Dalam 1 minggu terakhir, kita tentu mendengar berita bahwa Anas Urbaningrum dan Akil Mochtar, mendapat larangan dijenguk oleh keluarga selama 1 bulan. Selain itu, terdakwa dan tersangka korupsi lainnya, yaitu Gulat Medali Emas Manurung, Kwee Cahyadi Kumala, Teddy Renyut, dan Mamak Jamaksari, mendapat larangan yang sama selama 2 minggu. Larangan tersebut muncul akibat dari surat protes yang disampaikan mereka terhadap beberapa aturan Rutan KPK, yang mereka anggap sebagai aturan-aturan yang membatasi hak-hak mereka sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Rutan KPK. Menurut KPK, surat protes tersebut mengandung unsur penghinaan dan dianggap menghalangi petugas dalam menjalankan tugas, dimana hal tersebut, menurut KPK berdasarkan Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan), masuk dalam kategori pelanggaran berat, sehingga Kepala Rutan KPK menjatuhkan sanksi berupa larangan dijenguk oleh keluarga tersebut. Larangan tersebut pun mengundang tentangan, terutama dari pihak kuasa hukum Anas Urbaningrum dan Akil Mochtar, yang menyatakan bahwa hukuman tersebut membatasi hak Anas dan Akil untuk menyampaikan protes dan terlalu berat untuk ukuran Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 telah menggariskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, sehingga, setiap perbuatan, kebijakan, dan/atau aturan di Indonesia, haruslah dilaksanakan berdasarkan pada aturan dan ketentuan hukum yang berlaku. Untuk itu, menarik untuk kita lihat apakah larangan dijenguk keluarga oleh Kepala Rutan KPK terhadap 6 orang di atas telah sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Pasal 4 angka 5 Permenkumham 6/2013 sendiri memang berbunyi “setiap narapidana atau tahanan dilarang … melawan atau menghalangi petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas”. Namun, pasal ini menimbulkan setidaknya 2 permasalahan. Pertama, tidak ada perincian yang jelas tentang perbuatan-perbuatan apa saja yang termasuk dalam perbuatan “melawan atau menghalangi petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas”, sehingga adalah subjektifitas pihak Lapas atau Rutan untuk menentukan suatu perbuatan masuk kategori ini atau tidak. Kedua, dalam pasal 8-10 Permenkumham 6/2013, telah diklasifikasikan tentang pelanggaran-pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai hukuman disiplin tingkat ringan, sedang, dan berat. Namun, permasalahannya adalah “melawan atau menghalangi petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas” tidak masuk dalam klasifikasi yang sudah ditentukan, melainkan hanya diatur dalam pasal 4 angka 5 di atas. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan, termasuk klasifikasi manakah “melawan atau menghalangi petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas”.
2 permasalahan ini, menurut penulis, telah menimbulkan suatu ketidakpastian hukum karena sulitnya mengukur secara objektif perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “melawan atau menghalangi petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas”. Kalau diserahkan kepada subjektifitas tanpa memperhatikan ukuran-ukuran yang objektif, dikhawatirkan dapat saja terjadi kesalahan pengkategorian, dimana bisa saja ada perbuatan yang selayaknya tidak masuk ke dalam kategori ini, menjadi masuk dalam kategori tersebut. Selain itu, ketidakjelasan kategori tersebut masuk ke dalam hukuman disiplin tingkat ringan, sedang atau berat, dapat juga berakibat kesalahan penjatuhan hukuman terhadap narapidana atau tahanan. Padahal, mendapatkan kepastian hukum adalah hak yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang juga diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Selanjutnya, mengenai tudingan bahwa surat protes tersebut mengandung unsur penghinaan, seharusnya KPK tidak serta merta menjatuhkan sanksi terhadap tuduhan tersebut tanpa melalui proses hukum yang ada untuk membuktikan apakah benar surat protes tersebut mengandung unsur penghinaan. Penghinaan sendiri diatur dalam Pasal 311 KUHP. Maka, seharusnya, KPK atau Kepala Rutan KPK yang merasa dihina oleh surat protes tersebut melapor kepada pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti secara hukum pidana, yang nantinya dibuktikan dalam proses persidangan pidana, apakah memang benar surat protes tersebut mengandung unsur penghinaan atau tidak. Kalau ternyata mengandung unsur penghinaan, baru lah KPK berwenang memberikan sanksi berdasarkan penghinaan tersebut. Mekanisme ini juga merupakan mekanisme yang harus dilakukan untuk memenuhi hak mendapatkan kepastian hukum, sebagaimana yang tersebut di atas. Dengan adanya putusan pengadilan, maka akan tercipta kepastian hukum atas perbuatan Anas dan lainnya, apakah surat protes mereka mengandung unsur penghinaan atau tidak.
