PEMBEBASAN BERSYARAT YANG “TER”ISTIMEWA (SEBUAH KETIDAKSENGAJAAN)

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), melalui SK Menteri Hukum dan HAM RI No: W11.PK.01.05.06-0028 tahun 2014, tertanggal 13 November 2014, telah resmi memberikan pembebasan bersyarat (PB) bagi terpidana dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Prijanto[1]. Keputusan pemberian PB ini menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai kalangan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), LSM yang dibidani alm Munir, mengecam keras pemberian pembebasan bersayarat tersebut. “KontraS mengecam keras pemberian pembebasan bersyarat terhadap Pollycarpus pelaku aktivis HAM Munir. Kami menilai pembebasan bersyarat tersebut merupakan sinyal bahaya terhadap penuntasan kasus pembunuhan Munir,” kata Kepala Divisi Pembelaan Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia, di Kantornya jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Minggu (30/11/2014)[2].

Reaksi serupa ditunjukkan oleh Sekretaris Ekskutif Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum), Choirul Anam, yang menegaskan, pembebasan bersyarat bagi Pollycarpus tidak hanya mencederai keadilan bagi korban dan sahabat Munir, namun juga merusak rasa keadilan publik dan demokratisasi di indonesia. Bebas bersyarat ini, lanjut Anam lagi, menjadi pertanda buruk bagi pemerintahan Jokowi dan awal dari kegagalan berkomitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Karena itu, Choirul Anam meminta Presiden Jokowi untuk segera membatalkan pembebasan bersyarat untuk Pollycarpus[3].

Di sisi lain, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafid Abbas, menilai bahwa pemberian pembebasan bersyarat kepada Pollycarpus adalah hal yang wajar dan sudah sesuai dengan syarat yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, yaitu menjalani 2/3 masa hukuman Hafid menambahkan bahwa pemberian PB ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dalam sidang umum PBB terkait Prisoner to Humanity, sehingga tidak boleh ada diskriminasi terhadap Pollycarpus dan napi-napi lainnya, terlebih Pollycarpus berkelakukan baik selama masa hukuman, sehingga memiliki hak pula untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, sama dengan napi lainnya[4].

Hal senada diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkum HAM, Handoyo Sudrajat, yang menyatakan, Kemenkum HAM telah bekerja dengan berlandaskan Undang-Undang Pemasyarakatan. Menurut Handoyo, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sudah secara tegas mengamanatkan bahwa setiap narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Begitu juga dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang menyatakan bahwa pemberian PB kepada Pollycarpus sudah sesuai ketentuan dan tidak ada ketentuan yang dilanggar. Yasonna menambahkan bahwa Pollycarpus berhak memperoleh pembebasan bersyarat 2 tahun lalu, tapi karena beberapa hal, pemberian tersebut ditunda. Yasonna menyebutkan alasan penundaan karena Pollycarpus telah menjalani 2/3 masa tahanannya dan mendapatkan remisi saat itu. Namun Yasonna menyatakan pembebasan bersyarat Pollycarpus didasari pertimbangan HAM. “Kita harus hargai HAM orang lain. Pada saat yang sama, kita harus mendukung HAM dan hak orang lain,” kata Yasonna[5].

Pembebasan bersyarat sendiri sebenarnya telah diatur dalam Pasal 15, 15a, 15b, dan 16 KUHP, dimana pada intinya, PB dapat diberikan dengan syarat sudah menjalani 2/3 masa hukumannya, dimana 2/3 tersebut minimal 9 bulan, lalu syarat umum bahwa terpidana tidak melakukan tindak pidana dan perbuatan tidak baik lainnya, serta syarat-syarat khusus yang dapat diberikan, selama tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik, dimana apabila syarat-syarat ini dilanggar, maka PB tersebut dapat dicabut. Pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan PB adalah Menteri Kehakiman, yang saat ini bernama Menteri Hukum dan HAM. Selain itu, ketentuan mengenai PB diatur pula dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana disebutkan bahwa PB adalah salah satu hak dari narapidana, dengan ketentuan narapidana tersebut telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9(sembilan) bulan.

