RELATIVITAS SALAH BENAR ATAS DASAR BERPIKIR DAN LOGIKA, PENAFSIRAN SANG WAKIL TUHAN (BACA : MANUSIA) DAN MANUSIA

Senin, 16 Februari 2015, Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, H. Sarpin Rizaldi, S.H., M.H. telah menjatuhkan putusan praperadilan dalam perkara nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., yang diajukan Pemohon Komjen Pol. Budi Gunawan, atas Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015, yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon, Komisi Pemberantasan Korupsi. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim adalah menyatakan Surat Perintah Penyidikan tersebut adalah tidak sah, sehingga penetapan Pemohon sebagai tersangka, yang adalah salah satu isi Surat Perintah Penyidikan di atas, juga menjadi tidak sah. Selain itu, Hakim menyatakan bahwa KPK tidak berwenangan melakukan proses hukum terhadap BG, karena perkara nya tidak memenuhi kualifikasi perkara yang dapat diproses secara hukum oleh KPK, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 11 UU 30/2002 tentang KPK, sehingga proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK terhadap BG menjadi tidak sah.

Putusan ini pun mengundang beragam reaksi dari masyarakat Indonesia, terutama dari pemerhati dan aktivis anti korupsi. Ada yang memuji dan banyak yang mencela putusan ini, ataupun Hakim nya, yaitu Hakim Sarpin. Namun, apapun reaksinya, kita harus sadar bahwa dalam hal ini, Hakim Sarpin adalah orang yang berwenang menjatuhkan putusan tersebut dan tetap harus menghormati putusan itu. Tapi, harus dipahami pula, menghormati bukan berarti tidak boleh mengkritisi isi putusan tersebut. Untuk itulah, tulisan ini hadir, yaitu untuk mengkritisi isi putusan tersebut, lebih tepatnya beberapa isi putusan tersebut, khusus kepada penalaran-penalaran hukum yang dipakai Hakim Sarpin dalam mempertimbangkan untuk memutus perkara tersebut.

Sebelum tulisan ini, penulis telah membuat tulisan yang berjudul “Putusan “Hokum” Praperadilan Budi Gunawan, Progresivitas Tanpa Dasar Dan Penuh Paksaan”, yang membahas mengenai hal ini pula. Adapun tulisan tersebut ditulis sebelum penulis membaca putusan Hakim Sarpin secara langsung dan lengkap, hanya dari mendengar pembacaan putusan tersebut melalui televisi, sehingga dipastikan ada yang tidak lengkap dalam mengomentari pertimbangan Hakim Sarpin. Tulisan ini penulis hadirkan untuk memperlengkap komentar-komentar dalam tulisan tersebut dimana tulisan ini dibuat setelah penulis membaca secara langsung dan keseluruhan putusan tersebut, sehingga pertimbangan-pertimbangan yang akan penulis komentari juga lebih lengkap. Sebelumnya, bagi yang belum membaca secara lengkap putusan Hakim Sarpin, bisa di download disini.

Seperti yang sudah penulis jelaskan di atas, bahwa dalam tulisan ini, penulis hanya akan mengkritisi beberapa bagian dari putusan ini, yaitu bagian penalaran-penalaran dalam mempertimbangkan untuk menjatuhkan putusan ini. Ada 2 (dua) hal yang penulis ingin kritisi, yaitu mengenai penafsiran dalam memasukkan penetapan tersangka dalam objek praperadilan dan penafsiran mengenai “aparat penegak hukum” dan “penyelenggara Negara”, yang diatur dalam Pasal 11 UU 30/2002. Mengenai penalaran dalam memasukkan penetapan tersangka dalam objek praperadilan, penulis akan membahas dari sisi historis mengenai objek praperadilan di Indonesia, sedangkan mengenai penalaran “aparat penegak hukum” dan “penyelenggara Negara” yang diatur dalam Pasal 11 UU 30/2002, akan penulis bahas dengan logika peraturan perundang-undangan.

