KEJAHATAN POLLYCARPUS : SUATU PANDANGAN DARI TEORI HUKUM

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), melalui SK Menteri Hukum dan HAM RI No: W11.PK.01.05.06-0028 tahun 2014, tertanggal 13 November 2014, telah resmi memberikan pembebasan bersyarat (PB) bagi terpidana dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Prijanto. Keputusan pemberian PB ini menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai kalangan. Reaksi yang menjadi perhatian bagi penulis adalah penolakan terhadap pemberian PB atas Pollycarpus dengan melandaskan kepada sifat kejahatan yang dilakukan Pollycarpus terhadap Munir, dimana ada pihak yang menyatakan bahwa perbuatan Pollycarpus merupakan tindakan kejahatan atas kemanusiaan, ada yang menyatakan bahwa perbuatan Pollycarpus adalah termasuk dalam kejahatan serius atau kejahatan berat HAM, dan ada juga yang berpendapat bahwa perbuatan Pollycarpus adalah kejahatan biasa, atau tindak pidana umum.

Atas reaksi-reaksi tersebut, perlu kiranya kita jabarkan bersama, sebenarnya, secara kodrati, dalam hukum, termasuk kategori manakah perbuatan Pollycarpus terhadap Munir? Kejahatan atas kemanusiaan kah? Kejahatan serius kah?kejahatan berat HAM kah? Atau kejahatan biasa atau tindak pidana umum? Dalam tulisan ini, penulis sengaja tidak mencantumkan siapa yang memiliki pendapat-pendapat di atas, karena penulis hanya ingin memfokuskan pembahasan pada pendapat-pendapat di atas, bukan kepada siapa yang mengeluarkan pendapat, karena sepanjang penulis melihat di Indonesia, kebiasaan yang terjadi di masyarakat adalah ketika suatu pihak mengeluarkan suatu pendapat, dan mereka menyalahkan atau membenarkan pendapat tersebut, yang terjadi adalah menganggap semua pendapat yang dikeluarkan oleh pihak tersebut selalu salah atau benar. Padahal, tidak semua pendapat pihak-pihak tersebut adalah benar dan salah, termasuk pihak-pihak di atas.

Untuk dapat menentukan termasuk kategori manakah perbuatan Pollycarpus, penting untuk kita melihat melalui instrument-instrumen hukum yang ada, baik nasional, maupun internasional, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan, kejahatan serius, kejahatan HAM berat, dan kejahatan umum itu?

Pertama, penulis akan menjabarkan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan kejahatan HAM berat. Istilah kejahatan HAM berat, pertama kali muncul dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum”. Kemudian, pada tahun 2000, lahirlah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimana menurut bagian “menimbang” huruf b, UU ini dibentuk untuk melaksanakan Pasal 104 ayat (1) UU 39/1999 di atas. Lalu, pada Pasal 1 angka 3 UU 26/2000, disebutkan bahwa “Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat” dan dalam pasal 1 angka 2 UU 26/2000, disebutkan bahwa “Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”.

Apa saja pelanggaran hak asasi manusia, yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat menurut UU ini? Pasal 7 UU 26/2000 telah mengatur secara tegas bahwa pelanggaran HAM berat meliputi “Kejahatan Genosida” dan “Kejahatan Kemanusiaan”. Sedangkan, yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU 26/2000, yaitu :

Pasal 8

Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

  1. membunuh anggota kelompok;
  2. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota anggota kelompok;
  3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
  4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
  5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

 

Pasal 9

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematlk yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :

  1. pembunuhan;
  2. pemusnahan;
  3. perbudakan;
  4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
  5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional;
  6. penyiksaan;
  7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang setara;
  8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, efnls, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
  9. penghilangan orang secara paksa; atau
  10. kejahatan apartheid;