Pengaturan tentang PB diatur pula dalam Pasal 43 dan 44 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa PB adalah hak narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dapat diberikan dengan syarat sudah menjalani 2/3 masa hukuman, minimal 9 bulan, dan keputusan pemberian PB berada di tangan Menteri, yang menurut Pasal 1 angka 9 PP 32/1999, adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pemasyarakatan, yang menurut Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor M.Hh-05.Ot.01.01 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Hukum Dan Ham Republik Indonesia, hal tersebut adalah masuk lingkup tugas dan tanggung jawab Menteri Hukum dan HAM.

Kemudian, lahirlah PP 28/2006 tentang Perubahan PP 32/1999, dimana PP tersebut menambahkan syarat untuk mendapatkan PB, yaitu berkelakuan baik selama 9 bulan terakhir, dihitung dari 2/3 masa hukuman, serta memperketat aturan PB untuk terpidana kasus narkotika, korupsi, HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, seperti terorisme, dimana pemberian PB bagi terpidana kasus-kasus ini wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.

Selain mengatur tentang pemberian PB, Pasal 46 PP 32/1999 jo. PP 28/2006, PP ini juga mengatur mengenai syarat-syarat yang apabila terpenuhi, maka PB tersebut dapat dicabut, yaitu: mengulangi melakukan tindak pidana; hidup secara tidak teratur dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat; atau malas bekerja atau sekolah.

Selanjutnya, pengaturan tentang pemberian PB diatur lebih rinci dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Repubuk Indonesia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 jo. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.Hh.01.Pk.05.06 Tahun 2008 jo. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.Hh-02.Pk.05.06 Tahun 2010 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat. Pengaturan mengenai syarat-syarat pemberian PB, diatur dalam Pasal 6, yang mana terdapat penambahan syarat pemberian PB dari peraturan sebelumnya, yaitu:

  1. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
  2. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif; dan
  3. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat.

Dalam peraturan ini, juga dirumuskan bahwa pejabat yang berwenang untuk menandatangi pemberian PB kepada terpidana adalah Direktur Jenderal Pemasyarakatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam PP 28/2006 (narkotika, korupsi, HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, seperti terorisme) setelah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dipidana selain karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam PP 28/2006 setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

Dalam Pasal 24 ayat (1), diatur pula syarat-syarat pencabutan PB, yaitu mengulangi tindak pidana; menimbulkan keresahan dalam masyarakat; dan/atau melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, dimana menurut Pasal 24 ayat (3), pencabutan PB dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas usul Kepala BAPAS melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat.

Kemudian, lahir PP 99/2012 tentang Perubahan Kedua PP 32/199, dimana dalam Pasal 43 ayat (2), syarat pemberian PB ditambah dengan telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat dan masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana, dan untuk terpidana kasus-kasus narkotika, korupsi, HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, seperti terorisme, diatur dalam pasal tersendiri yaitu pasal 43A dan 43B, dimana pada intinya, syarat-syarat pemberian PB untuk terpidana kasus-kasus tersebut juga ditambah/diperberat. Pemberian PB ini juga, menurut Pasal 43 ayat (4), dilakukan dengan Keputusan Menteri.

Mengenai syarat pencabutan pemberian PB, hanya diatur dalam Pasal 43 ayat (5), dimana pada intinya pemberian PB dicabut apabila tidak memenuhi syarat yang ada dalam Pasal 43 ayat (2) di atas, dan dalam Pasal 43 ayat (6), dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Menteri. Perlu diketahui, sampai tulisan ini dibuat, penulis belum menemukan Peraturan Menteri yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) PP 99/2012, sehingga, apabila memperhatikan Pasal 54A, yang pada intinya, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari PP 32/1999 dan PP 28/2006 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan PP ini, maka aturan-aturan mengenai syarat pemberian dan pencabutan PB dalam Permenhuk HAM M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 jo. Permenhuk HAM M.Hh.01.Pk.05.06 Tahun 2008 jo. Permenhuk HAM M.Hh-02.Pk.05.06 Tahun 2010, yang adalah peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari PP 32/1999 dan PP 28/2006, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP ini, sampai ada peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari PP 99/2012 ini.

