POLEMIK PENGURUS PARTAI POLITIK JADI CALON ANGGOTA DPD DI PEMILU 2019, SALAH SIAPA?

Pada tanggal 23 Juli 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) mengucapkan putusan No. 30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa frase “pekerjaan lain” pada Pasal 182 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik. Dikarenakan pasal tersebut berisi larangan untuk berpraktik dalam beberapa pekerjaan sebagai syarat untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka dengan putusan ini, pengurus (fungsionaris) partai politik tidak dapat menjadi calon anggota DPD. Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa pengurus partai politik yang dimaksud adalah pengurus mulai dari tingkat pusat hingga tingkat terendah. Dalam pertimbangannya pula, MK menyatakan bahwa putusan ini berlaku untuk Pemilu Anggota DPD tahun 2019 dimana bakal calon anggota DPD yang sudah mendaftar tetap dapat menjadi calon anggota DPD apabila menyerahkan pernyataan tertulis bahwa ia telah mengundurkan diri dari kepengurusan suatu partai politik.

Putusan MK ini kemudian direspon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan menerbitkan Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (PKPU No. 26/2018), yang disahkan pada tanggal 9 Agustus 2018. Peraturan ini menambahkan syarat untuk menjadi calon anggota DPD sebagaimana yang telah diputuskan oleh MK, dimana dalam Pasal 60A Ayat (1) disebutkan bahwa syarat untuk menjadi calon anggota DPD adalah tidak menjadi pengurus Partai Politik tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam Pasal 60A Ayat (3), (4), dan (5) peraturan ini disebutkan pula bahwa bakal calon anggota DPD yang sudah terdaftar dapat tetap menjadi bakal calon anggota DPD apabila menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai 1 (satu) hari sebelum penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPD dan keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian bakal calon anggota DPD tersebut dari pengurus partai politik 1 (satu) hari sebelum penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD.

Namun, pada tanggal 25 Oktober 2018, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan No. 65 P/HUM/2018 atas uji materiil terhadap Pasal 60A PKPU No. 26/2018 yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang. Oesman mendalilkan bahwa pasal tersebut telah merugikan dirinya karena KPU menggunakan pasal tersebut sebagai dasar untuk mencoret namanya dari DCT calon anggota DPD RI untuk Pemilu 2019 dengan alasan tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengurus partai politik hingga 1 hari sebelum penetapan DCT. Padahal sebelumnya, nama Oesman telah tercantum dalam DCS calon anggota DPD RI yang ditetapkan oleh KPU pada tanggal 1 September 2018. Atas dalil ini, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pasal 60A PKPU No. 26/2018 tidak dapat diberlakukan untuk Pemilu 2019 karena aturan tersebut lahir setelah rangkaian pendaftaran dan tahapan Pemilu 2019 dimulai sehingga aturan tersebut tidak dapat berlaku surut (retroactive), sebagaimana sifat putusan MK yang dijalankan oleh KPU melalui aturan tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pasal 60A tersebut tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum selama tidak digunakan untuk Pemilu 2019.

Kemudian, tanggal 14 November 2018, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan No. 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT dalam perkara yang diajukan oleh Oesman pula, yang pada intinya meminta pembatalan Keputusan KPU No. 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018. Keputusan KPU tersebut menyatakan bahwa Oesman Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai calon anggota DPD RI dalam Pemilu 2019 dengan dasar tidak menyerahkan surat pengunduran diri yang diwajibkan berdasarkan Pasal 60A PKPU No. 26/2018, sehingga KPU mencoret nama Oesman dari DCT dan tidak dapat mengikuti Pemilu anggota DPD RI 2019. Oesman merasa hak nya dirugikan akibat berlakunya Keputusan KPU tersebut karena ia tidak bisa menjadi calon anggota DPD RI akibat KPU menerapkan pasal yang berlaku secara retroaktif kepadanya. Atas dalil tersebut, Majelis hakim beralasan yang pada intinya berpendapat sama dengan Putusan No. 65 P/HUM/2018 di atas, yaitu Pasal 60A PKPU No. 26/2018 tidak dapat diberlakukan pada Pemilu 2019 karena tahapan dan rangkaian pendaftaran telah dimulai sebelum adanya pasal tersebut dan pasal tersebut tidak dapat berlaku surut (retroactive), sehingga baru dapat berlaku di pemilu selanjutnya. Oleh karena itu, PTUN Jakarta membatalkan Keputusan KPU yang tidak memasukkan nama Oesman tersebut dan memerintahkan untuk memasukkan nama Oesman ke dalam DCT calon anggota DPD RI untuk Pemilu 2019 dengan sebuah keputusan baru.