Mengenai hal yang pertama, dalam putusannya, setelah mempertimbangkan beberapa hal yang para pembaca bisa membaca sendiri dalam putusan tersebut, Hakim Sarpin memberikan pendapat sebagai berikut:

Menimbang, bahwa segala tindakan Penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan Penuntut Umum dalam proses penuntutan yang belum diatur dalam pasal 77 jo. pasal 82 ayat (1) jo. pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan Penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan Penuntut Umum dalam proses penuntutan adalah Lembaga Praperadilan;

Menimbang, bahwa terkait langsung dengan permohonan Pemohon, karena “Penetapan Tersangka” merupakan bagian dari rangkaian tindakan Penyidik dalam proses penyidikan, maka lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Lembaga Praperadilan;

Perlu diketahui bahwa KUHAP sendiri telah mengatur dengan jelas dan terang mengenai praperadilan, yaitu dalam Pasal 77 jo. Pasal 78 Ayat (1) dan Pasal 95 Ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya, yang mana pasal-pasal tersebut berbunyi seperti berikut:

Pasal 77

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pasal 78

  • Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.

Pasal 95

  • Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 

Penjelasan:

Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.

Jadi, sudah sangat jelas diatur bahwa menurut KUHAP, tidak semua tindakan Penyidik pada tahap penyidikan dan tindakan Penuntut Umum pada tahap penuntutan dapat diuji keabsahannya melalui praperadilan, melainkan hanyalah yang tertera dalam Pasal 77 KUHAP. Adapun yang ada dalam Pasal 95 Ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya, bukanlah pengujian keabsahan dari tindakan dalam penyidikan atau penuntutan, melainkan permohonan ganti kerugian, yang menurut Pasal 95 Ayat (2) KUHAP mengikuti acara praperadilan.

Apabila kita melihat kepada pendapat Hakim Sarpin yang memasukkan seluruh tindakan Penyidik dan Penuntut Umum sebagai objek yang dapat diuji keabsahannya melalui mekanisme praperadilan dan ketentuan mengenai praperadilan dalam KUHAP, maka kita akan mendapati bahwa pendapat Hakim Sarpin adalah tidak sama dengan apa yang diatur dalam KUHAP. Hakim Sarpin pun mengakui hal ini dalam putusannya. Namun, dalam hal ini, ia melakukan penafsiran dengan melihat kepada sejarah praperadilan yang berasal dari Habeas Corpus, yaitu sebuah mekanisme yang ada pada sistem hukum Anglo Saxon untuk menguji keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum dan sebagai bentuk pengawasan dari Pengadilan agar tindakan yang dilakukan dalam tahap penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Sehingga, ia berpendapat bahwa seharusnya, seluruh keabsahan dari upaya paksa dalam tingkat penyidikan dan penuntutan dapat diuji dengan mekanisme praperadilan.

Pendapat ini adalah salah satu pendapat yang ingin penulis kritisi dalam tulisan ini. Menurut penulis, apabila kita melihat secara peraturan yang mengatur tentang praperadilan, yaitu KUHAP, dan juga melihat secara filosofi dan sejarah praperadilan, tidak semua keabsahan upaya paksa dapat diuji dengan mekanisme praperadilan. Mengapa? Karena tidak semua upaya paksa memiliki sifat yang sama, terutama terkait sifat pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa tersebut. Dari upaya-upaya paksa yang ada, ada 2 (dua) sifat yang ada, yaitu ada yang hanya dapat dilakukan setelah adanya izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan ada yang dapat langsung dilaksanakan tanpa membutuhkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Upaya paksa yang memiliki sifat hanya dapat dilakukan setelah adanya izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat adalah penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 33 Ayat (1), Pasal 38 Ayat (1), dan Pasal 47 Ayat (1) KUHAP, yang berbunyi:

Pasal 33 (1)

Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.

Pasal 38 (1)

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.

Pasal 47 (1)

Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.

Tentunya, izin ini dibutuhkan dalam keadaan normal, dalam arti bahwa tidak ada hal mendesak ataupun keadaan tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Karena menurut KUHAP, apabila dalam keadaan mendesak atau dalam keadaan tertangkap tangan, izin ini dapat dilakukan setelah tindakan dilakukan. Namun, pada intinya, harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, baik itu sebelum tindakan dilakukan (dalam keadaan normal) atau setelah tindakan dilakukan (dalam keadaan mendesak atau tertangkap tangan).