Apabila kita mencermati mengenai pengertian kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan, yang adalah pelanggaran HAM berat menurut UU 26/2000, menurut UU yang berlaku di Indonesia mengenai pelanggaran HAM berat, maka perbuatan Pollycarpus yang terbukti membunuh Munir tidaklah termasuk dalam kejahatan genosida, karena kejahatan genosida mensyaratkan bahwa kejahatan tersebut dilakukan “dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama”, yang dilakukan dengan cara yang tersebut di atas, sedangkan perbuatan Pollycarpus adalah pembunuhan terhadap Munir seorang diri saja. Kemudian, perbuatan Pollycarpus juga bukan termasuk kejahatan kemanusiaan, karena seperti yang dapat kita lihat bersama bahwa kejahatan kemanusiaan mensyaratkan adanya “serangan yang sistematik atau meluas”, yang dilakukan dengan cara-cara yang telah disebutkan di atas, sedangkan apa yang terbukti dilakukan Pollycarpus terhadap munir adalah pembunuhan terhadap munir seorang saja, tidak ada serangan lain yang bersifat sistematik atau meluas.

Mengenai unsur “Meluas” dan “Sistematis”, berdasarkan putusan perkara “The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”, case no. ICTR-96-4-T, pada pengadilan tingkat pertama, konsep meluas dapat didefinisikan sebagai serangan yang besar, sering, dalam skala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan sungguh-sungguh dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak, sedangkan defenisi sistematik adalah perbuatan tersebut benar-benar terorganisir dan mengikuti pola yang teratur atas dasar kebijakan umum yang melibatkan sumber daya publik atau swasta yang besar.

Mengenai unsur “Meluas” pula, dalam putusan tersebut, disebutkan bahwa “Namun bila mengikuti yurisprudensi ICTR terhadap Jean-Paul Akayesu diatas, tetap tidak dapat mendefenisikan berapa orang korban yang jatuh untuk untuk dapat dikatakan meluas. Yurisprudensi tersebut tetap menyisakan pertanyaan, berapa besar takaran dari banyak dan besar?. Jatuhnya korban mati sebanyak 200 orang dapat saja dikatakan meluas banyak dan besar. Sebaliknya, jatuhnya korban meninggal hanya sebanyak 5 orang juga dapat dikatakan sebagai banyak, besar dan meluas, sehingga argumen untuk mengatakan satu orang saja yang menjadi korban juga dipertanyakan karena tidak ada nilai matematis untuk menyatakan unsur melus tersebut”.

Pendapat ini penulis terjemahkan menjadi “walaupun korban hanya satu orang saja, bisa saja membuat hal ini memenuhi unsur “meluas”, karena tidak ada ukuran matematis untuk menyatakan unsur “meluas” tersebut”. Namun, walaupun tidak ada ukuran matematis yang pasti, secara logika (setidaknya logika penulis), 1 orang korban tidak lah dapat dikatakan meluas, karena meluas pasti mengisyaratkan korban yang berjumlah lebih dari 1 orang. Selain itu, dari definisi yang diambil dari putusan tersbeut di atas, unsur “Meluas”, mengisyaratkan adanya jumlah korban yang “Banyak”. Apakah 1 (satu) dapat dikatakan banyak? Menurut penulis, kita tidak perlu ukuran matematis yang baku untuk menyatakan bahwa 1 (satu) bukan lah termasuk dalam kategori “Banyak”.

Kemudian, terkait definisi “Sistematis”, ada unsur yang sangat menarik perhatian penulis, yaitu “atas dasar kebijakan umum yang melibatkan sumber daya publik atau swasta yang besar”. Perlu kita ketahui bersama, sampai saat ini, belum ada FAKTA bahwa ada sumber daya publik yang terlibat. Sejauh ini, berdasarkan isu yang berkembang, menurut beberapa pakar intelijen, pelaku utama dari pembunuhan Munir adalah BIN yang memiliki konflik kepentingan dengan Munir. Lalu, dalam majalah Tempo Edisi Khusus no.4341/ 8-14 Desember 2014 halaman 48, disebutkan bahwa ada keterangan Kolonel Budi Santoso, yang mana ia mengakui ada keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir. Kemudian, ada isu yang menyatakan bahwa “Dalam Putusan PK dari Pollycarpus, ada indikasi mengarah kepada BIN sebagai institusi yang menghabisi Munir. Majelis Hakim mengakui kesaksian dari Raden Mohammad Patma Anwar alias Ucok alias Empe alias Aa sebagai saksi, seorang agen BIN yang mengakui bahwa memang rencana untuk membunuh Munir telah ada dalam BIN dengan inisiasi dari Bapak E” (Deputi II BIN/Drs. Manunggal Maladi) untuk membunuh Munir sebelum Pemilihan Presiden, sebagaimana dalam putusan nomer 109 PK/Pid/2007”.