Lalu pertanyaannya, apakah Pollycarpus sebenarnya memiliki hak atas PB yang diberikan Kemenkum HAM? Di dalam hukum, ada suatu asas yang disebut “equality before the law”, atau asas persamaan dihadapan hukum, yang diadopsi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 3 ayat (2) UU 39/1999 tentang HAM, dimana setiap orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil, atau dengan kata lain, setiap orang harus dipandang sama di mata hukum. Mengacu kepada peraturan-peraturan di atas, maka Pollycarpus, sebagai seorang terpidana, berhak atas PB yang diberikan, sama dengan terpidana lainnya, selama memenuhi seluruh syarat yang diatur dalam peraturan-peraturan di atas. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa Pollycarpus sudah menjalani masa hukuman 8 tahun dari 14 tahun masa hukuman yang harus dijalaninya. Menurut hitungan, maka 2/3 dari 14 tahun adalah 9 tahun 4 bulan. Namun, Pasal 8 ayat (1) huruf d Permenhuk HAM M.Hh.01.Pk.05.06 Tahun 2008, disebutkan bahwa hitungan masa hukuman yang kemudian dikalikan dengan 2/3 adalah masa hukuman yang dihitung sejak hari pertama ditahan dikurangi dengan remisi, dan Pollycarpus telah menerima remisi dengan total 42 bulan[6], sehingga, Pollycarpus dapat menerima PB ketika telah menjalani masa hukuman selama :
14 tahun – 42 bulan = 14 tahun – 3 tahun 6 bulan

= 11 tahun 6 bulan x 2/3

= 7 tahun 8 bulan

sehingga, dengan hitungan seperti ini, syarat telah menjalani 2/3 masa hukuman telah terpenuhi dan Pollycarpus berhak mendapatkan PB tersebut.

Mengenai syarat berkelakuan baik, sampai tulisan ini dibuat, penulis belum mendapatkan SK Menkum HAM tentang PB atas Pollycarpus, namun dari berita media, penulis mendapatkan info bahwa menurut Ketua Komnas HAM, Hafid Abbas, Pollycarpus telah berkelakuan baik selama dalam masa hukuman[7], sehingga apabila mendasarkan kepada hal ini, maka Pollycarpus telah memenuhi syarat berkelakuan baik selama masa hukuman. Namun, memang perlu kita tunggu bersama SK Menkum HAM tersebut agar dapat dilakukan pengkajian yang lebih komprehensif. Untuk sementara, penulis akan menggunakan asumsi bahwa Pollycarpus telah berkelakuan baik selama masa hukuman, khususnya dalam 9 bulan terakhir sebelum akhir masa hukuman. Untuk syarat-syarat lainnya, tentunya harus menunggu SK Menkum HAM untuk melihat apakah syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi, yang nyatanya sampai tulisan ini dibuat, SK Menkum HAM tersebut belum dipublikasikan, sehingga sulit untuk membahas syarat-syarat yang lain. Di samping itu pula, perlu dilihat apakah pemberian PB tersebut sudah melalui prosedur-prosedur yang diatur dalam peraturan-peraturan di atas, karena ketika prosedur-prosedur tersebut tidak dijelaskan, maka terdapat cacat formil dalam pemberian PB tersebut, yang dapat digunakan sebagai salah satu alasan untuk membatalkan SK Menkum HAM tersebut, yang nantinya akan penulis bahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

Untuk tulisan ini, penulis menganggap bahwa seluruh syarat pemberian PB yang diatur telah terpenuhi dan pemberian PB tersebut telah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Maka, dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, penulis berkesimpulan, Pollycarpus berhak atas PB yang diberikan kepada nya.