Sedangkan, upaya paksa yang tidak memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat sebelum dilakukan adalah penangkapan dan penahanan. Pembaca dapat membaca sendiri bahwa di dalam Pasal 16-19 KUHAP yang mengatur mengenai Penangkapan dan Pasal 20-31 KUHAP yang mengatur mengenai Penahanan, tidak satupun pasal atau ayat yang mengatur bahwa penangkapan dan penahanan baru dapat dilakukan setelah adanya izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Bagi yang mungkin malas mengambil dan membuka KUHAP nya, pembaca bisa membaca KUHAP disini.

Lalu, apa hubungannya izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan pengawasan dan praperadilan? Seperti yang dikatakan oleh Hakim Sarpin, bahwa konsep praperadilan bersumber dari konsep Habeas Corpus, yang mana sudah penulis jelaskan di atas, bahwa Habeas Corpus adalah bentuk pengawasan dari Pengadilan agar tindakan yang dilakukan dalam tahap penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Pertanyaannya, apakah izin Ketua Pengadilan Negeri setempat tidak dapat dikatakan sebagai pengawasan Pengadilan terhadap tindakan penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat? Apabila penggeledahan, penyitaan, dan/atau pemeriksaan surat dapat dilakukan secara sewenang-wenang tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri setempat? Apakah Ketua Pengadilan Negeri dapat tidak memberikan izin untuk dilakukannya tindakan penggeledahan, penyitaan, dan/atau pemeriksaan surat?

Jawabannya, menurut penulis, izin Ketua Pengadilan Negeri adalah bentuk pengawasan dari Pengadilan atas tindakan penggeledahan, penyitaan, dan/atau pemeriksaan surat, dimana tindakan-tindakan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dan Ketua Pengadilan negeri setempat dapat tidak memberikan izin untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut apabila memang tindakan tersebut tidak harus dilakukan atau dilakukan secara sewenang-wenang. Secara filosofis dan historis, hal inilah yang mendasari bahwa upaya paksa berbentuk penggeledahan, penyitaan, dan/atau pemeriksaan tidak dapat diuji keabsahannya dengan mekanisme praperadilan, karena dalam pelaksanaannya sudah terdapat pengawasan dari Pengadilan dalam bentuk izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, sehingga tidak diperlukan lagi pengawasan terhadap tindakan-tindakan tersebut dalam proses praperadilan, yang adalah bentuk pengawasan Pengadilan pula. Atau dengan kata lain, ketika sudah ada izin Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk dilakukannya penggeledahan, penyitaan, dan/atau pemeriksaan surat, maka pelaksanaan penggeledahan, penyitaan, dan/atau pemeriksaan surat tersebut akan dengan sendirinya akan menjadi sah. Lagipula, akan menjadi hal yang canggung apabila telah ada izin Ketua Pengadilan setempat untuk melakukan penggeledahan, penyitaan, dan/atau pemeriksaan surat, kemudian Hakim praperadilan membatalkan izin Ketua Pengadilan Negeri.

Pemikiran ini juga yang mendasari mengapa penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan harus dapat diuji keabsahannya melalui mekanisme praperadilan. Hal ini dikarenakan, seperti yang sudah penulis jelaskan, bahwa penangkapan dan penahanan tidak memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, sama hal nya dengan penghentian penyidikan dan penuntutan, yang apabila kita melihat pasal yang mengatur dalam KUHAP, yaitu Pasal 109 Ayat (2) KUHAP untuk penghentian penyidikan dan Pasal 140 Ayat (2) huru a KUHAP untuk penghentian penuntutan, maka kita akan menemukan bahwa pengehentian penyidikan dan penuntutan tidaklah memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, sehingga belum ada pengawasan Pengadilan terhadap keabsahan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan yang dilakukan. Atas dasar inilah, kita memerlukan mekanisme pengawasan Pengadilan untuk menguji keabsahan tindakan-tindakan tersebut, dan mekanisme pengawasan yang diberikan dan dapat kita gunakan adalah praperadilan.