Berdasarkan jabaran-jabaran ini, ada hal yang menurut penulis harus dikritisi lebih lanjut untuk memperjelas dasar argument yang penulis pakai dalam menyusun tulisan ini. Pertama, untuk membuktikan bahwa unsur “Sistematis” telah terpenuhi, harus ada kebijakan umum yang melibatkan sumber daya publik atau swasta yang besar, yang dalam kasus pembunuhan Munir, hal itu “diperlihatkan” dengan adanya kebijakan dari BIN untuk membunuh Munir. Namun, yang harus disadari, apabila kita melihat jabaran-jabaran di atas, maka keterlibatan BIN dalam kasus pembunuhan Munir adalah masih sebatas isu, indikasi, dan keterangan saksi yang ada di persidangan Pollycarpus. Satu hal yang harus kita pahami adalah untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, tidak lah dapat menggunakan isu-isu, atau indikasi-indikasi, atau hal-hal lain, melainkan harus menggunakan fakta-fakta yang valid. Satu-satunya yang dapat dikatakan sebagai fakta adalah keterangan Kolonel Budi Santoso di atas, yang menyebutkan ada keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir. Mengapa saya mem-bold “ada keterlibatan BIN”? karena hal inilah yang akan penulis kritisi lebih lanjut.

Kedua, ada satu konsep yang harus dikritisi dari unsur “kebijakan umum yang melibatkan sumber daya publik”, yang dalam kasus ini adalah adanya keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir. Seperti “isu” yang beredar sampai saat ini, bahwa yang terlibat adalah Kolonel Budi Santoso, Muchdi PR, bahkan yang disebut sebagai penginisiasi adalah Deputi II BIN, yaitu Drs. Manunggal Maladi. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah keterlibatan orang-orang di atas, yang dapat dikategorikan “orang BIN”, dapat serta merta menyebabkan BIN sebagai institusi, dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana? Secara pribadi, penulis belum pernah mendengar adanya “FAKTA” bahwa telah ada persetujuan dari Kepala BIN saat itu, yaitu A.M. Hendropriyono. Pertanyaannya, apakah tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap Munir, yang tanpa persetujuan Hendropriyono sebagai Kepala BIN saat itu, walaupun dilakukan oleh orang BIN yang punya kewenangan melakukan tindakan-tindakan tersebut, dapat dikatakan sebagai “Tindakan BIN” atau “Kebijakan Umum dari BIN”?

Penulis berpendapat, selama belum ada fakta yang menyebutkan bahwa dilakukan atas persetujuan Hendropriyono sebagai Kepala BIN pada saat itu, maka tindakan-tindakan tersebut bukanlah tindakan BIN atau kebijakan umum dari BIN, melainkan tindakan “Orang BIN”. Secara hukum, “tindakan orang BIN” dan “tindakan BIN” adalah 2 (dua) konstruksi yang berbeda dan memiliki akibat yang berbeda pula. Apabila dalam konstruksi “tindakan BIN”, maka BIN sebagai institusi dapat dimintai pertanggungjawaban, sedangkan dalam kontruksi “tindakan orang BIN”, maka BIN sebagai institusi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Sebagai contoh, dalam kasus korupsi Akil Mochtar, yang mana pada saat itu ia menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, apakah karena perbuatan korupsi Akil Mochtar, MK juga dapat serta merta kita katakan telah melakukan Korupsi? Tentu tidak. Sehingga, hal inilah yang menjadi dasar penulis menyatakan bahwa unsur “sistematis” dalam pasal 9 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM tidak terpenuhi, karena, pada “FAKTA” nya, tidak ada keterlibatan kebijakan umum dari organisasi publik, yang dalam hal ini adalah BIN, dalam pembunuhan Munir. Fakta yang ada sekarang hanyalah menyebutkan bahwa ada keterlibatan beberapa orang BIN dalam pembunuhan Munir. Namun, hal itu tidak serta merta dapat dikatakan bahwa perbuatan orang-orang tersebut adalah perbuatan BIN sebagai Institusi.

