dan Alan Messner. Dengan novum itu, Hotasi Nababan dan kuasa hukumnya, dalam memori PK nya, menjelaskan bahwa tidak ada unsur perbuatan yang bersifat melawan hukum dari Hotasi Nababan., sehingga seharusnya Hotasi Nababan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, seperti yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim Kasasi. Seperti yang sudah disebutkan di atas, Majelis Hakim PK pun menjatuhkan putusan berupa menolak PK yang diajukan Hotasi Nababan dan kuasa hukumnya. Perlu diketahui, bahwa sampai tulisan ini dipublikasikan, putusan atas permohonan PK yang diajukan Hotasi Nababan belum lah dipublikasikan di website Mahkamah Agung, sehingga penulis belum dapat menguraikan alasan-alasan penolakan PK yang diajukan Hotasi Nababan. Nmaun, pada intinya, PK tersebut ditolak dan Hotasi tetap dijatuhi pidana sama seperti yang telah diputus dalam tahap kasasi.

Setelah memperhatikan fakta-fakta dari kasus Hotasi Nababan di atas, pertanyannya, apakah benar Hotasi Nababan telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum? Apakah benar Hotasi Nababan memang memperkaya orang ain atau korporasi, yaitu Alan Messner dan John Cooper atau TALG? Apakah benar Hotasi Nababan telah merugikan keuangan Negara sebesar US$ 1,000,000? Dan pertanyaan besarnya adalah, apakah benar Hotasi Nababan telah melakukan tindak pidana korupsi?

Menurut penulis, perbuatan Hotasi Nababan tidaklah dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi dan Hotasi Nababan dipidana karena ketidakpahaman penegak hukum tentang korupsi. Penulis tidak menafikkan fakta bahwa terdapat kesalahan Hotasi Nababan yang tidak melaporkan pengubahan RKAP tahun 2006 kepada RUPS untuk mendapat pengesahan terkait penyewaan pesawat Boeing 737 seri 400 dan 500 kepada TALG, yang mana hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UU 19/2003 tentang BUMN jo. Pasal 35 Ayat (1), (2), dan (3) PP 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN, yang mewajibkan Hotasi Nababan selaku Direktur Utama menyampaikan RKAP kepada RUPS untuk mendapat pengesahan. Akibat dari sewa menyewa yang tidak terlaksana ini juga, ada pihak yang diuntungkan, yaitu Alan Messner dan John Cooper atau TALG senilai US$ 1,000,000, yang mana uang senilai tersebut dapat dikatakan sebagai keuangan Negara menurut UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi pertanyaan besar dan pentingnya adalah apakah fakta-fakta tersebut cukup untuk menyebutkan bahwa Hotasi Nababan telah melakukan tindak pidana korupsi dan pantas dipidana dengan pasal korupsi?

Sebelum membahas lebih lanjut, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu bahwa yang selanjutnya penulis sebutkan sebagai “korupsi” adalah perbuatan yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penulis hanya akan berfokus pada 2 (dua) pasal tersebut dan tidak membahas pasal-pasal lain, walaupun yang dikatakan sebagai perbuatan korupsi di UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tidak hanya mencakup 2 (dua) pasal tersebut. Hal ini penulis lakukan karena menurut pandangan penulis, kesalahpahaman atau ketidakpahaman dari kita, khususnya dari penegak hukum, paling banyak terjadi dalam memandang atau menafsirkan 2 (dua) pasal tersebut. Hal inilah yang akan penulis jabarkan selanjutnya.

Secara asal usul, kata “Korupsi” berasal dari bahasa latin “Corruptio” (Fockema Andreae : 1951) atau Corruptus (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa “Corruptio” itu berasal pula dari kata asal “Corrumpere” suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris : Corruption, Corrupt; Perancis Corruption dan Belanda Corruptie (korruptie). Dapat kita memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun kebahasa Indonesia “Korupsi”. Arti harfiah dari kata itu ialah: kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Meskipun kata Corruptio itu luas sekali artinya, namun sering “Corruptio” dapat dipersamakan artinya dengan “penyuapan”. Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia” : Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti pengertian penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya

Menurut Robert Klitgaard, korupsi memiliki rumus:

Corruption = Discretionary + Monopoly – Accountability

Penulis mengartikan rumusan ini sebagai korupsi adalah perbuatan yang dihasilkan dari diskresi yang dimiliki oleh seseorang yang tidak dibarengi oleh akuntabilitas yang memadai. Kemudian, menurut Transparency International, yaitu sebuah organisasi masyarakat global yang memerangi korupsi, korupsi adalah:

“Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidal legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka”

Menurut Baharuddin Lopa, pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah:

“Suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat”

Kita dapat melihat bersama dari definisi di atas, bahwa secara harafiah, korupsi itu adalah suatu bentuk perbuatan yang busuk, buruk, tidak jujur, atau yang penulis artikan sebagai perbuatan curang. Oleh karena itu, menurut penulis, untuk mengatakan suatu perbuatan adalah korupsi, maka harus terdapat kecurangan yang memang dilakukan oleh seseorang, yang mana kecurangan yang dilakukan tersebut memang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari seseorang tersebut. Sehingga, berdasarkan hal ini dan definisi-definisi di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang merugikan atau dapat merugikan perekonomian negara.

Dari definisi di atas, yang harus kita cermati bersama adalah antara unsur adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain harus terdapat suatu korelasi atau hubungan secara langsung yang saling mengikat untuk dapat mengatakan bahwa suatu perbuatan adalah korupsi. Artinya, untuk dapat dikatakan suatu perbuatan adalah korupsi, haruslah ada suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum yang memang diniatkan untuk dilakukan agar dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain. Dengan kata lain, untuk dapat dikatakan seseorang melakukan perbuatan korupsi, maka orang tersebut harus memang berniat dan memiliki tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya.

Sekarang, mari kita lihat bersama pada kasus Hotasi Nababan. Hotasi memang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, atau dengan kata lain dapat dikatakan melawan hukum, seperti yang telah penulis jelaskan di atas. Disamping itu, ada pihak yang diperkaya sebesar US$ 1,000,000. Pertanyaannya, apakah ada korelasi antara perbuatan yang bersifat melawan hukum dari Hotasi dengan diperkayanya orang lain itu? Apakah ada niat dan tujuan dari Hotasi untuk memperkaya Alan Messner dan John Cooper dengan cara melawan hukum, yaitu tidak melaporkan pengubahan RKAP tahun 2006 kepada RUPS untuk mendapat pengesahan? Jawabannya TIDAK. Dalam persidangan, baik di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kasasi, dan persidangan PK, tidak terbukti bahwa memang Hotasi sengaja melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut dengan niat dan tujuan memperkaya Alan Messner dan John Cooper, sehingga tidak lah tepat mengatakan bahwa perbuatan Hotasi Nababan adalah perbuatan korupsi.

Mengapa Hotasi Nababan dipidana dengan tindak pidana korupsi padahal secara harafiah perbuatannya tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi? Menurut penulis, hal ini disebabkan karena kesalahpahaman atau dalam bahasa yang lebih kasar ketidakpahaman aparat penegak hukum, khususnya hakim yang memutus perkara tersebut, dalam memandang tindak pidana korupsi. Penegak hukum yang ada dalam perkara ini salah paham atau tidak paham mengenai keharusan adanya korelasi yang saling mengikat antara perbuatan yang bersifat melawan hukum dengan akibat berupa memperkaya orang lain dari perbuatan Hotasi Nababan. Para penegak hukum yang ada dalam perkara ini tidak cukup paham bahwa mereka harus melihat memang ada perbuatan yang bersifat melawan hukum dan ada yang diuntungkan dari perbuatan tersebut, namun, hal itu tidak lah cukup untuk mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan korupsi, karena tidak terbukti ada korelasi antara perbuatan Hotasi Nababan yang tidak melaporkan pengubahan RKAP dengan uang yang dinikmati oleh Alan Messner dan John Cooper. Hal ini lah yang penulis jadikan dasar untuk membuat pernyataan di atas bahwa perbuatan Hotasi Nababan bukan lah Tindak Pidana Korupsi dan Hotasi Nababan dipidana akibat kesalahpahaman (atau ketidakpahaman) penegak hukum (khususnya hakim) tentang tindak pidana korupsi itu sendiri.