Atas putusan-putusan tersebut, KPU pun langsung mengkaji putusan-putusan tersebut untuk menentukan putusan mana yang harus digunakan sebagai dasar pencalonan calon anggota DPD dari pengurus parpol. Setelah mempelajari putusan-putusan tersebut, akhirnya KPU menyatakan bahwa Oesman Sapta Odang harus tetap menyerahkan surat pengunduran diri dari pengurus partai maksimal pada tanggal 21 Desember 2018 apabila ia tetap ingin namanya masuk dalam DCT. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, Oesman tidak menyerahkan surat tersebut. Akhirnya, KPU menyatakan bahwa nama Oesman tidak dicantumkan dalam DCT peserta Pemilu anggota DPD 2019. KPU menyatakan bahwa keputusan ini dilaksanakan berdasarkan putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang ketua umum partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD[1].

2 putusan Mahkamah Agung ini kemudian menimbulkan reaksi dari masyarakat. Banyak yang menilai bahwa MA tidak tunduk dan patuh terhadap putusan MK dengan menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan putusan MK. Namun, apakah benar putusan MA bertentangan dengan putusan MK? Menurut penulis, secara normatif, putusan MA tidak bertentangan dengan putusan MK. Hal ini dikarenakan putusan MA pada dasarnya memutus hal yang sama dengan apa yang telah diputus oleh MK, yaitu pengurus parpol tidak dapat menjadi calon anggota DPD. Perbedaan dari putusan MA dan MK hanyalah terkait implementasi aturan tersebut, yaitu kapan larangan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD dapat diberlakukan. MK menyatakan bahwa aturan tersebut dapat diberlakukan mulai Pemilu 2019, sedangkan MA menyatakan bahwa aturan tersebut tidak dapat diberlakukan pada Pemilu 2019 dan baru akan berlaku pada Pemilu selanjutnya. Jadi, yang harus kita pahami bersama, putusan MK dan MA tidak bertentangan secara norma, namun hanya pada tataran implementasi.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, alasan MA “menunda” pelaksanaan larangan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD adalah karena aturan tersebut lahir setelah rangkaian pendaftaran dan tahapan Pemilu 2019. Pada faktanya, alasan ini pernah digunakan MK ketika memutuskan untuk menunda pelaksanaan Pemilu serentak dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa Pemilu legislatif dan presiden harus dilaksanakan secara serentak. Namun, karena tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan, maka MK menyatakan bahwa Pemilu serentak tidak dilaksanakan pada Pemilu 2014, melainkan akan dilaksanakan pada Pemilu 2019. Hal ini ditegaskan kembali dalam amar putusan tersebut dengan menyatakan bahwa apa yang diputuskan MK dalam perkara tersebut berlaku pada Pemilu tahun 2019. Artinya, penundaan pelaksanaan sebuah putusan dengan alasan telah dimulainya sebuah proses atau tahapan adalah hal yang dapat dilakukan.

Pertanyaannya kemudian, mengapa MK memutuskan untuk tidak menunda pelaksanaan putusan ini hingga Pemilu berikutnya dengan alasan bahwa tahapan Pemilu telah berjalan, seperti pada putusan sebelumnya yang menunda pelaksanaan Pemilu serentak? Patut diketahui bahwa putusan ini diucapkan pada tanggal 23 Juli 2018, sedangkan tahapan verifikasi calon anggota DPD telah berakhir pada tanggal 19 Juli 2018[2]. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (PKPU 14/2018), sebagaimana telah diubah dengan PKPU 26/2018 dan PKPU 30/2018, setelah tahap verifikasi dilakukan, maka tahapan selanjutnya adalah penetapan DCS bagi calon anggota DPD yang telah lolos verifikasi dan memenuhi syarat[3]. Artinya, saat putusan ini diucapkan, seluruh tahapan pendaftaran calon anggota DPD telah berakhir dan tidak ada lagi verifikasi syarat-syarat pendaftaran. Sedangkan, putusan MK ini menambahkan syarat untuk dapat menjadi calon anggota DPD. Hal inilah yang kemudian tidak dijelaskan oleh MK dalam putusannya sehingga tidak diketahui dengan pasti apa alasan MK memberlakukan putusan ini di Pemilu 2019 disaat tidak ada lagi proses verifikasi terhadap syarat calon anggota DPD. Putusan ini juga tidak menjelaskan apakah diperlukan tahapan verifikasi kembali dengan syarat yang ditambahkan tersebut.