Sehingga, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis dengan yakin menyatakan bahwa pendapat yang menyebutkan bahwa pembunuhan yang dilakukan Pollycarpus terhadap Munir adalah kejahatan (pelanggaran) HAM berat dan kejahatan kemanusiaan adalah sangat tidak tepat dan pendapat tersebut bertentangan dengan UU yang berlaku dan mengatur mengenai pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan di Indonesia, yaitu UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Dalam sidang Mahkamah Konstitusi nomor perkara 065/PUU-II/2004 atas nama pemohon Abilio Jose Osorio Soares, yang adalah terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur, pada halaman 50, pihak pemerintah dalam jawabannya menyatakan bahwa pada intinya, pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (sebagaimana diatur dalam UU 26/2000) adalah untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran berat hak asasi manusia melalui mekanisme pengadilan nasional (domestic mechanism as a primary forum) secara terhormat dan profesional dengan mengadopsi Rome Statute of International Criminal Court 1998, sepanjang menyangkut elemen-elemen kejahatan (elements of crimes) yang berkaitan dengan kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Dan apabila kita melihat kepada Pasal 5 Rome Statute of International Criminal Court 1998, bahwa kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan, yang adalah kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat, ditambah dengan kejahatan perang (War Crime) dan kejahatan agresi (The Crime of Aggression), dikategorikan sebagai “Most Serious Crime” atau “Kejahatan Sangat Serius” atau “Kejahatan Paling Serius”. Sehingga, berdasarkan hal ini, maka ungkapan bahwa perbuatan Pollycarpus termasuk “kejahatan serius atau kejahatan berat HAM” tidak lah tepat, karena kejahatan HAM berat bukan lah kejahatan serius atau “serious crime”, melainkan kejahatan sangat/paling serius atau “most serious crime”.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan kejahatan serius atau “serious crime”? Perlu diketahui bahwa penulis belum pernah menemukan definisi mengenai kejahatan serius dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Satu-satunya definisi pasti tentang apa yang dimaksud dengan “serious crime” penulis dapatkan dari United Nations Convention against Transnational Oranized Crime (UNTOC), yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Transnational Organized Crime” (Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi) pada tanggal 12 Januari 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960), dimana dalam pasal 2 huruf b dinyatakan bahwa “Serious crime” shall mean conduct constituting an offence punishable by a maximum deprivation of liberty of at least four years or a more serious penalty” (terjemahan bebas oleh penulis : Kejahatan serius berarti perbuatan, yang merupakan sebuah pelanggaran, yang dapat dihukum dengan perampasan kemerdekaan maksimal, setidaknya 4 (empat) tahun atau dengan hukuman yang lebih serius).

Menurut Arsil, peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), aturan tersebut di atas, di Indonesia, mengacu kepada pasal 21 ayat (4) huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana perampasan kemerdekaan yang dimaksud adalah penahanan, dan syarat dapat dilakukannya penahanan terhadap seseorang menurut pasal di atas adalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya 5 tahun atau lebih. Adapun angka “4 tahun” dalam UNTOC adalah batas syaratv penahanan yang ada di Belanda, yang digunakan sebagai acuan dalam UNTOC tersebut. Artinya, kejahatan serius di Indonesia adalah kejahatan yang dapat dikenakan penahanan, yaitu kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka perbuatan Polluycarpus terhadap Munir, yang menurut putusan Mahkamah Agung nomor 133PK/PID/2011, terbukti melakukan pembunuhan berencana, sesuai Pasal 340 KUHP, dimana Pasal 340 KUHP memiliki ancaman pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 tahun, sehingga masuk sebagai perbuatan yang dapat dikenakan penahan terhadap pelakunya, adalah termasuk ke dalam kejahatan serius. Namun, hal ini tidak serta merta menyebabkan Pollycarpus tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat, seperti yang didengung-dengungkan saat ini.

