EKSEKUSI PIDANA MATI PENDERITA SKIZOFRENIA (TINJAUAN PERATURAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL)  

Indonesia sedang menjadi salah satu pusat perhatian dunia. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah Indonesia yang mengeksekusi mati 6 (enam) terpidana narkotika dan akan kembali megeksekusi 3 (tiga) terpidana mati dalam kasus narkotika pula, dalam waktu dekat ini. Yang menarik adalah, dari para terpidana mati yang telah dan akan dieksekusi tersebut, mayoritas adalah Warga Negara Asing (WNA). Hal ini sontak menimbulkan reaksi, baik dari Negara asal WNA terpidana mati tersebut, maupun dari dunia Internasional. Ada yang mengecam dengan pernyataan-pernyataan tertentu, ada yang mengirimkan surat terbuka, mengadakan kampanye anti-hukuman mati, ada yang menggunakan cara “baik-baik” dengan berdiplomasi dengan pemerintah Indonesia, ada yang tidak menerima kunjungan duta besar Indonesia, bahkan sampai ada yang mengungkit bantuan saat Tsunami Aceh 2004 silam. Sangat beragam sekali reaksi atas kebijakan pemerintah Indonesia yang memberlakukan hukuman mati ini.

Dari fenomena eksekusi hukuman mati ini, ada satu hal yang menarik perhatian penulis, yaitu salah satu terpidana mati dalam kasus narkoba asal Brazil bernama Rodrigo Gularte, ternyata divonis mengidap Schizophrenia atau Skizofrenia. Banyak yang mengecam kebijakan pemerintah Indonesia yang tetap mengeksekusi Rodrigo Gularte mengingat skizofrenia sendiri adalah salah satu bentuk ganguan mental, sehingga pemerintah Indonesia dinilai sangat kejam dengan tetap mengeksekusi Rodrigo. Selain itu, banyak pihak yang menyayangkan putusan Pengadilan yang tidak memperhatikan gangguan mental Rodrigo tersebut, yang menurut pihak-pihak tersebut, skizofrenia adalah masuk ke dalam salah satu alasan yang dapat menghilangkan kesalahan Rodrigo, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP, sehingga seharusnya Rodrigo dibebaskan, bukan malah dijatuhi pidana hukuman mati.

Berdasarkan paparan-paparan di atas, penulis melihat ada 2 (dua) permasalahan yang harus dibahas dalam tulisan ini, yaitu:

  1. Terkait dengan Pasal 44 Ayat (1) KUHP, apakah pengidap skizofrenia dapat dijatuhi hukuman pidana?
  2. Apabila dapat dihatuhi hukuman pidana, apakah pengidap skizofrenia dapat dijatuhi hukuman mati?

Untuk permasalahan pertama, sebelum kita menilai apakah penderita skizofrenia dapat dijatuhi pidana atau tidak, maka terlebih dahulu penulis akan menjabarkan mengenai apa yang dimaksud dengan skizofrenia itu sendiri. Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Sarlito Wirawan Sarwono, dalam bukunya “Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi” (Jakarta: Alvabet, 2002), halaman 70-71, skizofrenia adalah penyakit jiwa yang memiliki tanda-tanda berupa delusional, halusinasi, ucapan yang tak teratur, ataupun perbuatan yang acak. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, yaitu klasifikasi gangguan jiwa yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, untuk dapat dikatakan bahwa seseorang megidap skizofrenia, harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

  1. Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda,atau

Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (Withdrawal) dan

Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umumnya mengetahuinya.

  1. Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau

Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatantertentu dariluar atau

Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara jelas ,merujuk ke pergerakan tubuh/anggot agerak atau kepikiran, tindakan atau penginderaan khusus).

Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya , biasanya bersifat mistik dan mukjizat.

  1. Halusional Auditorik ;-
  2. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku pasien .
  3. Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara atau
  4. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
  5. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahi, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain).

Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

  1. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
  2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
  3. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
  4. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika.

Selanjutnya, penulis akan menjelaskan mengenai Pasal 44 Ayat (1) KUHP, yang membahas mengenai keadaan ontoerekeningsvatbaarheid (tidak dapat bertanggung jawab secara pidana). Namun, sebelum membahas mengenai Pasal 44 Ayat (1) KUHP tersebut, untuk memberikan gambaran yang meluas, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai apa itu tindak pidana (strafbaar feit) dan kesalahan.