Jadi, pada intinya, penulis berpendapat, bahwa secara historis dan filosofis, praperadilan adalah mekanisme pengawasan Pengadilan dalam menguji keabsahan upaya paksa, yang dilakukan dalam tahap penyidikan dan/atau penuntutan, yang sebelumnya tidak memiliki mekanisme pengawasan Pengadilan, atau dalam konteks hukum Indonesia, praperadilan hanya berwenang menguji keabsahan upaya paksa yang tidak memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Inilah patokan yang dipakai untuk menentukan apakah suatu upaya paksa dapat diuji keabsahannya melalui proses praperadilan.

Pada dasarnya, penulis sepakat dengan penafsiran Hakim Sarpin yang kemudian memasukkan penetapan tersangka sebagai objek yang dapat diuji keabsahannya dengan praperadilan. Menurut penulis, keputusan Hakim Sarpin yang menafsirkan mengenai objek praperadilan yang kemudian memasukkan pengujian keabsahan penetapan tersangka sebagaia objek praperadilan sangat patut diapresiasi, terutama apabila dilihat dari sisi perkembangan hukum acara pidana. Dalam tulisan penulis sebelumnya yang berjudul “Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan, Sebuah Progresivitas Hukum Yang Dibutuhkan”, hal ini pun penulis yakini sebagai langkah progresif di bidang hukum acara pidana yang sangat dibutuhkan saat ini. Namun, yang penulis tidak sepakat dan ingin kritisi adalah pendapat Hakim Sarpin yang menyatakan “seluruh pengujian keabsahan upaya paksa dalam tahap penyidikan dan penuntutan masuk ke dalam objek praperadilan”, karena seperti yang telah penulis jelaskan di atas, tidak semua upaya paksa dapat diuji keabsahannya dengan praperadilan, melainkan hanya upaya paksa yang tidak memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk dilakukan. Menurut penulis, pendapat tersebut bertentangan dengan historis dan filosofis dari praperadilan itu sendiri, seperti yang sudah penulis jelaskan di atas. Walaupun pada faktanya, pendapat ini akhirnya menjadi dasar bagi Hakim Sarpin untuk memasukan pengujian keabsahan penetapan tersangka ke dalam objek praperadilan, namun tidak serta merta membuat penulis sependapat dengan pendapat ini, hanya karena output dari pendapat ini adalah hal yang penulis yakini benar dan diperlukan.

Kemudian, untuk hal yang kedua, mengenai penafsiran “aparat penegak hukum” yang diatur dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002, penulis tidak sependapat dengan penafsiran Hakim Sarpin. Sebelumnya, perlu penulis sampaikan bahwa Hakim Sarpin dalam pertimbangan putusannya menyampaikan bahwa :
Menimbang, bahwa undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang pengertian dari “aparat penegak hukum” dan juga tidak menjelaskan tentang siapa saja yang termasuk aparat penegak hukum; 


Menimbang, bahwa secara harfiah aparat penegak hukum dapat diartikan sebagai aparat negara yang diberi wewenang oleh undang-undang melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum; 


Menimbang, bahwa dari pengertian tersebut di atas dapat diketahui dengan jelas tentang siapa saja yang termasuk atau disebut sebagai aparat penegak hukum, yaitu:

  1. Penyelidik, Penyidik; 

  2. Jaksa, Penuntut Umum; 

  3. Hakim;

Mengapa penulis tidak setuju dengan penafsiran Hakim Sarpin yang menafsirkan “aparat penegak hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 sebagai “Penyelidik”, “Penyidik”, “Jaksa”, “Penuntut Umum”, dan “Hakim”? penulis akan menjelaskan mengenai hal ini dengan menggunakan sudut pandang ilmu perundang-undangan.

Sebelumnya, penulis akan menjelaskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pasal 11 huruf a UU 30/2002 tersebut. Pasal 11 huruf a UU 30/2002 telah menyebutkan bahwa:

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

  1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

Lalu, penjelasan Pasal 11 huruf a UU 30/2002 berbunyi:

Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kemudian, Pasal 2 UU 28/1999 berbunyi:

Penyelenggara Negara meliputi:

  1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
  2. PejabatNegarapadaLembagaTinggiNegara;
  3. Menteri;
  4. Gubernur;
  5. Hakim;
  6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Lalu, penjelasan dari Pasal 2 angka 7 UU 28/1999 berbunyi:

Yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:

  1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
  2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
  3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
  4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  5. Jaksa;
  6. Penyidik;
  7. Panitera Pengadilan; dan
  8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.