Mari kita lihat Pasal 362 KUHP tentang pencurian, dimana pasal ini memiliki ancaman pidana penjara 5 tahun, yang artinya dapat dikenakan penahanan terhadap pelakunya, dan masuk dalam kategori kejahatan serius. Lalu, Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan mati, dimana pasal ini memiliki ancaman pidana penjara maksimal 7 tahun, yang juga termasuk kejahatan serius. Kemudian, Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mneyebabkan mati, dimana pasal ini memiliki ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun, yang artinya juga masuk ke dalam kejahatan serius.

Dengan melihat pada ketentuan ini, maka pelaku pembunuhan, pencurian, penganiayaan yang menyebabkan mati, kealpaan yang menyebabkan mati, dan pelaku tindak pidana dalam KUHP yang lain, yang perbuatannya memiliki ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan masuk dalam kategori pelaku kejahatan serius, pada dasarnya berkedudukan sama. Dan terlebih, dimana menurut ELSAM dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Tentang Pembentukan Pengadilan HAM”, tindak pidana yang diatur dalam KUHP adalah tindak pidana biasa “ordinary crime”, sehingga perbuatan pelaku-pelaku di atas adalah masuk tindak pidana biasa, termasuk Pollycarpus. Pollycarpus dan pelaku-pelaku dalam contoh di atas memiliki kedudukan sama, yaitu melakukan kejahatan biasa yang dikategorikan sebagai kejahatan serius.

Apabila kita mengatakan bahwa Pollycarpus tidak berhak menerima pembebasan bersyarat karena perbuatannya terhadap Munir, maka secara tidak langsung, maka kita juga mengatakan bahwa pelaku pencurian, penganiayaan yang menyebabkan mati, kelalaian yang menyebabkan mati, dll juga tidak berhak menerima pembebasan bersyarat. Lalu, kalau hal ini salah, maka mengapa kita tidak pernah berteriak atas pemberian pembebasan bersyarat yang diterima oleh terpidana pembunuhan berencana lainnya, pencurian, penganiayaan yang menyebabkan mati, dll? Bukankah Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 telah mnegatur bahwa setiap orang harus mendapat perlakuan yang adil dan sama dihadapan hukum?

Anggaplah kita memakai konstruksi keadilan bahwa keadilan bukan dilakukan sama rata, namun dengan melihat kondisi dan situasi tertentu. Apakah keluarga korban pembunuhan berencana lainnya juga tidak merasa kehilangan? Tidak merasakan sedih? Tidak merasakan kesulitan dalam menghidupi keluarga? Atau yang lain-lain?

Kalau ingin menjadikan isu-isu atau indikasi-indikasi mengenai pelanggaran HAM berat tersebut sebagai fakta, silahkan buktikan di persidangan Pengadilan HAM atas kasus kejahatan kemanusiaan, yang termasuk kejahatan HAM berat. Pertanyaannya, apakah masih bisa Pollycarpus didakwa dengan dakwaan melakukan kejahatan kemanusiaan atas pembunuhan Munir, padahal sudah dipidana atas peristiwa yang sama, dengan dakwaan yang berbeda, yaitu Pasal 340 KUHP? Apakah tidak melanggar asas Nebis In Idem, atau seseorang tidak dapat dipidana lebih dari sekali?

Perlu diketahui, bahwa pengertian asas Nebis In Idem di Indonesia sendiri masih sangat beragam. Ada yang mendefinisikan asas tersebut adalah asas dimana seseorang tidak dapat dihukum lebih dari sekali atas peristiwa yang sama. Ada yang mendefinisikan asas tersebut dimana seseorang tidak dapat dihukum lebih dari sekali atas peristiwa dan dakwaan yang sama. Untuk kasus Pollycarpus, ia sudah dipidana dengan pasal 340 KUHP atas peristiwa pembunuhan Munir. Apakah Pollycarpus masih bisa didakwa dengan Pasal 9 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, mengenai kejahatan kemanusiaan? Pasal berbeda, peristiwa sama.