Menurut van Hamel, seperti yang dikutip oleh Frans Maramis dalam bukunya “Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia” (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013) halaman 86, tindak pidana adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet (undang-undang), yang berisfat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig), dan dilakukan dengan kesalahan. Menurut Utrecht, dalam bukunya “Hukum Pidana I” (Surabaya : Pustaka Tirta Mas, 2000), halaman 46 seseorang mendapat hukuman bergantung pada 2 (dua) hal, yaitu harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (anasir objektif) dan seorang pembuat (dader) kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu yang bertanggung jawab atasnya (anasir subjektif). Yang perlu dalam suatu peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia yang bertentangan dengan hukum (anasir melawan hukum/element van wedderechtelijkheid) dan oleh sebab itu dapat dijatuhkan hukuman (strafbaarheid van het feit).

Menurut Moeljatno, dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009) halaman 61-63, Strafbaar Feit terdiri dari perbuatan pidana, yaitu perbuatan dengan sifat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar, dan kesalahan, yaitu keadaan batin atau hubungan batin dengan perbuatan tersebut. Kesalahan merupakan pertanggung jawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. Menurut Roeslan Saleh, seperti yang dikutip oleh Kanter dan Sianturi dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya” (Jakarta : Storia Grafika, 2012) halaman 166, secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian dasar dari tindak pidana adalah:

  1. Perbuatan pidana, yang unsurnya :
  • Formil : Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
  • Materiil : Bersifat melawan hukum
  1. Pertanggung jawaban pidana, yang unsurnya adalah kesalahan. Sedangkan unsur kesalahan adalah :
  • Mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar)
  • Sengaja atau alpa
  • Tidak ada alasan pemaaf

Dari definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu tindak pidana, maka harus memiliki 2 (dua) unsur, yaitu adanya unsur kesalahan dan unsur perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Seperti pendapat Roeslan Saleh di atas, kesalahan memiliki unsur “mampu bertanggung jawab”, “sengaja atau alpa”, dan “tidak ada alasan pemaaf”. Hal ini senada dengan pendapat para sarjana hukum, yang dikutip oleh Frans maramis, dalam bukunya di atas, bahwa kesalahan memiliki unsur “kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pelaku”, “sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya kesengajaan atau kealpaan”, dan “tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan pertanggung jawaban pidana pada diri pelaku”. Begitu pula dengan pendapat Utrecht dalam bukunya di atas bahwa kesalahan menurut hukum pidana itu terdiri atas 3 (tiga) anasir, yaitu “toerekeningsvatbaarheid dari pembuat”, “suatu sikap psychis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yakni kelakuan disengajai (anasir sengaja) atau kelakuan suatu sikap kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan)”, dan tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat.

Berdasarkan hal di atas, maka kita akan melihat bahwa kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) adalah salah satu unsur kesalahan, yang adalah unsur dari adanya tindak pidana. Namun, pada dasarnya, KUHP kita tidak menjelaskan mengenai toerekeningsvatbaarheid tersebut. Menurut Moeljatno, satu-satunya yang membahas mengenai hal tersebut adalah Pasal 44 KUHP, yang seperti sudah penulis katakana sebelumnya, membahas mengenai ontoerekeningsvatbaarheid (tidak mampu bertanggung jawab). Sehingga, menjadi hal yang sangat penting untuk membahas Pasal 44 KUHP apabila kita ingin membahas mengenai suatu tindak pidana, karena apabila seseorang memiliki keadaan-keadaan yang disyaratkan oleh Pasal 44 KUHP, yaitu keadaan yang ontoerekeningsvatbaarheid, maka seseorang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana. Apa saja keadaan-keadaan ontoerekeningsvatbaarheid dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP tersebut?

Sebelumnya, perlu penulis jelaskan bahwa hingga saat ini, Indonesia tidak memiliki terjemahan resmi KUHP yang bersifat nasional. KUHP-KUHP yang ada saat ini adalah terjemahan dari para sarjana, yang berasal dari sumber yang sama, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie yang diundangkan dengan Staatblad Nomor 732 Tahun 1915, dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918, oleh pemerintah Hindia-Belanda, yang kemudian diberlakukan di wilayah Indonesia berdasarkan Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 Tentang Badan-Badan Dan Peraturan Pemerintah Dulu, dimana berlaku untuk Jawa dan Madura berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, dan berlaku untuk seluruh Indonesia berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Sehingga, berdasarkan hal ini, penulis akan menjelaskan Pasal 44 Ayat (1) KUHP dengan beberapa KUHP versi terjemahan para sarjana itu sendiri.