Apabila kita melihat dari pasal-pasal di atas beserta penjelasannya, maka akan sangat terlihat dengan jelas bahwa “Penyidik”, “Jaksa”, dan “Hakim”, yang ditafsirkan menjadi “Aparat Penegak Hukum” oleh Hakim Sarpin, ternyata sudah terkandung dalam definisi “Penyelenggara Negara” menurut UU 30/2002 dan UU 28/1999. Hal inilah yang menjadi alasan ketidaksependapatan penulis dengan penafsiran Hakim Sarpin mengenai “Aparat Penegak Hukum”. Mengapa?

Sebelum jauh lebih dalam membahas mengenai hal ini, kita harus bersepakat bahwa imbas dari putusan Hakim Sarpin, maka “Penyidik”, “Jaksa”, dan “Hakim” memiliki 2 (dua) kualifikasi dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002, yaitu sebagai “Penyelenggara Negara” sekaligus sebagai “Aparat Penegak Hukum”, mengenai objek-objek atau pihak-pihak yang dapat dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK. Dan Hakim Sarpin dalam mengklasifikasikan “Penyidik”, “Jaksa”, dan “Hakim” sebagai “Aparat Penegak Hukum” dengan menggunakan metode penafsiran. Untuk itu, sebelum membahas mengenai inti pemasalahannya, mari kita lihat mengenai metode penafsiran hukum.

Dalam buku C.S.T Kansil yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum” (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) halaman 36-41, disebutkan bahwa jenis-jenis penafsiran hukum adalah:

  1. Penafsiran Tata Bahasa (Gramatikal).

Pada penafsiran gramatikal ketentuan yang terdapat di peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan.

  1. Penafsiran Sahih (Autentik/Resmi).

Penafsiran autentik adalah penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.

  1. Penafsiran Historis.

Penafsiran historis dilakukan berdasarkan:

1. Sejarah hukumnya, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.

2. Sejarah undang-undangnya, yaitu dengan menyelidiki maksud pembentuk undang-undang pada saat membentuk undang-undang tersebut.

4.   Penafsiran Sistematis.

Penafsiran sistematis dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-undang yang lain.

  1. Penafsiran Nasional.

Penafsiran nasional merupakan penafsiran yang didasarkan pada kesesuaian dengan sistem hukum yang berlaku.

  1. Penafsiran Teleologis (Sosiologis).

Penafsiran sosiologis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan dari undang-undang tersebut. Penafsiran sosiologis dilakukan karena terdapat perubahan di masyarakat, sedangkan bunyi undang-undang tidak berubah.

  1. Penafsiran Ekstensif.

Penafsiran ekstentif dilakukan dengan memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.

  1. Penafsiran Restriktif.

Penafsiran restriktif dilakukan dengan mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.

  1. Penafsiran Analogis.

Penafsiran analogis dilakukan dengan memberikan suatu kiasan atau ibarat pada kata-kata sesuai dengan asas hukumnya.

  1. Penafsiran A Contrario (Menurut Peringkaran).

Penafsiran a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada perlawanan antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undang-undang.

Kalau kita melihat kepada alasan Hakim Sarpin, maka menurut penulis, metode penafsiran yang dipakai oleh Hakim Sarpin adalah penafsiran gramatikal, karena Hakim Sarpin menekankan kata “harafiah” yang dapat diartikan sebagai “arti kata” dan juga menurut kebiasaan dalam memandang definisi “Aparat Penegak Hukum”. Seperti yang diungkapkan hakim Sarpin sendiri dalam putusan tersebut mengenai penafsiran, yaitu:

Menimbang, bahwa kewenangan Hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak jelas menjadi jelas dilakukan dengan menggunakan dan menerapkan metode penafsiran (interprestasi);

maka dengan sangat jelas kita bisa melihat bahwa menurut Hakim Sarpin, kewenangan penggunaan dan penerapan metode penafsiran adalah untuk menetapkan hukum yang semula tidak jelas menjadi jelas, yang mana hal ini adalah hal yang penulis yakini benar. Frase “menetapkan hukum yang semula tidak jelas menjadi jelas” inilah yang kemudian menjadi sangat penting bagi penulis dan akan penulis gunakan sebagai dasar untuk berpendapat bahwa penulis tidak sependapat dengan penafsiran Hakim Sarpin.