Kemudian, seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada faktanya, putusan MK ini menambah syarat untuk menjadi calon anggota DPD disaat seluruh tahapan pendaftaran berakhir atau di tengah proses Pemilu 2019. Pertanyaannya, apakah penambahan syarat pendaftaran boleh dilakukan di tengah proses Pemilu? Kalau boleh, siapa yang berwenang menambahkan syarat tersebut? Di level peraturan mana penambahan syarat tersebut harus diatur, apakah di level undang-undang, atau peraturan di bawahnya, seperti peraturan KPU? Di tahapan mana penambahan syarat tersebut dapat dilakukan? Apakah syarat tersebut dapat ditambahkan setelah proses verifikasi berakhir? Kalau boleh, apakah harus dilakukan verifikasi ulang terhadap syarat tambahan tersebut? Sejauh pengamatan penulis, hal-hal ini tidak diatur dalam UU Pemilu. UU Pemilu juga tidak mengatur kewenangan KPU untuk menambahkan syarat pencalonan dari syarat yang telah diatur dalam UU Pemilu. Artinya, ketika MK menambahkan syarat larangan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD di tengah proses Pemilu, maka tidak ada mekanisme yang diatur terkait pelaksanaan syarat tambahan tersebut.

Dengan fakta-fakta di atas, menurut penulis, putusan MA yang menunda pemberlakuan larangan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD hingga pemilu berikutnya menjadi sangat relevan dengan kondisi saat ini. Tidak adanya aturan yang menjelaskan mekanisme penambahan syarat pencalonan di tengah-tengah tahapan proses Pemilu akan membuat ketidakpastian hukum terkait pelaksanaan norma ini. Dan pada faktanya, pemberlakuan larangan ini menimbulkan masalah ketidakjelasan dalam pencalonan Oesman Sapta Odang sebagai peserta Pemilu anggota DPD 2019.

Namun, belum lagi selesai masalah ketidakjelasan implementasi putusan MK dan MA ini, KPU justru menambah polemik baru dalam pencalonan Oesman Sapta Odang. Seperti yang disebutkan sebelumnya, untuk melaksanakan putusan MK, pada tanggal 9 Agustus 2018, KPU menetapkan Pasal 60A PKPU 26/2018 yang menyatakan bahwa pengurus parpol yang menjadi bakal calon anggota DPD wajib menyerahkan surat pengunduran diri 1 hari sebelum penetapan DCS. Namun, pada faktanya, nama Oesman Sapta Odang tetap masuk dalam DCS dalam penetapan DCS tanggal 1 September 2019, 22 hari setelah aturan KPU tersebut lahir, walaupun belum menyerahkan surat pengunduran diri sampai waktu penetapan DCS. Pertanyaannya, mengapa KPU tetap memasukkan nama Oesman Sapta Odang ke dalam DCS sedangkan nyata-nyata ia belum menyerahkan surat pengunduran diri? Bukankah seharusnya Oesman Sapta Odang harus dinyatakan tidak memenuhi syarat dan tidak dapat ditetapkan masuk dalam DCS menurut aturan yang dibuat oleh KPU sendiri? Faktanya, Pasal 75 PKPU 14/2018 dengan jelas menyatakan bahwa calon anggota DPD yang ditetapkan masuk dalam DCS adalah calon yang telah memenuhi seluruh syarat. Dengan demikian, menurut penulis, dengan fakta bahwa nama Oesman Sapta Odang masuk dalam DCS, yang menurut Pasal 75 Ayat (3) PKPU 14/2018, DCS ditetapkan dalam rapat pleno dan ditandatangani oleh Ketua dan anggota KPU, artinya KPU sendiri yang menyatakan bahwa Oesman Sapta Odang telah memenuhi seluruh syarat menjadi calon anggota DPD, walaupun belum menyerahkan surat pengunduran diri.