Dalam buku Lamintang yang berjudul “Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia” (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003) halaman 392, disebutkan bahwa Pasal 44 Ayat (1) KUHP berbunyi:

Niet strafbaar is hij die een feit begaat dat hem wegens de gebrekkige ontwikkleing of ziekelijke storing zijner verstandelijke vermorgens niet kan worden toerekend

yang artinya : “Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, oleh karena pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya”

Dalam KUHP terjemahan Moeljatno, bunyi Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut :

Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.

Pada KUHP lain, yaitu terjemahan dari R. Soesilo, maka bunyi Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah “Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum”. Pada KUHP terjemahan Andi Hamzah, bunyi Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya yang cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Dari terjemahan-terjemahan Pasal 44 Ayat (1) KUHP di atas, kita akan menjumpai bahwa keadaan yang ontoerekeningsvatbaarheid adalah “pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna” atau “perkembangan tidak sempurna” atau “gebrekkige ontwikkeling” dan “terganggu karena penyakit (ziekelijke storing)” atau “terganggung karena penyakit pada kemampuan akal sehatnya (ziekelijke storing zijner verstandelijke vermorgens)”. Lalu, keadaan- keadaan seperti apa yang masuk ke dalam “gebrekkige ontwikkeling” dan “ziekelijke storing zijner verstandelijke vermorgens”?

Menurut R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” (Bogor : Politeia, 1996), orang-orang yang masuk ke dalam keadaan kurang sempurna akalnya (gebrekkige ontwikkeling), misalnya idioot, imbicil, buta, tuli, dan bisu dari lahir. Orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat-cacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanak- kanak. Menurut van Hattum, pertumbuhan yang tidak sempurna haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang tidak sempurna secara biologis dan bukan secara kemasyarakatan, seperti “imbecilliet” atau “lemah pikiran” dan “idioot”.

Dengan demikian, tidak termasuk ke dalam pengertian pertumbuhan yang tidak sempurna (gebrekkige ontwikkeling) adalah misalnya keterbelakangan atau pertumbuhan yang tidak sempurna keran kurangnya perhatian dari orang tua terhadap seorang anak atau kurangnya pendidikan yang telah diperoleh seseorang. Dapat pula dimasukkan ke dalam pengertian “pertumbuhan yang tidak sempurna” atau “gebrekkige ontwikkeling” seperti pertumbuhan yang tidak sempurna dari orang-orang buta dan bisu-tuli sejak lahir.

Sedangkan, orang-orang yang masuk ke dalam keadaan terganggu karena penyakit pada kemampuan akal sehatnya (ziekelijke storing zijner verstandelijke vermorgens), menurut R. Soesilo adalah orang yang mengalami sakit gila, manie, hysterie, epilepsie, melancholie, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya. Menurut Pompe, seperti yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya di atas, orang-orang yang masuk dalam keadaan tersebut adalah orang yang mengalami gangguan karena penyakit-penyakit jiwa atau “psychosen” atau jenis “psikosa”.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah skizofrenia termasuk dalam kategori keadaan-keadaan ontoerekeningsvatbaarheid? Menurut Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, dalam sebuah wawancara dengan penulis, yang termasuk dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah gangguan-gangguan yang bersifat psikosis atau gangguan jiwa dan bukan yang bersifat gangguan neurosis atau gangguan syafar atau personality disorder (gangguan kepribadian) dan menurut Adrianus, skizofrenia adalah termasuk ke dalam bentuk psikosa atau gangguan jiwa. Selain itu, apabila kita mengacu kepada PPDGJ III, yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, lalu mengacu pula kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth edition (DSM IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association tahun 1994, yang mana DSM IV ini adalah yang digunakan sebagai acuan menyusun PPDGJ III, yang kemudian disempurnakan menjadi DSM V pada tahun 2013, maka terdapat frase “Schizophrenia Spectrum and Other Psychotic Disorders”, yang mana menurut penulis hal tersebut menunjukkan bahwa skizofrenia adalah bagian dari psychotic disorders atau gangguan psikosa, sehingga berdasakan hal-hal ini, maka skizofrenia pada dasarnya masuk ke dalam keadaan yang ontoerekeningsvatbaarheid, yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP.