Dalam konteks sistem hukum yang dianut Indonesia, yaitu civil law, hukum dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan atau dalam aturan tertulis, atau yang bisa disebut dengan asas lex scripta, guna tercapainya kepastian hukum bagi masyarakat. Artinya, menurut penulis, dalam pembuatan hukum, maka harus pula tunduk pada asas-asas yang berlaku dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Dalam UU 12/2011 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 5, disebutkan bahwa salah satu asas dari pembentukan peraturan perundang-undangan adalah asas kejelasan rumusan, yang pada bagian penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Apabila kita melihat tujuan penafsiran hukum dari Hakim Sarpin, yang juga penulis yakini benar, yaitu membuat hukum yang semula tidak jelas menjadi jelas, maka tujuan penafsiran hukum ini dapat dikatakan telah sejalan dengan asas kejelasan rumusan yang mensyaratkan bahwa peraturan perundang-undangan harus jelas, mudah dimengerti, dan tidak menilbulkan berbagai interpretasi.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah penafsiran hukum Hakim Sarpin yang mengklasifikasikan “Penyidik”, “Jaksa”, dan “Hakim” dalam kategori “Aparat Penegak Hukum” telah menghasilkan sesuatu yang jelas, mudah dimengerti dan tidak menimbulkan berbagai interpretasi? Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Karena seperti yang telah penulis jelaskan, dengan penafsiran seperti itu, maka sekarang yang terjadi adalah ketidakjelasan kualifikasi “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim”, yang menjadi memiliki 2 (dua) klasifikasi, yaitu sebagai “Penyelenggara Negara” dan juga “Aparat Penegak Hukum”. Walaupun tidak berakibat apapun terhadap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK yang mungkin terjadi kepada “penyidik”, “jaksa” dan “hakim”, namun yang terjadi adalah ketidakjelasan hukum terhadap kualifikasi dari jabatan-jabatan tersebut dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan dari penafsiran hukum yang ditegaskan oleh Hakim Sarpin sendiri dan juga asas kejelasan rumusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, apakah bisa ada 2 (dua) terminologi yang menggambarkan satu hal yang sama? Menurut penulis, jawabannya adalah tidak bisa. Karena, nantinya akan terjadi kebingungan dan ketidakjelasan apabila hal tersebut muncul, akan masuk ke dalam terminologi yang mana. Hal itu pula yang terjadi dalam kasus ini. Tidak bisa ada 2 (dua) terminologi, yaitu “Penyelengara Negara” dan “Aparat Penegak Hukum”, untuk menggambarkan hal yang sama, yaitu “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim”. Sekali lagi, walaupun mungkin tidak berimbas kepada proses, namun hal ini adalah mengenai ketertiban dan keselarasan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut, kembali penulis tegaskan, menurut penulis, pengklasifikasian “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim” sebagai “Aparat Penegak Hukum” adalah tidak tepat dan membuat ketidakjelasan serta bertentangan dengan asas kejelasan rumusan dan tujuan penafsiran hukum itu sendiri.

Kemudian, apabila kita memakai metode penafsiran kedua, yaitu secara sahih atau autentik resmi, yaitu melihat dari sisi maksud pembuat peraturan perundang-undangan, dengan berkaca kepada hal di atas, maka penulis berpendapat, dalam keadaan normal dan tidak ada kesalahan legislasi, maka tidak mungkin pula maksud pembentuk UU 30/2002, yang dimaksud dengan “Aparat Penegak Hukum” adalah “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim”. Mengapa? Karena mereka sendiri yang menggariskan bahwa definisi “Penyelenggara Negara” merujuk kepada UU 28/1999, dimana “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim” sudah masuk dalam terminologi “Penyelenggara Negara”. Pertanyaannya, apa gunanya pembentuk UU 30/2002 mengatur mengenai “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim” menjadi objek penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK ke dalam 2 (dua) terminologi yang berbeda, yaitu “Penyelenggara Negara” dan “Aparat Penegak Hukum”, terlebih pengaturan tersebut diatur dalam Pasal dan huruf yang sama? Jawabannya, tidak ada gunanya. Sehingga, berdasarkan hal-hal ini, penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Aparat Penegak Hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 bukanlah “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim”, karena jabatan-jabatan tersebut sudah masuk dalam kualifikasi “Penyelenggara Negara”.