Apabilia kita melihat kepada pengaturan hukum internasional, pembebasan bersyarat (parole) diatur dalam United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo Rules), G.A. res. 45/110, annex, 45 U.N. GAOR Supp. (No. 49A) at 197, U.N. Doc. A/45/49 (1990) dimana aturan ini dibentuk berdasarkan 8th (Eighth) United Nations Congress on the Prevention of Crime and Treatment of Offenders, yang dilaksanakan di Havana, Cuba, 27 Agustus-7 September 1990. Aturan-aturan dalam Tokyo Rules sendiri, pada tahun 2005, telah digunakan oleh PBB sebagai salah satu aturan yang membentuk “Human Rights and Prisons : A Pocketbook of International Human Rights Standards for Prison Officials”, yang disusun sebagai bahan pengaturan mengenai HAM dalam program pelatihan, yang dilakukan oleh United Nations High Commissioner for Human Rights kepada para petugas-petugas penjara/Lembaga Pemasyarakatan.

Apakah Indonesia tunduk pada Tokyo Rules? Perlu dipahami, keseluruhan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB disebut sebagai resolusi. Resolusi sendiri memiliki 2 (dua) jenis, yang memiliki sifat, ruang lingkup serta efek hukum yang berbeda, yaitu yang bersifat internal dan eksternal. Resolusi-resolusi yang bersifat internal organisasi (dikategorikan bersifat non-rekomendatori) memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali resolusi tersebut dinyatakan secara eksplisit dikategorikan sebagai rekomendasi[8].

Yang termasuk ke dalam ruang lingkup resolusi Majelis Umum PBB jenis ini adalah resolusi yang berkaitan dengan agenda Majelis Umum, pelaksanaan fungsi-fungsi konstituante, elektif, dan fungsi finansial dan aministasi serta hal yang berkaitan dengan pengakuan anggota baru, penunjukan Sekretaris Jenderal, pemilihan berbagai dewan PBB serta ketua Majelis dan wakilnya maupun hakim-hakim Mahkamah Internasional. Dengan demikian, Resolusi Majelis Umum PBB untuk memilih negara-negara tertentu sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan juga mengikat anggota- anggota yang bersuara tidak setuju. Anggota-anggota yang tidak setuju tersebut dapat melakukan pemboikotan kerja atau menarik diri dari struktur keanggotaan organisasi. Hal ini pernah terjadi ketika Indonesia melakukan penarikan diri dari keanggotaan PBB karena tidak setuju dengan pengangkatan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan pada tahun 1960[9].

Penarikan diri ini, secara tidak langsung, dianggap sebagai penolakan terhadap pembayaran anggaran belanja kepada oragnisasi (PBB), dimana sesuai pasal 19 Piagam PBB, penolakan terhadap pembayaran anggaran belanja organisasi baik seluruhnya maupun sebagian akan dikenakan sanksi akan kehilangan hak suara dalam pemungutan suara. Tidak ada pertolongan hukum ataupun upaya hukum apapun yang dapat dilakukan terhadap anggota yang menentang keputusan-keputusan Majelis Umum tersebut. Dengan demikian nyatalah kekuatan hukum mengikat suatau resolusi Majelis Umum PBB dengan memberikan suatu sanksi yang tegas sebagaimana tertuang dalam Piagam PBB[10].

Reolusi-resolusi Majelis Umum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat eksternal pada pokoknya adalah dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Pasal 10 Piagam PBB. Dalam hal ini rekomendasi Majelis Umum diartikan sebagai nasihat yang ditujukan oleh organisasi kepada pelaku atau sejumlah pelaku tertentu dalam dunia politik yang memintanya melaksanakan atau menahan diri dari pelaksanaan tindakan atau serangkaian tindakan tertentu tanpa tidak menyatakan secara tidak langsung bahwa negara atau pelaku yang dituju dalam resolusi tersebut mempunyai suatu kewajiban hukum untuk dilaksanakan. Bentuk dari komunikasi politik internasional ini adalah berbentuk kerjasama sukarela dari para negara yang dapat diikat atau bertindak maupun menahan diri dari tindakan tanpa persetujuan sesuai dengan prinsip kedaulatan[11].