Lalu, apakah pengidap skizofrenia, yang masuk dalam keadaan ontoerekeningsvatbaarheid tidak dapat dijatuhi pidana mengingat sifat keadaan orang yang memiliki ontoerekeningsvatbaarheid tidak dapat bertanggung jawab secara pidana? Jawabannya adalah belum tentu. Penderita skizofrenia masih dapat dijatuhi pidana, walaupun masuk ke dalam kategori ontoerekeningsvatbaarheid. Mengapa?

Menurut Adami Chazawi dalam bukunya “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 : Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan, dan Ajaran Kausalitas” (Jakarta : Rajawali Persada, 2011), dengan mengacu kepada pendapat Pompe, berpendapat bahwa keadaan jiwa disebut dengan jiwa cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige ontwikkeling) dan terganggu jiwanya karena penyakit (ziekelijke storing) bukan pengertian dari sudut kedokteran, tetapi pengertian hukum. Adami Chazawi berpendapat bahwa yang pokok disini bukan semata-mata pada keadaan jiwa si pembuat, tetapi tentang bagaimana hubungan jiwa si pembuat itu dengan perbuatan yang dilakukan. Apakah ada hubungan yang sedemikian rupa eratnya sehingga si pembuat tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Menetapkan ada atau tidaknya hubungan keadaan jiwa dengan perbuatannya itu merupakan wewenang hakim, dan bukan ahli jiwa. Keterangan ahli oleh dokter jiwa (psychiater) di sidang pengadilan tentang keadaan jiwa si pembuat tidaklah wajib diikuti oleh majelis hakim. Akan tetapi, oleh adanya alasan bahwa hakim pada umumnya bukanlah ahli di bidang kejiwaan, maka sewajarnya pendapat ahli jiwa itu dipertimbangkan untuk memperkuat pendapatnya atau menjadi dasar pendapatnya.

Hal ini senada dengan pendapat Simons, seperti yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya yang telah penulis sebutkan sebelumnya, yang menyatakan bahwa dalam usaha untuk mengambil keputusan tentang ada atau tidaknya “toerekeningsvatbaarheid” dari seseorang pelaku itu, hakim harus memperhatikan kenyataan, yaitu sampai berapa jauh gangguan penyakit itu mempunyai pengaruh terhadap keadaan psikis dari si pelaku, dan harus mempertimbangkan apakah pengaruh tersebut sedemikian rupa hingga pelakunya itu menjadi tidak mampu untuk menyadari tentang arti dari perbuatannya itu atau tidak, dan sesuai dengan kesadarannya itu juga mampu untuk menentukan apa yang ingin ia lakukan ataupun tidak.

Kemudian Niebor, seorang yuris-psikiater, dalam disertasinya Aegroto suum, yang dipertahankan di Groningen, seperti yang dikutip Remmelink dalam bukunya yang sudah penulis sebutkan sebelumnya, mengajukan argumen pengintegrasian kedua bidang ilmu pengetahuan, psikiatri dan hukum pidana, sehingga karakteristik dan tujuan masing-maisng bidang ilmu tetap saling dihormati. Dalam disertasinya ini, Niebor mengacu kepada Durham Rule, yang menyatakan bahwa “It is simply that an accused is not criminaly responsible if his unlawful act was the product of mental disease or mental defect”. Niebor menyatakan bahwa peran kausalitas penyimpangan psikis harus turut dipertimbangkan dalam suatu delik. Semakin besar peran penyimpangan psikis tersebut, semakin kecil kadar kesalahannya. Niebor membayangkan bahwa psikiater sebagai psikopatolog harus mengukur daya kausal penyakit terhadap tindakan. Pertimbangan atau keputusannya sebagai psikopatolog tersebut harus diambil alih (atau ditolak) hakim, dan jika diterima harus diujikan berdasarkan kepatutan atau kepantasannya. Niebor menunjukkan bagaimana melalui penerjemahkan ulang data kausalitas psikopatologis ke dalam konteks atau model pertanggung jawaban hukum ini dapat terjadi kemungkinan bahwa psikiopatolog memutuskan adanya kemampuan penuh untuk mempertanggungjawabkan perbuatan, namun hakim, atas dasar pertimbangan kepatutan dan kepantasan, justru memutuskan tanggung jawab hukum dalam kadar yang lebih kecil.