Lalu, apa sebenarnya definisi dari “Aparat Penegak Hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002? Siapa saja yang masuk dalam kualifikasi “Aparat Penegak Hukum” dalam pasal tersebut? Menurut penulis, untuk mencari siapa saja yang termasuk dalam kualifikasi “Aparat Penegak Hukum” dalam pasal tersebut, kita dapat menguji dengan menggunakan 2 (dua) kemungkinan definisi “Aparat penegak Hukum” itu sendiri dalam pandangan penulis, yaitu aparat yang menjalankan fungsi penegakan hukum atau aparat dari lembaga yang berfungsi dalam penegakan hukum.

Kalau kita menggunakan definisi bahwa “Aparat Penegak Hukum” adalah aparat yang menjalankan fungsi penegakan hukum, maka kita akan sampai pada seperti yang diungkapkan oleh Hakim Sarpin, yaitu “Aparat Penegak Hukum” adalah “Penyelidik”, “Penyidik”, “Jaksa”, “Penuntut Umum”, dan “Hakim”. Dan yang terjadi adalah kita akan kembali ke permasalahan yang sudah kita bahas tadi, yaitu “Penyidik”, “Jaksa”, dan “Hakim” sudah masuk dalam klasifikasi “Penyelenggara Negara”, sehingga tidak mungkin diatur kembali dalam definisi “Aparat Penegak Hukum”, karena akan menimbulkan ketidakjelasan, seperti yang sudah dijelaskan. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berkeyakinan bahwa definisi “Aparat Penegak Hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 bukanlah aparat yang menjalankan fungsi penegakan hukum.

            Selain itu, apabila kita mengacu kepada definisi “Penyelenggara Negara” dalam Pasal 1 angka 1 UU 28/1999, yang berbunyi:

Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 maka, akan dapat kita tarik kesimpulan bahwa penekanan “Penyelenggara Negara” adalah pada fungsi dan tugas dari suatu jabatan. Sehingga, untuk “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim”, yang fungsi dan tugas nya adalah penegakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mereka, ketika “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim” melaksanakan fungsi dan tugas mereka sebagai penegak hukum, maka kita dapat secara langsung mengatakan bahwa mereka adalah penyelenggara Negara yang memiliki fungsi penegakan hukum. Pertanyaannya, apakah masih berguna dan penting kita mendefinisikan mereka sebagai “Aparat Penegak Hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002? Untuk apa membuat aturan yang tidak bisa dijalankan atau tidak berguna? Hal ini mempekuat keyakinan penulis bahwa definisi “Aparat Penegak Hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 bukanlah aparat yang menjalankan fungsi penegakan hukum.

Dengan tidak dapat digunakannya definisi “Aparat Penegak Hukum” adalah aparat yang menjalankan fungsi penegakan hukum, maka menurut penulis, definisi yang dapat dipakai untuk “Aparat Penegak Hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 adalah aparat dari lembaga yang berfungsi dalam penegakan hukum. Lembaga apa saja yang berfungsi sebagai penegak hukum? Jawabannya adalah lembaga yang di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur lembaga tersebut menyebutkan bahwa lembaga tersebut adalah lembaga yang berfungsi dalam penegakan hukum. Salah satu dari lembaga tersebut adalah kepolisian, yang berdasarkan Pasal 2 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah disebutkan secara jelas bahwa:

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sehingga, berdasarkan hal ini, maka penulis berpendapat bahwa seluruh anggota kepolisian, yang adalah anggota dari lembaga yang berfungsi dalam penegakan hukum, dapat diklasifikasikan sebagai “Aparat Penegak Hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002, dan seharusnya Komjen Pol. Budi Gunawan, yang adalah anggota kepolisian, juga termasuk ke dalam kualifikasi “Aparat Penagak Hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002, sehingga seharusnya KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Budi Gunawan.