Walaupun demikian, tidak dapat disangkal bahwa keputusan-keputusan Majelis Umum PBB ini ada kalanya mempunyai kekuatan yang jauh melebihi arti formal keputusan itu sebagaimana diatur dalam Piagam PBB. Ada unsur-unsur psikologis dan hukum kebiasaan yang mengikat negara- negara untuk mematuhi resolusi Majelis Umum tersebut. Hal dapat dilihat dari Resolusi Majelis Umum tanggal 10 Desember 1948 tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Pernyataan Majelis Umum ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan. Namun demikian hingga saat ini belum ada negara yang dengan terang-terangan tidak mengakui ataupun menentang keputusan Majelis Umum tersebut dengan tegas[12].

Dalam hal ini, dengan melihat kepada jenisnya, maka Tokyo Rules, masuk ke dalam jenis Resolusi Majelis Umum PBB yang bersifat eksternal, sehingga pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kepada anggota PBB, termasuk Indonesia, namun para anggota dapat mengikatkan diri kepada Tokyo Rules tersebut. Pada kenyataannya, Indonesia sampai pada saat ini tidak pernah menyatakan bahwa Indonesia menolak atau tidak mengakui Tokyo Rules tersebut. Bahkan, setidaknya ada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang menempatkan Tokyo Rules sebagai salah satu dasar dalam pelaksanannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Permenhan) Nomor 09 Tahun 2013 Tentang Penerapan Hukum Humaniter Dan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara.

Pasal 7 huruf k Perkap 8/2009 menyebutkan bahwa:

“Setiap anggota Polri wajib memahami instrumen internasional tentang standar minimal perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan anggota Polri dengan HAM, antara lain:

a…..

  1. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 45/110 Tahun 1990 tentang Peraturan Standar Minimum untuk Tindakan Non-Penahanan (“Tokyo Rule”)

Pasal 6 Permenhan 9/2013 menyebutkan bahwa:

(1) Hukum HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi hukum yang diatur dalam berbagai perundang-undangan nasional termasuk konvensi atau kovenan tentang HAM dan bersifat universal maupun internasional yang telah diratifikasi.

(2) Konvensi atau kovenan tentang HAM dan bersifat universal maupun internasional yang telah diratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diantaranya:

a…..

  1. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 45/110 Tahun 1990 tentang Peraturan Standar Minimum untuk Tindakan Non Penahanan (“Tokyo Rule”)

 

Jadi, berdasarkan hal-hal ini, maka terlihat jelas bahwa Indonesia menundukkan diri kepada Tokyo Rules, sehingga seharusnya Tokyo Rules menjadi patokan atau setidak-tidaknya dipertimbangkan dalam kebijakan-kebijakan mengenai tindakan-tindakan/perlakuan-perlakuan non-penahanan, seperti yang diatur dalam Tokyo Rules.

Dalam poin 8.1 Tokyo Rules, pembebasan bersyarat (parole) dikategorikan sebagai salah satu bentuk non-custodial measures (perlakuan tanpa penahanan) yang dapat diberikan kepada terpidana (offenders) dalam masa “Post Sentencing” atau setelah putusan dijatuhkan kepada Terdakwa, sama seperti pengaturan yang berlaku di Indonesia. Yang menarik adalah syarat pemberian PB menurut Tokyo Rules, yaitu menurut poin 12.1 dan 12.2, dinyatakan bahwa:

Poin 12.1

If the competent authority shall determine the conditions to be observed by the offender, it should take into account both the needs of society and the needs and rights of the offender and the victim

 

Poin 12.2

The conditions to be observed shall be practical, precise and as few as possible, and be aimed at reducing the likelihood of an offender relapsing into criminal behaviour and of increasing the offender’s chances of social integration, taking into account the needs of the victim

 