Dari penjelasan penjelasan-penjelasan di atas, maka kita akan dapat melihat bahwa hasil pemeriksaan dari psikiater mengenai psikopatologi pelaku tindak pidana tidak bersifat mengikat hakim dalam menentukan ada atau tidaknya pertanggung jawaban pidana dari pelaku tindak pidana. Artinya, hakim lah yang memiliki kewenangan secara penuh untuk menyatakan apakah seorang pelaku tindak pidana memiliki kemampuan bertanggung jawab atau tidak, dengan memperhatikan apakah penyakit tersebut sedemikian besarnya hingga perbuatan terdakwa tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana atau dengan kata lain, haruslah dilihat kausalitas dari keadaan ontoerekeningsvatbaarheid tersebut dengan perbuatan yang dilakukan.

Hal ini pula yang berlaku kepada penderita skizofrenia. Apabila ternyata telah terbukti seseorang mengidap skizofrenia dan skizofrenia tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan perbuatan yang dilakukan, maka selayaknya hakim tidak dapat menjatuhi pidana terhadap orang tersebut dan memerintahkan orang tersebut untuk direhabilitasi, sesuai dengan Pasal 44 Ayat (2) KUHP. Namun, apabila skizofrenia tersebut tidak memiliki hubungan kausalitas dengan perbuatan yang dilakukannya, atau memiliki hubungan kausal yang sangat kecil, maka hakim dapat saja menjatuhkan pidana kepada orang tersebut. Hal ini pula yang berlaku pada Rodrigo Gularte. Perlu penulis sampaikan bahwa sampai saat ini penulis belum mendapatkan putusan Pengadilan terkait kasus Rodrigo Gularte, sehingga penulis merasa tidak layak untuk mengomentari putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana kepada Rodrigo, padahal ia mengidap skizofrenia. Namun, secara konseptual, Rodrigo dapat saja dijatuhi pidana selama skizofrenia yang ia idap tidak memiliki hubungan kausalitas atau memiliki hubungan kausalitas yang kecil dengan perbuatan yang mendasari pidana yang dijatuhkan kepada dirinya tersebut.

Mari kita berasumsi bahwa skizofrenia yang diidap Rodrigo tidak memiliki kausalitas atau memiliki kausalitas yang kecil dengan perbuatannya sehingga layak dipidana. Pertanyaan selanjutnya, apakah Rodrigo dapat dijatuhi hukuman mati mengingat ia megidap skizofrenia? Penulis akan membahas hal ini dengan melihat dari sisi peraturan perundang-undangan nasional dan instrumen hukum internasional.

Bagaimana aturan-aturan Internasional mengatur mengenai hal ini? Sejauh ini, penulis mendapatkan ada 2 (dua) aturan Internasional mengenai hukuman mati kepada pengidap gangguan jiwa. Yang pertama adalah Safeguards Guaranteeing Protection Of The Rights Of Those Facing The Death Penalty, yang merupakan resolusi dari Dewan Ekonomi dan Sosial 1984/50 pada tanggal 25 Mei 1984, yang adalah resolusi yang di endorse oleh Seventh United Nation Congress On The Prevention And Crime And The Treatment of Offenders, yang dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus – 6 September 1985 di Milan, Italia, yang kemudian diimplementasikan dengan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 1989/64 pada tanggal 24 Mei 1989. Pada angka 3 resolusi 1984/50 disebutkan bahwa: “Persons below 18 years of age at the time of the commission of the crime shall not be sentenced to death, nor shall the death sentence be carried out on pregnant women, or on new mothers, or on persons who have become insane”. Lalu, yang kedua adalah The Question of Death Penalty (Human Rights Resolution 2005/59), yang merupakan resolusi dari Office of The High Commissioner of Human Rights, yaitu salah satu kepanjangan tangan PBB (UN) yang khusus mengurusi masalah human rights. Pada angka 7 huruf c resolusi ini disebutkan bahwa “Urges all States that still maintain the death penalty … c. Not to impose the death penalty on a person suffering from any mental or intellectual disabilities or to execute any such person”.