Kemudian, mengenai hukuman larangan dijenguk keluarga oleh Kepala Rutan KPK akibat surat protes yang dianggap menghalangi petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas, yang dikategorikan pelanggaran berat, Pasal 9 ayat (4) Permenkumham 6/2013 telah mengatur bahwa hukuman disiplin tingkat berat meliputi :
- Memasukkan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari dan dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari; dan
- Tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan dan dicatat dalam register F.
Apabila kita melihat dalam hukuman-hukuman tersebut, maka jelas hukuman pelarangan dijenguk keluarga tidak termasuk ke dalam hukuman disiplin tingkat berat, seperti yang dikatakan KPK.
Sebenarnya, apabila kita melihat pada Permenkumham 6/2013, bahwa yang termasuk hukuman disiplin tingkat sedang, meliputi :
Pasal 9 ayat (2):
- memasukkan dalam sel pengasingan paling lama 6 (enam) hari; dan
- menunda atau meniadakan hak tertentu dalam kurun waktu tertentu berdasarkan hasil Sidang TPP.
Pasal 9 ayat (3):
Menunda atau meniadakan hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa penundaan waktu pelaksanaan kunjungan.
Apabila kita mengacu kepada pasal di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hukuman berupa larangan dijenguk atau dikunjungi adalah termasuk hukuman disiplin tingkat sedang. Disini terlihat jelas bahwa KPK tidak konsisten dalam merumuskan termasuk hukuman disiplin tingkat manakah perbuatan 6 orang tersebut, dimana KPK menyatakan perbuatan tersebut masuk pelanggaran berat (pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat), namun menjatuhkan hukuman yang termasuk dalam hukuman disiplin tingkat sedang. Namun, inkonsistensi ini dapat juga terjadi akibat pengaturan yang tidak jelas tentang termasuk hukuman tingkat apakah perbuatan “melawan atau menghalangi petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas” tersebut.
Dalam Pasal 9 ayat (2) angka 2 Permenkumham 6/2013 di atas, kita dapat melihat bahwa hukuman tersebut dapat dijatuhi “berdasarkan hasil sidang TPP”. Menurut Pasal 1 angka 9 Permenkumham 6/2013, TPP, atau Tim Pengamat Pemasyarakatan, adalah Tim yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Narapidana. Dan memang, Permenkumham 6/2013 sendiri telah mengatur tentang tata cara penjatuhan hukuman bagi narapidana atau tahanan, dalam pasal 12-17, dimana secara singkat, proses dimulai dari pemeriksaan awal oleh Kepala Pengamanan, dimana hasilnya disampaikan kepada Kepala Lapas atau Rutan. Kemudian, Kepala Lapas atau Rutan membentuk tim pemeriksan untuk memeriksa hasil pemeriksaan awal tersebut, dimana hasil pemeriksaan tim pemeriksa disampaikan kembali kepada Kepala Lapas atau Rutan untuk selanjutnya diserahkan kepada TPP, dimana kemudian TPP menggelar sidang dan hasil nya berupa saran yang disampaikan kepada Kepala Lapas atau Rutan, untuk kemudian Kepala Lapas atau Rutan menjatuhkan hukuman disiplin terhadap narapidana atau tahanan.
Permasalahan yang ada saat ini adalah kurangnya akses informasi apakah dalam penjatuhan hukuman terhadap Anas dan lainnya, telah dilakukan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Permenkumham 6/2013. KPK sendiri menjatuhkan hukuman tersebut dengan melandaskan kepada jenis pelanggaran dan hukuman yang ada di Permenkumham 6/2013, sehingga konsekuensi logisnya adalah penjatuhan hukuman tersebut juga harus dilakukan sesuai mekanisme yang diatur dalam Permenkumham 6/2013, seperti yang telah disebutkan di atas.
Sebenarnya, secara hukum, ada 2 jalan yang paling memungkinkan apabila ingin membatalkan keputusan Kepala Rutan KPK tersebut, yaitu dengan mengajukan sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusan tersebut atau judicial Review ke Mahkamah Agung (MA) atas Pasal 4 angka 5 Permenkumham 6/2013. Namun, hal tersebut, menurut penulis, hampir tidak dapat dilaksanakan, sehingga keputusan tersebut hamper pasti tidak akan pernah dapat dibatalkan. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut :
- Sengketa Tata Usaha Negara di PTUN.