Dari 2 ketentuan ini, dapat dilihat bahwa salah satu syarat diberikannya PB (parole) adalah memperhatikan kebutuhan dan kepentingan korban. Perlu diketahui, bahwa syarat ini dianut dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dalam pengaturan mengenai syarat pemberian PB, dimana syarat ini hanya diberikan kepada terpidana-terpidana kejahatan narkotika, korupsi, HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, sedangkan menurut Tokyo Rules, aturan ini tidak mengkhususkan untuk mengikat kepada tindak pidana seperti apa, sehingga seluruh pemberian PB kepada terpidana harus mengacu kepada aturan ini. Seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya,bahwa seharusnya pengambilan kebijakan mengenai tindakan non-penahanan, termasuk pemberian PB, haruslah mempertimbangkan Tokyo Rules.

Dalam pemberian PB terhadap Pollycarpus, seperti yang kita ketahui bersama dari berbagai media, bahwa istri dari Munir, Suciwati, yang dapat dikatakan sebagai korban dalam peristiwa Munir, tidak menghendaki pemberian PB kepada Pollycarpus. Selain itu, ada anggapan bahwa masyarakat tidak menghendaki pemberian PB kepada Pollycarpus karena kasus pembunuhan terhadap Munir sendiri belum terungkap siapa dalang sebenarnya, sehingga seharusnya Pollycarpus tetap ditahan dan tidak diberikan PB. Seharusnya Kemenkum Ham tidak hanya terjebak dalam syarat-syarat yang bersifat administratif, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sehingga Pollycarpus menjadi berhak atas pemberian PB. Seharusnya, Kemenkum HAM memperhatikan bagaimana perasaan keluarga dan kerabat Munir atas pemberian PB kepada terpidana pembunuh Munir, Pollycarpus. Dan masih banyak lagi kata “seharusnya” yang tercipta dari pemberian PB Pollycarpus.

Seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa secara syarat-syarat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pemberian PB kepada Pollycarpus adalah sah dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan apapun, sehingga Pollycarpus berhak atas PB yang ia terima. Namun, seharusnya memang pemberian PB ini memperhatikan kepentingan korban, yang dalam hal ini perasaan keluarga dan kerabat Munir atas pemberian PB kepada Pollycarpus.

Selain itu, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004, pada halaman 51, bahwa secara sistematik, hak asasi manusia tidaklah bersifat mutlak, karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, sehingga berdasarkan hal ini, hak Pollycarpus untuk mendapatkan PB, yang didapat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat dibatasi dengan alasan penegakan dan penghormatan atas hak orang lain, dalam hal ini keluarga dan kerabat Munir, atau dengan pertimbangan moral dan ketertiban umum.

Namun, menurut penulis, ada 1 (satu) hal yang sangat penting di dalam hukum, yang tidak boleh dilupakan, yaitu tujuan dari hukum, yaitu memberikan kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan hukum, dimana menurut penulis, dalam konteks Negara civil law, dalam setiap kebijakan hukum yang diambil, kepastian hukum yang haruslah didahulukan, kemudian keadilan, baru kebermanfaatan hukum, walaupun pada akhirnya, 3 tujuan ini haruslah terpenuhi secara bersama-sama. Secara kepastian hukum, pemberian PB Pollycarpus tidaklah bermasalah, sehingga tujuan ini telah tercapai.