Apakah Indonesia tunduk pada ketentuan-ketentuan ini? Seperti yang pernah penulis jelaskan sebelumnya dalam tulisan penulis yang berjudul “Pembebasan Bersyarat Yang “Ter”istimewa (Sebuah Ketidaksengajaan)”, bahwa berdasarkan Pasal 10 Piagam PBB (UN Charter), hasil resolusi yang dikeluarkan oleh PBB hanyalah bersifat rekomendasi dan tidak memiliki sifat mengikat bagi para anggotanya. Hal ini senada dengan pendapat Professor Judge Schewebel, mantan Presiden International Court of Justice (ICJ), yang menyatakan “… the General Assembly of the United Nations can only, in principle, issue ‘recommendation’ which are not of a binding character, according to Article 10 of the Charter of the United Nations”. Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Sir Hersch Lauterpacht, mantan hakim di International Court of Justice, yang menyatakan “… the General Assembly has no legal power to legislate or bind its members by way of recommendation”. Berdasarkan hal-hal ini, maka jelas bahwa hasil resoulusi yang dikeluarkan oleh PBB tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para anggota PBB, sehingga, dalam hal ini, Indonesia juga tidak terikat pada 2 (dua) aturan Internasional di atas.

Namun sejatinya, terhadap suatu resolusi yang dikeluarkan PBB, para anggota PBB, termasuk Indonesia, dapat menundukkan diri kepada resolusi tersebut, hanya saja, sifatnya adalah bukan paksaan atau kewajiban, melainkan kesukarelaan. Salah satu contoh resolusi yang dikeluarkan PBB, dimana Indonesia menundukkan diri terhadap resolusi tersebut adalah Universal Declaration of Human Rights, General Assembly resolution 217 (III) (A/RES/3/217 A), atau yang biasa disebut dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM). Hal ini dapat dilihat dari setidaknya 2 (dua) Undang-undang, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), dimana pada bagian “Menimbang” huruf b di 2 (dua) undang-undang tersebut dinyatakan “bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;

Sampai saat ini, tidak ada pernyataan bahwa Indonesia menundukkan diri kepada resolusi PBB mengenai Safeguards Guaranteeing Protection Of The Rights Of Those Facing The Death Penalty dan The Question of Death Penalty. Berdasarkan hal tersebut, maka sampai titik ini, hukuman mati yang dijatuhkan terhadap Rodrigo Gularte dapat dibenarkan, karena belum ada aturan Internasional yang mengikat Indonesia untuk tidak mengeksekusi mati atau menjatuhkan pidana mati kepada penderita gangguan jiwa secara internasional.

Secara peraturan perundang-undangan nasional, ternyata ada pihak yang tidak dapat dijatuhi hukuman mati. Menurut Pasal 45 jo. Pasal 47 Ayat (2) KUHP, seseorang yang belum berusia 18 tahun tidak dapat dijatuhi hukuman mati. Apabila ia melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana maksimal berupa pidana mati, maka akan dijatuhkan pidana penjara maksimal selama 15 tahun. Hal ini sejalan dengan yang tertera dalam International Convenant Civil and Political Rights (ICCPR), yang diadopsi oleh Indonesia dengan meratifikasi ICCPR dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, dimana dalam Pasal 6 angka 5 disebutkan bahwa “Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women”.

Dari ICCPR tersebut, kita juga dapat melihat bahwa yang tidak dapat dijatuhi hukuman mati, selain orang yang belum berusia 18 tahun, adalah wanita yang sedang hamil. Parlu diketahui bahwa jauh sebelum Indonesia meratifikasi ICCPR, mengenai pidana mati terhadap wanita hamil ini, Indonesia sudah mengatur hal tersebut dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, dimana disebutkan bahwa pidana mati tidak dapat dilaksanakan kepada wanita yang sedang hamil. Pidana mati dapat dilaksanakan setelah 40 (empat puluh) hari wanita tersebut melahirkan. Dari 2 ketentuan ini kita dapat melihat adanya perbedaan dimana menurut ICCPR, wanita hamil tidak dapat dijathi hukuman mati, sedangkan menurut UU 2/PNPS/1964, wanita hamil dapat dijatuhi hukuman mati, hanya saja tidak dapat dilaksanakan pada saat wanita tersebut hamil, melainkan harus menunggu 40 (empat puluh) hari setelah melahirkan. Dengan mengacu kepada tujuan ketentuan ini, yang menurut penulis bertujuan untuk tidak ikut serta menghilangkan nyawa janin yang sedang dikandung oleh si ibu, maka penulis berpandangan wanita hamil dapat dijatuhi hukuman mati, hanya saja tidak boleh langusng dieksekusi ketika hamil karena akan turut menghilangkan nyawa janin yang dikadungnya, dan pelaksanaannya harus menunggu setelah 40 hari ia melahirkan bayinya.