Kalau mengikuti pendapat pertama, maka jawabannya adalah Pollycarpus tidak bisa didakwa dengan Pasal 9 UU 26/2000, karena walaupun pasal dakwaan telah berbeda, namun peristiwa yang menjadi dasar dakwaan adalah sama, sehingga berlaku lah asas Nebis In Idem. Sedangkan, apabila mengikuti pendapat kedua, maka jawabannya adalah Pollycarpus bisa didakwa kembali dengan Pasal 9 UU 26/2000, karena pasal yang didakwakan adalah berbeda, walaupun perbuatan yang mendasari adalah sama, sehingg asas Nebis In Idem tidak berlaku.

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa Pollycarpus tidak bisa didakwa dan dipidana lagi dengan pasal 9 UU 26/2000, dimana asas Nebis In Idem berlaku, apakah hal ini menjadi halangan untuk mendakwa Pollycarpus dengan Pasal tentang kejahatan kemanusiaan, yang adalah kejahatan HAM berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU 26/2000? Perlu diingat bahwa dalam sejarah, dalam kasus Nuremberg, pengadilan yang mengadili kejahatan HAM berat pada saat itu mengenyampingkan asas yang ada dalam hukum pidana, yaitu larangan untuk berlaku surut atau non-retroaktif, dengan memperhatikan bentuk kejahatan HAM berat yang sangat menciderai rasa kemanusiaan. Perbuatan Pollycarpus bisa jadi masuk ke dalam kejahatan HAM berat, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Pertanyaannya, apakah Indonesia berani mengukir sejarah dengan melanggar asas yang ada dalam hukum pidana, yaitu asas Nebis In Idem? Kalau bertanya bisa atau tidak dilanggar, dengan berkaca kepada peradilan Nuremberg, maka jawabannya, dalam mengadili kasus kejahatan HAM berat, bisa saja asas Nebis In Idem dilanggar. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah Negara mau dan berani untuk melakukan hal itu? Ini bukan masalah bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak. Dan tentunya, hal itu adalah kebijakan politik hukum dari pemerintah yang berkuasa saat ini.

Pada intinya, pembunuhan terhadap Munir adalah SAMA dengan pembunuhan terhadap orang lainnya, setidaknya sampai saat ini, dengan fakta-fakta yang ada sampai saat ini pula. Peraturan perundang-undangan kita belum menentukan adanya pemidanaan khusus bagi pembunuhan atau perbuatan lain terhadap seorang aktivis, seorang yang membela hak-hak rakyat, seorang yang selalu berteriak kebenaran, dan lain sebagainya, sehingga disamakan dengan pembunuhan terhadap orang lainnya. Pembunuhan terhadap aktivis HAM, yang mungkin berbicara mengenai pelanggaran HAM berat, kejahatan kemanusiaan, genosida, dan lain sebagainya, tidak lah sama dengan pelanggaran HAM berat, kejahatan kemanusiaan, atau kejahatan genosida.

Yang ingin saya sampaikan adalah kita harus menundukkan segala sesuatu tepat pada porsinya. Berbicara mengenai hukum, kita berbicara mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku, bagaimana hukum dalam peraturan perundang-undangan tersebut mengatur mengenai hal yang kita bicarakan. Jangan berpendapat mengenai suatu hukum, namun melenceng dari hukum itu sendiri, terutama apabila kita kita memiliki bargaining yang kuat untuk didengar masyarakat. Jangan berikan masyarakat pendapat hukum yang salah, karena mereka tidak berhak atas itu. Masyarakat berhak atas pendapat hukum yang benar, mengenai benar tidaknya sesuatu, dan biarkan masyarakat menilai suatu hal hukum dengan hukum yang benar.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.