Dalam cakupan yang lebih luas, yang juga tergambar dari kasus Hotasi Nababan, ada satu kesalahpahaman atau ketidakpahaman lagi tentang korupsi dari para penegak hukum yang membuat kondisi ini menjadi semakin memprihatinkan, yaitu kesalahan dalam melihat bestandeel delict atau perbuatan jahat yang inti/utama dari korupsi itu sendiri. Sepanjang yang penulis lihat dari penegakan korupsi selama ini, penegak hukum kita terpatok dengan adanya kerugian negara yang dimunculkan atau dapat dimunculkan akibat dari suatu perbuatan. Selama ada kerugian negara yang terjadi, maka perbuatan tersebut adalah korupsi. Padahal, menurut penulis, perbuatan jahat dari korupsi adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum yang memang diniatkan atau ditujukan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, bukan pada apakah terjadi atau adanya potensi terjadi kerugian negara.

Kesalahpahaman ini, faktanya, berakibat kepada ketakutan para pemilik kewenangan, terutama yang memiliki kewenangan menggunakan anggaran seperti kepala daearah dan petinggi BUMN untuk bertindak. Mereka takut untuk bertindak karena apabila terjadi kerugian, maka mereka akan dijerat dengan pasal korupsi. Hal ini dapat terlihat dari peristiwa dimana beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2013, banyak kepala daerah yang mengeluh kepada Presiden RI pada saat itu, Soesilo Bambang Yudhoyono mengenai keragu-raguan pejabat pemerintahan untuk mengambil keputusan dan merealisasikan anggaran karena takut disalahkan korupsi. Menurut SBY, akibat keraguan itu, pejabat termasuk kepala daerah menjadi ragu untuk mencairkan anggaran pembangunan baik di pusat maupun daerah dan hasil akhir APBN dan APBD tidak sesuai target yang ditentukan. Hal senada juga disampaikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Yasin Limpo saat pertemuan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dengan Presiden Joko Widowo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin, 24 November 2014. Penulis juga sempat mendengar kabar bahwa petinggi-petinggi BUMN juga mengeluhkan hal yang sama kepada Menteri BUMN, bahwa mereka takut mengambil keputusan terkait anggaran karena apabila terdapat kesalahan dan terjadi kerugian, mereka akan dijerat pasal korupsi. Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak berani mengambil keputusan, sehingga mengahambat kinerja yang seharusnya dilakukan. Hal ini tentunya bisa saja berakibat kepada terhambatnya pembangunan-pembangunan yang seharusnya dapat lebih menguntungkan masyarakat.

Menurut penulis, tidak seharusnya para kepala daerah dan petinggi BUMN merasa ketakutan untuk bertindak dengan anggaran yang dimiliki. Tidak perlu takut untuk dijerat pasal korupsi apabila terjadi kerugian dan ada pihak lain yang ternyata diuntungkan, selama tindakan tersebut sudah dilakukan sesuai dengan aturan yang ada dan tidak dilakukan dengan niat dan tujuan yang memang ingin memperkaya diri sendiri atau orang lain. Kalaupun ada perbuatan yang ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, atau dapat dikatakan melawan hukum, sepanjang memang tidak memiliki niat dan tujuan jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, maka perbuatan tersebut pun tidak dapat dikatakan perbuatan korupsi. Penulis tidak mengatakan bahwa dari perbuatan tersebut tidak ada kesalahan dan si pelaku tidak dapat dihukum. Mungkin si pelaku bisa dikenakan hukuman administratif atau lainnya dengan catatan bahwa memang terbukti ada kesalahan. Yang jelas, perbuatan tersebut bukan lah perbuatan korupsi. Namun, ketakutan ini menjadi wajar ketika aparat penegak hukum masih salah paham atau tidak paham dengan perbuatan korupsi itu sendiri.