Sejauh ini, hanya aturan-aturan tersebut lah yang mengatur mengenai hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebenarnya, ada 1 (satu) peraturan lagi, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanan Pidana mati. Namun, peraturan ini tidak membahas mengenai siapa saja yang tidak dapat dijatuhi hukuman mati, melainkan lebih membahas mengenai teknis pelaksanaan hukuman mati itu sendiri. Sehingga, berdasarkan aturan-aturan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada larangan secara aturan nasional untuk menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang memiliki kondisi ontoerekeningsvatbaarheid, selama ia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan, sehingga hukuman mati yang dijatuhkan kepada Rodrigo pun tidak menyalahi peraturan perundang-undangan di Indonesia, walaupun ia mengidap skizofrenia.

Sebenarnya, usaha untuk meregulasikan (pelaksanaan) pemidanaan mati bagi orang yang mengalami gangguan jiwa ke dalam instrumen hukum nasional sudah dimulai di Indonesia. Hal tersebut tergambar dari mulai diaturnya hal ini dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2012. Dalam Pasal 88 Ayat (3) RKUHP ini disebutkan bahwa “Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh”. Pengaturan ini sejatinya lebih baik dari pengaturan yang ada secara internasional, yaitu Safeguards Guaranteeing Protection Of The Rights Of Those Facing The Death Penalty dan The Question of Death Penalty, karena pengaturan dalam RKUHP lebih menyelesaikan masalah daripada 2 (dua) instrumen internasional tersebut. 2 (dua) instrumen inetrnasional tersebut tidak menjawab bagaimana apabila terdapat keadaaan terpidana mati yang mengidap gangguan jiwa dinyatakan sembuh oleh pihak yang berwenang untuk menyatakan itu. Pembahasan mengenai hal ini dalam 2 (dua) instrument tersebut hanya terhenti sampai pada titik bahwa “pengidap gangguan jiwa tidak dapat dijatuhi pidana”, yang mana penulis tidak membenarkan hal ini, karena seharusnya orang yang mengalami gangguan jiwa bukan tidak dapat dijatuhi pidana mati. Selama berdasarkan putusan Pengadilan gangguan jiwa yang diidapnya tidak memiliki kausalitas atau memiliki kualitas yang kecil dengan perbuatannya, orang tersebut masih dapat dijatuhi hukuman mati, namun pelaksanannya tidak dapat dilaksanakan ketika ia masih mengidap gangguan jiwa, melainkan ketika ia sudah dinyatakan sembuh oleh pihak yang berwenang untuk menyatakan itu. Hal ini lah yang tergambar pula dalam ketentuan Pasal 88 Ayat (3) RKUHP 2012 di atas.

Menurut penulis, eksekusi pemidanaan mati seperti itu adalah menggambarkan penghormatan kepada kemanusiaan, terlepas dari perdebatan mengenai sifat hukuman mati itu sendiri yang dinilai banyak pihak tidak berkeprimanusiaan, karena apabila orang yang mengidap gangguan jiwa dieksekusi ketika ia masih mengidap gangguan jiwa, maka ada potensi orang tersebut tidak mengerti atau mengetahui mengapa ia dipidana mati, sehingga akan terlihat sangat tidak manusiawi ketika mengeksekusi seseorang dengan suatu hukuman tanpa ia mengerti atau mengetahui mengapa ia dihukum dengan hukuman tersebut. Ia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya ketika ia sudah mengerti mengapa ia dieksekusi dengan suatu hukuman, termasuk hukuman mati. Namun, sekali lagi penulis menegaskan bahwa hingga saat ini, RKUHP ini masih dibahas di legislatif dan belum menjadi peraturan nasional, sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam memidana mati pelaku tindak pidana yang memiliki gangguan jiwa. Dengan kenyataan bahwa Indonesia belum menundukkan diri kepada instrument internasional yang mengatur hal tersebut ditambah dengan belum adanya regulasi nasional yang mengatur hal in, maka aturan yang ada hingga saat ini, orang yang mengalami gangguan jiwa dapat dijatuhi hukuman mati dan pelaksanaannya dapat dilakukan kapanpun, termasuk ketika ia masih mengidap gangguan jiwa.