Apakah secara keadilan hukum tidak tercapai? Kita akan mengatakan bahwa keadilan tidak tercapai apabila kita hanya melihat dalam lingkup yang sempit kasus Munir, dimana dalam kasus ini hanya ada 2 pihak, yaitu Pollycarpus sebagai pelaku dan keluarga serta kerabat Munir sebagai korban. Namun, coba kita membuka mata dan melihat lebih luas dan jauh ke depan dan melibatkan masyarakat luas, terutama terpidana-terpidana yang sama dengan Pollycarpus, yaitu terpidana kasus pembunuhan berencana, beserta keluarganya sebagai dasar pertimbangan kita dalam mengatakan bahwa Pollycarpus tidak berhak atas PB yang ia terima. Apakah kita pernah membayangkan apa yang akan terjadi apabila kita melarang pemberian PB terhadap Pollycarpus? Apakah secara tidak langsung, kita sebenarnya mengatakan bahwa terpidana kasus pembunuhan berencana tidak berhak mendapatkan pemberian PB, seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan? Apakah hanya keluarga dan kerabat Munir saja yang merasa terganggu dengan pemberian PB terhadap terpidana pembunuhan berencana terhadap keluarganya? Apakah keluarga korban yang lain tidak merasakan hal yang sama? Kalau memang terpidana pembunuhan berencana tidak berhak mendapatkan PB dengan mempertimbangkan perasaan keluarga dan kerabat korban, seperti dalam kasus Munir, mengapa kita baru berteriak saat ini? Dimana kita saat terpidana pembunuhan berencana lain mendapatkan PB, dimana pada saat yang sama, keluarga serta kerabat korban merasa keberatan? Mengapa hanya nyawa Munir yang menjadi sangat “istimewa”? Apakah nyawa korban pembunuhan berencana yang lain tidak istimewa?

Lalu, mengenai kebermanfaatan hukum, apakah pernah kita membayangkan, apabila pemberian PB kepada Pollycarpus tidak diperbolehkan, ada berapa jumlah keluarga korban yang akan mengajukan keberatan pula atas pemberian PB terhadap terpidana pembunuhan berencana terhadap anggota keluargnya? Apakah hal ini tidak malah membuat keadaan masyarakat lebih chaos dengan lonjakan perkara pembatalan keputusan pemberian PB kepada terpidana pembunuhan berencana terhadap anggota keluarga mereka? Apakah hal ini tidak menimbulkan perasaan tidak adil di masyarakat, mengapa baru sekarang pemberian PB ini dilarang, sedangkan mereka, yang menjadi korban, sudah merasakan kerugian akibat pemberian PB atas terpidana pembunuhan berencana atas anggota keluarga mereka sedemikian lamanya? Lalu, bagaimana mengembalikan rasa rugi keluarga-keluarga tersebut? Lalu, apakah hal tersebut malah tidak melanggar asas kepastian hukum, dimana peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tidak ada yang melarang pemberian PB terhadap terpidana pembunuhan berencana, bahkan untuk kasus narkotika, korupsi, HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi saja tidak dilarang pemberian PB, melainkan dibatasi syaratnya dengan ketat? Apakah pembunuhan berencana lebih istimewa daripada narkotika, korupsi, HAM berat, atau kejahatan transnasional terorganisasi lainnya?

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka penulis menyatakan bahwa pemberian PB kepada Pollycarpus sudah memenuhi 3 tujuan hukum, kepastian, keadilan, dan juga kebermanfaatan hukum. Kalau kita berbicara mengenai keadilan dan pembatasan hak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, bukankah keluarga dan kerabat Munir juga dapat dibatasi hak nya, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat yang lebih luas, seperti yang sudah sebutkan di atas?