Atas masuknya nama Oesman dalam DCS, pihak KPU menyatakan bahwa KPU masih menunggu surat pengunduran Oesman Sapta Odang sebelum penetapan DCT tanggal 20 September 2018. KPU menyatakan bahwa terdapat perubahan aturan terkait penyerahan surat pengunduran diri ini dari 1 hari sebelum penetapan DCS menjadi 1 hari sebelum penetapan DCT[4]. Namun, faktanya, sejauh penelusuran penulis, tidak pernah ada perubahan aturan terkait batas waktu penyerahan surat pengunduran diri. PKPU 30/2018 yang adalah perubahan ketiga dan terakhir (sampai sejauh ini) dari aturan ini tidak mencantumkan perubahan batas waktu penyerahan surat pengunduran diri ini. Lantas, apa dasar hukum KPU menyatakan bahwa batas penyerahan surat pengunduran diri tersebut diubah menjadi 1 hari sebelum DCT? Bukankah seharusnya Oesman dinyatakan tidak memenuhi syarat sejak penetapan DCS?

Kemudian, pihak KPU menyatakan bahwa yang terpenting adalah nama yang masuk dalam DCT karena DCT tidak dapat berubah lagi[5]. Pertanyaannya, apakah orang yang masuk dalam DCS dapat gugur dalam penetapan DCT karena tidak memenuhi syarat pendaftaran? Menurut penulis, KPU tidak dapat menggugurkan calon anggota DPD yang sudah masuk DCS dalam DCT, khususnya karena tidak memenuhi syarat yang dapat dilihat jelas oleh KPU. Kalau kita mencermati struktur Bab X tentang Penyusunan Daftar Calon Sementara dan Daftar Calon Tetap PKPU 26/2018, menurut penulis, terdapat perbedaan mendasar dalam penetapan DCS dan DCT. DCS ditetapkan berdasarkan hasil verifikasi KPU atas syarat-syarat pendaftaran yang dapat dilihat dengan jelas oleh KPU, sedangkan DCT ditetapkan berdasarkan hasil verifikasi KPU atas hal-hal yang tidak dapat dilihat dengan jelas oleh KPU, namun diketahui oleh masyarakat, karena sangat mungkin ada syarat-syarat dari seorang calon yang sebenarnya tidak terpenuhi, namun KPU tidak mengetahuinya dan masyarakat mengetahui hal tersebut. Itu sebabnya Pasal 78 PKPU 26/2018 mengatur tentang diperbolehkannya masyarakat memberikan masukan dan/atau tanggapan terhadap nama-nama yang masuk dalam DCS, dimana menurut Pasal 79 Ayat (1) huruf a PKPU 26/2018, DCS dapat berubah atas dasar masukan dan/atau tanggapan masyarakat tersebut, dan menurut Pasal 80 Ayat (1) PKPU 26/2018, DCT ditetapkan berdasarkan DCS yang telah mendapatkan masukan dan/atau tanggapan yang telah diklarifikasi kebenarannya. Artinya, terkait dengan syarat calon, hal yang dapat menggugurkan nama calon yang telah masuk ke dalam DCS sehingga tidak masuk DCT hanyalah masukan dan/atau tanggapan dari masyarakat apakah seorang calon anggota DPD telah memenuhi syarat.

Dengan demikian, menurut penulis, KPU tidak berwenang menyatakan seseorang yang telah masuk dalam DCS kemudian gugur dan tidak masuk DCT karena tidak memenuhi persyaratan yang bisa dilihat dengan jelas oleh KPU. Seharusnya, apabila orang tersebut memang tidak memenuhi syarat yang dapat dilihat tersebut, KPU harus menyatakan bahwa orang tersebut tidak memenuhi syarat sejak awal dan namanya tidak dimasukkan dalam DCS. Pertanyaannya, apakah KPU tidak mengetahui dan tidak dapat melihat dengan jelas bahwa Oesman Sapta Odang adalah seorang pengurus parpol bernama Hanura? Apakah KPU tidak mengetahui dan tidak dapat melihat dengan jelas bahwa Oesman Sapta Odang belum menyerahkan surat pengunduran diri 1 hari sebelum penetapan DCS, sesuai dengan PKPU 26/2018, yang adalah aturan yang mereka buat sendiri?