Apabila kita mengacu kepada teori mengenai tujuan hukum, dimana hukum memiliki tujuan memberikan kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan hukum, maka menurut penulis, eksekusi pidana mati terhadap pengidap gangguan jiwa hanyalah memenuhi unsur kepastian hukum dimana sampai saat ini tidak ada aturan yang melarang untuk itu. Apakah adil dan bermanfaat bagi terpidana mati pengidap gangguan jiwa? Jelas tidak. Akan menjadi adil dan bermanfaat ketika eksekusi dilaksanakan saat ia sudah tidak lagi mengidap gangguan jiwa, sehingga ia dapat mengerti secara penuh mengapa ia dieksekusi pada saat itu.

Memilukan memang mendengar seorang yang sedang mengidap gangguan jiwa akan dieksekusi mati, seperti Rodrigo Gularte. Penulis sendiri merasakan ada rasa kemanusiaan yang hilang dalam eksekusi mati terhadap pengidap gangguan jiwa, terlebih ketika eksekusi mati dilaksanakan saat orang tersebut masih mengidap gangguan jiwa. Namun, apa daya. Indonesia belum memiliki aturan yang mengikat untuk mengatasi hal ini. Penulis sendiri berpandangan seharusnya pemerintah Indonesia menundukkan diri saja kepada instrumen internasional tersebut, sehingga pidana mati tidak dapat dieksekusi kepada seseorang yang mengidap gangguan jiwa, dengan catatan bahwa apabila memang tetap ingin mengeksekusi hukuman mati tersebut, maka dapat dilakukan ketika orang tersebut sudah dinyatakan sembuh oleh pihak-pihak yang memang ditugaskan Negara untuk itu, seperti yang digariskan oleh RKUHP tahun 2012 di atas. Atau jalan lain yang menurut penulis dapat ditempuh pemerintah adalah meregulasikan Pasal 88 Ayat (3) RKUHAP di atas dengan undang-undang terpisah dengan RKUHP, namun bersifat penambahan pasal dalam KUHP sekarang, mengingat pengaturan mengenai pemidanaan mati terhadap ibu hamil dan orang yang memiliki gangguan jiwa belum diatur di dalam KUHP (pemidanaan mati terhadap ibu hamil bukan diatur dalam KUHP, melainkan dalam UU 2/PNPS/1964). Penambahan pasal dalam KUHP seperti ini pernah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 4 UU tersebut disebutkan bahwa:

Pasal 4

Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
  2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

Atau bisa juga dengan mengambil pengaturan dalam Pasal 88 Ayat (3) RKUHP 2012 tersebut dan meregulasikannya ke dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat perubahan pengaturan pasal KUHP, mengingat di dalam KUHP sendiri, telah diatur mengenai orang yang tidak dapat dijathi pidana mati, yaitu orang yang belum berusia 18 tahun (Pasal 45 jo. Pasal 47 Ayat (2) KUHP). Hal seperti ini pernah pula dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu ketika mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 18 Tahun 1960 Tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945. Menurut penulis, jalan ini adalah jalan yang terbaik yang dapat dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan pemidanan mati terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa daripada menunggu pembahasan dan pengesahan RKUHP yang masih lama.

Namun, terlepas dari semua pembahasan di atas, penulis berpendapat bahwa semua permasalahan ini hanya dapat diselesaikan dengan adanya government will untuk menyelesaikan masalah ini. Semua kembali kepada kebijakan pemerintah Indonesia sendiri dalam menganggapi permasalahan ini, karena sejatinya, instrumen untuk menyelesaikan masalah ini sudah tersedia, mulai dari isntrumen internasional yang Indonesia dapat menundukkan diri terhadap instrumen internasional tersebut, sampai instrumen hukum nasional yang tertera dalam RKUHP 2012, yang dapat diregulasikan ke dalam hukum nasional secepatnya. Satu permasalahan yang belum terpecahkan adalah penulis pada dasarnya tidak mengetahui secara pasti apakah menurut pemerintah hal ini adalah suatu permasalahan yang harus dipecahkan. Semoga saja pemerintah menganggap hal ini adalah suatu permasalahan yang harus segera diselesaikan, sehingga ada government will untuk menyelesaikan masalah ini, dan semoga pemecahan permasalahan yang dilakukan dapat menjawab seluruh permasalahan yang ada.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.