Dari uraian-uraian di atas, penulis berpendapat bahwa perlu bagi kita semua, khususnya para penegak hukum, untuk memperbaiki pemahaman tentang tindak pidana korupsi, setidaknya mengenai 2 (dua) hal, yaitu:

  1. Untuk dapat mengatakan seseorang telah melakukan korupsi, maka harus terdapat perbuatan yang bersifat melawan hukum, yang mana perbuatan tersebut memang dilakukan dengan niat atau tujuan jahat, untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Harus ada korelasi yang erat dan saling mengikat antara perbuatan yang bersifat melawan hukum dengan adanya pihak yang diperkaya, dan
  2. Perbuatan jahat atau bestandeel delict dari korupsi bukan lah “adanya kerugian negara atau potensi kerugian negara”, namun adanya niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dilaksanakan dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Walaupun terdapat kerugian negara, namun sepanjang perbuatan tersebut dilakukan tidak dengan niat memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang dilakukan dengan melawan hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi.

Kita boleh membenci perbuatan korupsi, bahkan wajib menjauhi perbuatan korupsi. Kita boleh memerangi korupsi, bahkan kita harus memerangi korupsi. Tapi lakukanlah dengan cara dan pemahaman yang benar. Jangan memerangi suatu keburukan dengan keburukan pula, terutama dengan pemahaman yang keliru atau ketidakpahaman sama sekali tentang yang kita perangi. Mari kita perbaiki pemahaman kita tentang korupsi dan mengenal lebih dalam tentag apa korupsi itu sendiri. Kita sudah punya setidaknya 1 (satu) “korban” nyata dari kesalahpahaman atau ketidakpahaman tentang korupsi, yaitu Hotasi Nababan. Mungkin masih banyak korban-korban lain seperti Hotasi Nababan namun tidak terekspos ke publik. Jangan sampai di kemudian hari muncul Hotasi-hotasi selanjutnya, yaitu orang yang dipersalahkan atas korupsi, dipidana atas pasal korupsi, padahal perbuatannya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi. Jangan sampai ada orang-orang yang terdzalimi (lagi) akibat kesalahpahaman dan/atau ketidakpahaman kita sendiri dalam memandang apa itu korupsi sebenarnya. Mari berbenah bersama..!!

Referensi:

  1. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST tanggal 19 Februari 2013;
  2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 417 K/Pid.Sus/2014 tanggal 7 Mei 2014;
  3. “PK Hotasi Nababan Ditolak MA”, http://www.rmol.co/read/2015/09/20/217923/PK-Hotasi-Nababan-Ditolak-MA-, diakses pada Rabu, 7 Oktober 2015;
  4. “MA Dinilai Menafikan Novum Hotasi Nababan”, http://news.metrotvnews.com/read/2015/09/18/432443/ma-dinilai-menafikan-novum-hotasi-nababan, diakses pada Rabu, 7 Oktober 2015;
  5. Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada (UGM, “Investigasi Korupsi”,http://pukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/investigasikorupsi.pdf, diakses pada Rabu, 7 Oktober 2015;
  6. http://digilib.uinsby.ac.id/8064/4/BAB%20II.pdf, diakses pada Rabu 7 Oktober 2015;
  7. “Fenomena Korupsi Di Indonesia Dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu”, https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/fenomena-korupsi-dari-sudut-pandang-filsafat-ilmu/, diakses pada Rabu, 7 Oktober 2015;
  8. “Presiden : Banyak Kepala Daerah Mengeluh”, http://www.jpnn.com/read/2013/12/09/204866/Presiden:-Banyak-Kepala-Daerah-Mengeluh, diakses pada Jumat, 9 Oktober 2015;
  9. “Di Hadapan Presiden, Para Gubernur Curhat soal Pengusutan Kasus Korupsi”, http://nasional.kompas.com/read/2014/11/24/12382641/Di.Hadapan.Presiden.Para.Gubernur.Curhat.soal.Pengusutan.Kasus.Korupsi, diakses pada Jumat, 9 Oktober 2015;
  10. Hasil diskusi penulis dengan Arsil, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP).

One thought on “SALAH PAHAM TENTANG KORUPSI : “KEDZALIMAN YANG BERASAL DARI KETIDAKPAHAMAN”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.