Pasal 1 angka 4, 3, dan 2 UU 5/1986 jo. UU 9/2004 jo. UU 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah mengatur bahwa pada intinya sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang diajukan oleh perseorangan atau badan hukum perdata terhadap dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara, dimana keputusan Tata Usaha Negara adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit (jelas mengatur apa), individual (jelas siapa yang dikenakan keputusan), dan final (langsung menimbulkan akibat hukum). Sedangkan badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan terjadi karena ketidakjelasan kedudukan Kepala Rutan KPK, apakah dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS), atau apakah dibawah pimpinan KPK. Apabila ternyata berada dibawah pimpinan KPK, maka keputusan Kepala Rutan KPK tidak bisa diajukan ke PTUN, karena KPK sendiri bukan lah lembaga pemerintahan (eksekutif), melainkan lembaga Negara yang independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan apapun (Pasal 3 UU 30/2002 tentang KPK), sehingga pelaksanaan tugas Kepala Rutan KPK bukan lah dalam ranah melaksanakan pemerintahan (eksekutif).
Apabila ternyata dibawah Dirjen PAS, maka kedudukan Kepala Rutan KPK sama dengan kedudukan Kepala Rutan dan Lapas lainnya, yang berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah (PP) 58/1999 tentang Syarat-Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, adalah pihak yang melaksanakan kewenangan, tugas, dan tanggung jawab Menteri yang bertanggung jawab atas perawatan tahanan (Proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan mulai dari penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan dari Rutan (Pasal 1 angka 1 PP 58/1999)), yang artinya Kepala Rutan KPK melaksanakan tugas menteri, yang adalah ranah pemerintahan (eksekutif), sehingga Kepala Rutan KPK dapat disebut sebagai pejabat Tata Usaha Negara, sehingga keputusannya adalah keputusan Tata Usaha Negara.
Apabila keputusan Kepala Rutan KPK adalah keputusan Tata Usaha Negara, perlu untuk dilihat apakah keputusan yang diajtuhkan terhadap Anas dan lainnya adalah keputusan Tata Usaha Negara yang dapat disengketakan ke PTUN, yaitu harus bersifat konkrit, individual, dan final. Melihat keputusan Kepala Rutan KPK, maka dapat disimpulkan bahwa keputusan tersebut bersifat konkrit, karena mengatur suatu hal dengan jelas, yaitu larangan penjengukan oleh keluarga, bersifat individual, karena jelas siapa yang dikenakan keputusan itu, yaitu Anas dan 5 orang lainnya, serta bersifat final, karena langsung menimbulkan akibat hukum karena Anas dan lainnya secara langsung tidak dapat menerima kunjungan dari keluarga.
Dari hal-hal tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa permasalahan pengajuan sengketa atas keputusan Kepala Rutan KPK adalah mengenai ketidakjelasan kedudukan Kepala Rutan KPK itu sendiri, apakah dibawah Dirjen PAS atau dibawah pimpinan KPK. Karena, apabila melihat dari sifat keputusannya, keputusan Kepala Rutan KPK tersebut bersifat Konkrit, Individual, dan Final, sehingga termasuk dalam keputusan yang dapat diajukan ke PTUN (dalam konstruksi Kepala Rutan KPK adalah dibawah Dirjen PAS). Ketidakjelasan ini terjadi karena kurangnya informasi yang ada di publik mengenai kedudukan Kepala Rutan KPK, bahkan sampai tulisan ini dibuat, penulis tidak dapat menemukan satu rujukan pun tentang siapa Kepala Rutan KPK, bahkan di website resmi KPK, www.kpk.go.id. Selain itu, kurangnya pengaturan secara rigid tentang kedudukan Kepala Rutan KPK juga mengakibatkan ketidakjelasan kedudukan Kepala Rutan KPK.
- Judicial Review di MA.
Seperti yang sudah penulis jelaskan di atas, bahwa judicial review ke MA adalah atas Pasal 4 angka 5 Permenkumham 6/2013. Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 jo. Pasal 31 UU 14/1985 jo. UU 5/2004 jo. UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung jo. Pasal 9 ayat (2) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka Mahkamah Agung berwenang mengadili pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-undang. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU 12/2011, peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri adalah termasuk peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dengan syarat diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan.
Permenkumham 6/2013 adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM dan apabila melihat pada bagian konsiderans huruf a, “bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib kehidupan di lembaga pemasyarakatan danrumah tahanan negaradan agar terlaksananya pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan perlu adanya tata tertib yang wajib dipatuhi oleh setiap narapidana dantahanan beserta mekanisme penjatuhan hukuman disiplin“ dan juga pasal 409 huruf e Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor M.Hh-05.Ot.01.01 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Hukum Dan Ham Republik Indonesia, bahwa penyiapan rancangan kebijakan pencegahan dan penindakan gangguan keamanan dan ketertiban di unit pelaksana teknis pemasyarakatan dilakukan oleh Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban, yang berada dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS), yang adalah unsur pelaksana dan bertanggung jawab atas Menteri Hukum dan HAM, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Permenkumham 6/2013 dibentuk berdasarkan kewenangan Menteri Hukum dan HAM, dimana apabila melihat kedudukannya dengan mencantumkan UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan di dalam bagian “Mengingat”, maka Permenkumham 6/2013 adalah peraturan perundang-undangan dibawah UU 12/1995, sehingga dapat diujikan ke MA.