Namun, bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas keluarnya SK Menkum HAM yang memberikan PB kepada Pollycarpus, sebenarnya dapat melakukan upaya hukum untuk membatalkan SK tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 1 angka 4, 3, dan 2 UU 5/1986 jo. UU 9/2004 jo. UU 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah mengatur bahwa pada intinya sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang diajukan oleh perseorangan atau badan hukum perdata terhadap dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara, dimana keputusan Tata Usaha Negara adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit (jelas mengatur apa), individual (jelas siapa yang dikenakan keputusan), dan final (langsung menimbulkan akibat hukum). Sedangkan badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SK Menkum HAM mengenai pemberian PB kepada Pollycarpus adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Menkum HAM, yang adalah pejabat yang melakukan urusan pemerintahan sesuai peraturan perundang-undangan dalam bidang pemasyarakatan, sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor M.Hh-05.Ot.01.01 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Hukum Dan Ham Republik Indonesia, pelaksanaan teknis pemasyarakatan dilakukan oleh Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban, yang berada dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS), yang adalah unsur pelaksana dan bertanggung jawab atas Menteri Hukum dan HAM. Kemudian, SK tersebut juga bersifat individual, karena jelas siapa yang dikenai akibat hukum dari SK tersebut, yaitu Pollycarpus, konkrit, karena jelas apa yang diatur dalam SK tersebut, yaitu pemberian PB kepada Pollycarpus, dan final, karena langsung menimbulkan akibat hukum kepada Pollycarpus, dimana saat ini Pollycarpus sudah tidak lagi ditahan di LP Sukamiskin, tempat ia menjalani hukumannya selama ini. Berdasarkan hal-hal ini, maka SK Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), melalui SK Menteri Hukum dan HAM RI No: W11.PK.01.05.06-0028 tahun 2014, tertanggal 13 November 2014, yang memberikan pembebasan bersyarat (PB) kepada Pollycarpus adalah objek sengketa tata usaha Negara, yang dapat diajukan pembatalannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Mungkin pendapat saya dalam tulisan ini menyakiti perasaan banyak orang, terutama keluarga besar dan kerabat dari Almarhum Munir, saya meminta maaf sebesar-besarnya. Namun, yang saya ingin tegaskan dalam tulisan ini adalah, sebagai Negara hukum, hendaknya kita berprilaku sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta tidak bertentangan dengan asas-asas serta tujuan hukum itu sendiri. Saya sangat mendukung pengusutan tuntas kasus Munir sampai kita bisa meminta pertanggungjawaban pidana dari otak pelakunya. Namun, hal tersebut tidak serta merta dapat kita gunakan sebagai dasar untuk mengabaikan ketentuan-ketentaun hukum yang berlaku di peraturan perundang-undangan Indonesia, demi memenuhi emosi-emosi dan perasaan-perasaan yang kita rasakan. Dan mari kita tidak memikirkan suatu permasalahan secara sempit dan hanya melihat tentang apa yang kita alami, tapi marilah kita coba memandang lebih luas dan jauh ke depan, dengan melihat apa yang masyarakat luas rasakan, karena dunia ini bukan hanya kita, tapi juga mereka.

[1] Taufan Nur Ismailian, “Menkum HAM Diminta Cabut Pembebasan Bersyarat Pollycarpus”, http://news.detik.com/read/2014/11/30/141744/2763198/10/menkum-ham-diminta-cabut-pembebasan-bersyarat-pollycarpus , diakses pada Selasa, 2 Desember 2014, pukul 16.00 WIB.

[2] Ibid.

[3] “Jokowi Diminta Batalkan Pembebasan Bersyarat Pollycarpus”, http://nasional.kompas.com/read/2014/11/29/20121291/Jokowi.Diminta.Batalkan.Pembebasan.Bersyarat.Pollycarpus , diakses pada Selasa, 2 Desember 2014, pukul 16.00 WIB.

[4] “Ketua Komnas HAM : Pembebasan Bersyarat Pollycarpus Wajar”, http://www.gresnews.com/berita/hukum/90112-komnas-ham-menilai-pembebasan-bersyarat-pollycarpus-wajar/ , diakses pada Selasa, 2 Desember 2014, pukul 16.15 WIB.

[5] Rivki, “Pollycarpus Bebas Bersyarat, Menkum HAM: Tidak Ada Ketentuan yang Dilanggar”, http://news.detik.com/read/2014/11/29/204315/2762992/10/pollycarpus-bebas-bersyarat-menkum-ham-tidak-ada-ketentuan-yang-dilanggar , diakses pada Selasa, 2 Desember 2014, pukul 16.10 WIB.

[6] “Ketua Komnas HAM…”, loc.cit.

[7] Ibid.

[8] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35625/3/Chapter%20II.pdf , diakses pada Rabu, 3 Desember 2014, pukul 17.00 WIB.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

One thought on “PEMBEBASAN BERSYARAT YANG “TER”ISTIMEWA (SEBUAH KETIDAKSENGAJAAN)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.