Terlepas dari pendapat penulis di atas, penulis tetap menghormati putusan Hakim Sarpin dalam perkara ini. Hanya saja, penulis berpendapat bahwa menghormati bukan berarti tidak boleh mengkritisi. Penulis juga tidak dalam posisi menghakimi putusan Hakim Sarpin, karena penulis tidak memiliki kewenangan untuk itu. Mahkamah Agung lah yang memiliki kewenangan tersebut. Penulis hanya memberikan sudut pandang yang berbeda dari Hakim Sarpin dalam kasus ini. Mempercayai pendapat Hakim Sarpin atau penulis adalah mutlak pilihan dari para pembaca sekalian.

Dalam dunia hukum, berbeda pendapat adalah hal yang wajar dan sah terjadi selama pendapat tersebut memiliki dasar berpikir yang tepat dan logis. Hakim Sarpin dan penulis memiliki pendapat berbeda dengan dasar berpikir dan logika yang berbeda. Dalam posisi penulis, dasar berpikir dan logika Hakim Sarpin kurang tepat dalam menafsirkan hal-hal tersebut di atas, karena tidak memperhatikan sisi historis dan filosofis dari praperadilan di Indonesia, hanya mengambil langsung dari konsep Habeas Corpus yang menurut penulis tidak akan cocok secara keseluruhan mengingat sistem hukum yang berbeda, dimana Indonesia menganut sistem civil law dan Habeas Corpus berasal dari sistem hukum common law. Selain itu, Hakim Sarpin juga tidak memperhatikan sisi keselarasan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga penafsiran yang diberikan Hakim Sarpin, lagi-lagi menurut penulis, malah menimbulkan ketidakjelasan mengenai kualifikasi “penyidik”, “jaksa”, dan “hakim” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002, apakah sebagai “Penyelenggara Negara” atau sebagai “Aparat Penegak Hukum”. Penafsiran yang dilakukan Hakim Sarpin malah menyebabkan tabrakan aturan hukum yang membuat penafsiran tersebut bertentangan dengan asas kejelasan rumusan dan tidak sesuai dengan tujuan penafsiran hukum itu sendiri, yaitu membuat hukum yang tadinya tidak jelas menjadi jelas.

Begitu juga dalam posisi Hakim Sarpin seandainya membaca tulisan penulis ini. Hampir dapat dipastikan bahwa Hakim Sarpin akan menganggap dasar berpikir dan logika penulis adalah salah. Namun, yang perlu penulis tegaskan, penulis memiliki dasar berpikir dan logika yang menurut penulis adalah benar. Kalau Hakim Sarpin memiliki dasar berpikir dan logika yang berbeda, ya silahkan saja. Tidak ada yang melarang.

Filosofi hakim sebagai wakil Tuhan di dunia adalah karena pada dasarnya, tidak satupun manusia yang memiliki hak untuk “memvonis” bahwa manusia lain adalah salah atau benar. Yang memiliki hak tersebut pada dasarnya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Di dunia, yang dapat “memvonis” bahwa seseorang itu salah atau benar, secara obyektif, dan diterima masyarakat, seperti ketika Tuhan memvonis hambaNya, adalah hakim. Namun, harus diingat, walaupun “menjabat” sebagai wakil Tuhan di dunia, hakim tetaplah manusia yang masih bisa melakukan kesalahan. Sebagai manusia, Hakim Sarpin juga bisa melakukan kesalahan, begitu juga dengan penulis yang adalah manusia, bisa melakukan kesalahan. Salah dan benar adalah relatif, tergantung pada siapa dan dari sudut pandang apa ia memandang. Semuanya saya serahkan kepada para pembaca dan Tuhan Yang Maha Esa.

Advertisement

2 thoughts on “RELATIVITAS SALAH BENAR ATAS DASAR BERPIKIR DAN LOGIKA, PENAFSIRAN SANG WAKIL TUHAN (BACA : MANUSIA) DAN MANUSIA

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.