Hal-hal inilah yang menjadi dasar penulis menyatakan bahwa KPU juga turut menambah polemik dalam pencalonan Oesman Sapta Odang, yang adalah pengurus parpol, dalam Pemilu anggota DPD 2019. Belum lagi selesai polemik tentang pelaksanaan putusan MK dan MA, KPU malah menambah masalah baru dengan meloloskan Oesman dalam DCS, padahal ia belum menyerahkan surat pengunduran diri sebelum penetapan DCS, sebagaimana yang diatur dalam aturan KPU sendiri. Polemik ini bertambah ketika KPU mencoret nama Oesman dalam DCT dengan alasan tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebelum penetapan DCT, yang mana hal tersebut tidak pernah diatur, khususnya dalam peraturan KPU mengenai hal ini. Hal ini pula yang kemudian menjadi alasan Oesman dalam mengajukan pengujian Pasal 60A PKPU 26/2018 ke MA dimana kemudian MA mengabulkan permohonan Oesman tersebut.

Sebenarnya, polemik ini tidak perlu terjadi apabila semua pihak patuh dan taat kepada peraturan perundang-undangan yang ada. Menurut penulis, polemik ini tidak akan muncul apabila legislatur cepat melegislasikan putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 ke dalam undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf d dan Ayat (2) Undnag-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Dalam legislasi tersebut, legislatur dapat menentukan semua hal yang berkaitan dengan putusan tersebut, mulai dari menambahkan syarat adanya surat pengunduran diri, jangka waktu penyerahan surat tersebut, apakah syarat tersebut bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019 mengingat proses pendaftaran dan verifikasi sudah selesai, kalau dapat dilaksanakan, bagaimana mekanisme yang harus dijalani terkait penambahan syarat tersebut di tengah proses yang sudah berjalan, dll. Dengan demikian, pelaksanaan putusan MK tersebut menjadi lebih jelas dan tidak menimbulkan polemik seperti saat ini. Selain itu, KPU juga memiliki dasar hukum yang kuat dalam mengatur tentang tata cara dan aturan teknis lainnya terkait tambahan syarat wajib menyerahkan surat pengunduran diri dari pengurus parpol tersebut.

Di samping itu, legislasi ini juga akan membuat pelaksanaan Pemilu anggota DPD tahun 2019 sejalan dengan konstitusi negara kita. Pasal 22E Ayat (6) UUD 1945 telah menyebutkan bahwa ketentuan tentang Pemilihan Umum haruslah diatur dalam undang-undang. Aturan ini juga digunakan oleh MK dalam Putusan No. 14/PUU-XI/2013 sebagai dasar untuk menunda pelaksanaan pemilu serentak yang diputuskan dalam putusan tersebut. Dengan demikian, apabila legislasi ini dilakukan, aturan tentang penambahan syarat wajib menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan parpol tidak hanya menjadi lebih jelas, namun juga menjadikan pelaksanaan Pemilu anggota DPD tahun 2019 sejalan dengan konstitusi. Aturan ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang siapa yang berwenang menambahkan syarat pendaftaran dan dalam level peraturan perundang-undangan apa penambahan syarat tersebut dilakukan, seperti yang telah penulis jabarkan sebelumnya. Pihak yang berwenang menambahkan syarat pendaftaran adalah legislatur dan syarat tersebut harus diatur dalam level undang-undang.

Lalu mungkin muncul pertanyaan, bagaimana apabila proses legislasi memakan waktu yang lama? Pertama, Pasal 10 Ayat (1) huruf d UU 12/2011 mengatur bahwa undang-undang akibat putusan MK masuk ke dalam daftar kumulatif terbuka, yang menurut penulis (baca di sini) tidak perlu masuk ke dalam Program Legislasi nasional (Prolegnas), sehingga dapat langsung dilegislasikan setelah putusan MK tersebut dibacakan. Kedua, penjelasan pasal tersebut mengatur bahwa materi muatan undang-undang tersebut adalah sejauh mana yang diputuskan MK, yang menurut penulis juga harus ditambah dengan aturan tentang akibat-akibat dari putusan tersebut, sehingga pembahasan akan terfokus dan tidak akan memakan waktu yang lama. Lalu, bagaimana apabila proses legislasi tetap berjalan lama?