Apabila kita memperhatikan ketentuan dimana MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sebagaimana telah disebut di atas, maka tidak ada keharusan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang akan diuji, haruslah terhadap Undang-undang yang secara langsung berada di atasnya, sehingga, menurut penulis, dapat diujikan terhadap Undang-undang lain. Dan Undang-undang yang dapat digunakan dasar pengujian adalah UU 39/1999 tentang HAM, terutama pasal 3 ayat (2), yang mengatur tentang Hak mendapatkan kepastian hukum, mengingat pasal 4 angka 5 Permenkumham 6/2013, menimbulkan ketidakpastian hukum, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Memang, ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU 39/1999 ini telah diadopsi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, yang adalah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari UU 39/1999, namun pada dasarnya, UU 39/1999 belum dinyatakan dicabut atau tidak berlaku, atau setidak-tidaknya, Pasal 3 ayat (2) UU 39/1999 belum dinyatakan dicabut atau tidak berlaku walaupun sudah diserap oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, sehingga menurut penulis, Pasal 3 ayat (2) UU 39/1999 masih berlaku dan dapat dijadikan dasar pengajuan judicial review atas Permenkumham 6/2013 di MA.
Apabila nantinya diajukan judicial review atas Pasal 4 angka 5 Permenkumham 6/2013 di MA, dan dikabulkan, maka KPK akan kehilangan dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman larangan jenguk keluarga tersebut. Namun, permasalahannya adalah kita harus melihat putusan MA tersebut, apakah bersifat surut, sehingga keputusan Kepala Rutan KPK tentang larangan jenguk keluarga terhadap Anas dan lainnya juga akan ikut gugur, atau berlaku untuk ke depan, sehingga keputusan Kepala Rutan KPK tersebut tidak lah gugur dan larangan jenguk oleh keluarga terhadap Anas dan lainnya tetap berlaku. Hal ini lah yang mendasari pendapat penulis bahwa pembatalan keputusan Kepala Rutan KPK tersebut hampir tidak mungkin terjadi.
Sebagai Negara hukum, harusnya setiap perbuatan, terutama yang dilakukan oleh lembaga Negara atau pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan atau keputusan, haruslah berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku. Hukum dan aturan tersebut harus pula disusun secara jelas agar tidak menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum, baik bagi pelaksana hukum dan aturan tersebut, maupun bagi masyarakat, sehingga dapat merugikan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan perumusan perbuatan apa saja yang termasuk dalam perbuatan “melawan atau menghalangi petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas”, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 angka 5 Permenkumham 6/2013. Selain itu, perlu diatur secara tegas, perbuatan “melawan atau menghalangi petugas pemasyarakatan dalma menjalankan tugas” tersebut masuk dalam kategori hukuman disiplin tingkat ringan, sedang, atau berat. Kemudian, sangat perlu untuk memperjelas posisi Kepala Rutan KPK, sehingga dapat memperjelas proses hukum apa yang dapat dilakukan apabila terdapat keputusan Kepala Rutan KPK yang dianggap merugikan.
Disamping itu, dalam hal ini, KPK seharusnya tidak dengan mudah menjatuhkan sanksi dengan alasan adanya unsur penghinaan dalam surat protes tersebut, karena unsur penghinaan tersebut seharusnya dibuktikan terlebih dahulu dalam persidangan pidana. Kemudian apabila telah ada putusan yang menyatakan bahwa ada unsur penghinaan, maka baru lah KPK dapat menjatuhkan sanksi kepada narapidana atau tahanan yang terbukti melakukan penghinaan tersebut. Selain itu yang tidak kalah penting, arus informasi publik untuk mengakses ketentuan-ketentuan atau hal-hal yang terkait dengan suatu keputusan atau kebijakan, haruslah dibuka seluas-luasnya, agar masyarakat dapat mengakses dengan gampang proses lahirnya suatu keputusan atau kebijakan. Dalam hal ini, KPK harus menjelaskan apakah pemberian hukuman terhadap Anas dan lainnya telah sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang tercantum dalam Permenkumham 6/2013, mengingat KPK menjatuhkan hukuman tersebut berdasarkan Permenkumham 6/2013.