Menurut penulis, sebaiknya pelaksanaan putusan tersebut ditunda sampai pemilu berikutnya, sama seperti penundaan pemilu serentak dalam putusan MK No. 14/PUU-XIII/2013. Penundaan ini juga akan memberikan waktu yang cukup kepada legislatur untuk mengatur dengan jelas dan lengkap bagaimana mekanisme yang dapat dilakukan apabila terdapat penambahan syarat pendaftaran calon peserta pemilu setelah proses pendaftaran selesai, seperti yang diputuskan oleh MK. Dengan demikian, putusan MK ini akan dapat dilaksanakan secara maksimal dan tetap sejalan dengan konstitusi. Lagipula, mengapa putusan ini seakan-akan harus dilaksanakan pada Pemilu tahun 2019 padahal proses pendaftaran dan verifikasi syarat pendaftaran sudah selesai dilakukan? Apakah pelaksanaan putusan ini tidak bisa ditunda seperti pelaksanaan putusan MK tentang pemilu serentak? Apakah tidak bisa menunggu legislatur mengatur pelaksanaan putusan ini dengan lebih jelas dan lengkap dalam UU Pemilu?

Perlu dipahami bahwa pada dasarnya penulis sangat sepakat dengan putusan MK dan MA yang melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi anggota DPD dengan alasan yang sama dengan yang tercantum dalam putusan-putusan tersebut. Namun, dalam hal ini, secara materiil, penulis lebih sepakat dengan putusan MA yang menunda pelaksanaan penambahan syarat wajib menyerahkan surat pengunduran diri sampai pemilu berikutnya. Alasannya adalah belum ada aturan yang jelas apabila penambahan syarat ini dilakukan di tengah proses Pemilu, bahkan setelah proses pendaftaran dan verifikasi pendaftaran selesai. Legislatur harus segera membahas hal tersebut dan memasukkannya ke dalam perubahan UU Pemilu agar dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilu berikutnya. Menurut penulis, hal itu merupakan jalan terbaik agar pelaksanaan Pemilu 2019 tidak terganggu dan tetap berjalan sesuai dengan konstitusi.

Namun, walaupun begitu, penulis secara pribadi tidak sepakat dengan sikap MA yang menyimpangi apa yang telah diputuskan oleh MK bahwa putusan tersebut dalam dilaksanakan pada Pemilu 2019. Praktik seperti ini haruslah dihentikan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang datang dari putusan badan peradilan. Apapun yang telah diputuskan MK seharusnya dijalankan oleh seluruh pihak, terlepas dari bagaimana putusan tersebut dijatuhkan. Dengan demikian, tidak akan ada alasan dari pihak manapun untuk tidak menjalankan putusan MK.

Di sisi lain, MK juga harus berbenah diri. MK harus menyadari bahwa putusannya sangat memegang peranan penting dalam sistem hukum Indonesia, yaitu sebagai salah satu sumber hukum. MK seharusnya dapat lebih cermat dan berhati-hati dalam memutus perkara dengan memperhatikan kondisi-kondisi faktual yang ada. Seperti dalam masalah ini, menurut penulis, MK seharusnya mempertimbangkan proses tahapan Pemilu yang sudah berjalan dimana proses verifikasi pendaftaran sudah selesai, sehingga seharusnya MK tidak menambahkan syarat baru setelah proses tersebut karena dapat mengganggu proses Pemilu yang sedang berjalan. Kalaupun tetap menambahkan syarat tersebut, seharusnya MK juga menyebutkan bagaimana hubungan syarat baru tersebut dengan proses verifikasi yang telah selesai dilakukan. Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan, lebih baik MK memberikan waktu kepada legislatur untuk memperbaiki aturan yang ada dengan menunda pelaksanaan putusan tersebut, seperti yang diputuskan oleh MA dan dilakukan MK sendiri dalam menunda pelaksanaan putusan MK tentang pemilu serentak. Dengan demikian, putusan MK akan dapat dilaksanakan dengan maksimal dan tidak menimbulkan masalah.

Selain itu, KPU juga harus berbenah dalam menjalankan tugasnya. KPU harus menghormati dan menjalankan aturan yang ada, khususnya aturan yang dibuat oleh KPU sendiri. Apabila KPU telah mengatur bahwa surat pengunduran diri dari kepengurusan parpol harus dilakukan 1 hari sebelum penetapan DCS, maka apabila ada calon yang tidak menyerahkan sampai waktu tersebut, KPU harus menyatakan calon tersebut tidak memenuhi syarat administratif dan namanya tidak dimasukkan ke dalam DCS. KPU tidak boleh lagi “mengingkari” apa yang telah ditetapkan oleh KPU sendiri dengan alasan apapun, termasuk alasan adanya perubahan aturan yang ternyata perubahan tersebut tidak pernah ada. Dengan demikian, pelaksanaan Pemilu akan berjalan lebih lancar, tidak menimbulkan masalah, dan KPU sebagai institusi akan dipandang lebih profesional dalam bekerja.

Legislatur, yaitu DPR dan Pemerintah, juga adalah pihak yang harus ikut berbenah. Legislatur harus mulai menyadari bahwa putusan MK membutuhkan tindak lanjut berupa pengaturan dalam UU yang normanya telah diubah dengan putusan tersebut. Faktanya, Pasal 10 Ayat (1) huruf d dan Ayat (2) UU 12/2011 telah memberikan kewenangan kepada legislatur untuk melakukan hal itu. Namun, sepertinya legislatur masih enggan melakukan hal tersebut. Padahal, putusan MK harus ditindaklanjuti demi terciptanya kepastian hukum dengan aturan yang jelas. Bahkan tidak jarang perubahan aturan tersebut harus dilakukan dengan cepat mengingat kondisi faktual yang ada. Apabila hal tersebut tidak kunjung dilakukan, maka bukan tidak mungkin, masalah pelaksanaan putusan MK tentang larangan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD ini akan terulang dalam pelaksanaan putusan MK lainnya. Dengan melakukan legislasi atas putusan MK, maka legislatur akan menciptakan sebuah aturan yang dapat digunakan bersama oleh semua pihak, sehingga akan tercipta kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan MK.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa polemik tentang boleh tidaknya pengurus parpol menjadi calon anggota DPD pada Pemilu 2019 merupakan andil dari banyak pihak, mulai dari MK, MA, KPU, dan legislatur. Setiap dari lembaga tersebut memiliki andil masing-masing dalam kerumitan pelaksanaan putusan MK ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ada baiknya lembaga-lembaga tersebut tidak merasa paling benar dan menyalahkan lembaga lain, serta harus mulai mengintrospeksi apa andil mereka dalam masalah ini agar tidak terulang lagi dlaam masalah lain di masa yang akan datang.

Demokrasi adalah salah satu kado terindah dari reformasi. Pemilu yang dilaksanakan berdasarkan konstitusi dan peraturan yang berlaku akan menciptakan demokrasi yang sehat karena dapat menjamin pelaksanaan pemilu yang menjamin terpenuhinya seluruh hak warga negara, baik untuk memilih, maupun dipilih. Mari kita bersama ciptakan iklim pemilu dan demokrasi yang sehat agar kado yang diperjuangkan dalam reformasi ini dapat menjadikan Indonesia lebih baik lagi.

                  [1]Fitria Chusna Farisa, “KPU Tegaskan OSO Tak Masuk Dalam DCT Caleg DPD”, https://nasional.kompas.com/read/2018/12/24/18111491/kpu-tegaskan-oso-tak-masuk-dalam-dct-caleg-dpd, diakses pada 30 Desember 2018.

                  [2]Marlinda Oktavia Dewanti, “Yusril: Putusan MK Soal Pengurus Parpol Nyalon DPD Tak Berlaku Surut”, https://news.detik.com/berita/d-4135381/yusril-putusan-mk-soal-pengurus-parpol-nyalon-dpd-tak-berlaku-surut, diakses pada 30 Desember 2018.

                  [3]Lihat Bab IX tentang Verifikasi Pendaftaran dan Bab X tentang Penyusunan Daftar Calon Sementara dan Daftar Calon Tetap PKPU 14/2018.

                  [4]“Jadi Caleg DPD, OSO Harus Mundur dari Hanura Sebelum Penetapan DCT”, https://kumparan.com/@kumparannews/jadi-caleg-dpd-oso-harus-mundur-dari-hanura-sebelum-penetapan-dct-1535971716080098120, diakses pada 29 Desember 2018.

                  [5]“KPU Minta Pengurus Parpol Nyalon DPD Segera Menyerahkan Surat Pengunduran Diri”, https://www.merdeka.com/politik/kpu-minta-pengurus-parpol-nyalon-dpd-segera-menyerahkan-surat-pengunduran-diri.html, diakses pada 29 Desember 2019.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.