LEGISLASI SEBAGAI PENYEMPURNA SABDA SANG WAKIL TUHAN, SEBUAH JALAN TERANG YANG (MASIH) SELALU DIABAIKAN

 

Dalam tulisan sebelumnya, yang berjudul “Salah Paham Dan Salah Timbang Sang Penjaga Konstitusi Tentang Praktik Kriminalisasi Kebijakan, Niat Menyelesaikan Masalah Yang Menambah Masalah”, penulis telah membahas mengenai Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menghapuskan kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Perkara ini berangkat dari praktik kriminalisasi kebijakan yang terjadi dan Para Pemohon dalam perkara tersebut menganggap hal tersebut terjadi karena adanya kata “dapat dalam pasal-paal tersebut. Majelis Hakim MK pun menjatuhkan putusan berupa pencabutan kata “dapat” dalam pasal-pasal tersebut, sehingga diharapkan masalah kriminalisasi kebijakan tidak akan terjadi lagi.

Pada tulisan tersebut, penulis menjabarkan kesalahan-kesalahan dalam putusan tersebut, yaitu kesalahpahaman bahwa kata “dapat” adalah penyebab sebuah kebijakan dapat “dipidanakan” dengan korupsi, mengubah Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dari delik formil menjadi delik materiil, kesalahan dalam menganggap bahwa lahirnya UU Administrasi Pemerintahan mengubah pendekatan penindakan penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian negara, dari pendekatan pidana menjadi pendekatan administratif, dan kesalahan pendefinisian perbuatan korupsi yang membuat perbedaan antara perbuatan korupsi dan perbuatan di dalam UU Administrasi Pemerintahan menjadi kabur. Penulis berpendapat bahwa kesalahan-kesalahan ini dapat menyebabkan beberapa masalah pada praktiknya, seperti praktik kriminalisasi kebijakan yang tidak akan selesai karena pada dasarnya bukan kata “dapat” lah yang menjadi penyebab kriminalisasi kebijakan ini terjadi, sehingga walaupun dihapus tidak akan mengubah apapun, bertambahnya praktik kriminalisasi kebijakan karena perumusan perbuatan korupsi yang sama dengan perbuatan yang harus diselesaikan secara administratif, hingga dapat menimbulkan budaya korupsi baru karena ada 1 perbuatan yang dapat diselesaikan dengan 2 mekanisme yang tidak memiliki parameter pembeda yang jelas, sehingga membuka peluang orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk melakukan berbagai cara untuk menghindari mekanisem yang lebih berat, termasuk melakukan korupsi baru.

Lalu bagaimana agar dampak-dampak dari kesalahan-kesalahan di atas tidak terjadi pada praktik nantinya? Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus diperjelas agar pelaksanaan putusan MK ini dapat dilakukan secara maksimal. Hal-hal tersebutlah yang akan penulis bahas secara rinci dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini juga nantinya penulis akan membahas mengenai bagaimana legislasi atas putusan MK hadir sebagai penyempurna putusan MK, yang memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya dampak-dampak tersebut di atas.

Adapun hal-hal yang harus diperjelas antara lain:

Kejelasan tentang kapan sebuah kesalahan administrasi yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara dikatakan sebagai pelanggaran administrasi, kapan dikatakan sebagai pidana korupsi

Seperti yang penulis jelaskan di atas bahwa akibat penafsiran hakim tentang kapan sebuah penyalahgunaan wewenang dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi dalam putusan ini, maka terjadi ketidakjelasan kapan sebuah kesalahan administrasi yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara akan ditindak secara administrasi, kapan akan ditindak secara pidana korupsi, sehingga menimbulkan beberpaa konsekuensi yang sudah penulis jabarkan sebelumnya. Untuk itu, solusi yang dari permasalahan ini adalah harus ada pengklasifikasian yang jelas dan tegas kapan perbuatan tersebut dapat ditindak secara administratif atau pidana, sehingga tidak akan ada penyalahgunaan kewenangan yang seharusnya ditindak secara administrasi, namun ditindak secara pidana, begitu juga sebaliknya. Klasifikasi yang jelas juga akan menutup peluang timbulnya budaya korupsi baru dalam menghindari proses yang lebih merugikan.

Menurut penulis, klasifikasi yang paling tepat adalah dengan melihat ada tidaknya niat jahat dalam melakukan penyalahgunaan wewenang tersebut. Penyalahgunaan wewenang tersebut harus ditindak secara pidana korupsi, ketika terdapat niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dalam melakukan penyelahgunaan wewenang tersebut, yang mana perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara. Hal ini sejalan dengan pemahaman atas Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang telah penulis sampaikan sebelumnya. Sedangkan, penyalahgunaan wewenang tersebut harus ditindak secara administrasi menurut UU Administrasi Pemerintahan ketika tidak ditemukan adanya niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, namun faktanya terdapat penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara.

Atas dasar ini, ada tidaknya niat jahat adalah unsur esensial untuk dapat menentukan dengan tepat penindakan secara apa yang tepat untuk sebuah penyalahgunaan wewenang. Dengan klasifikasi seperti ini, menurut penulis, maka tidak akan ada lagi penyalahgunaan wewenang yang seharusnya diselesaikan secara administratif, namun diselesaikan secara pidana, atau sebaliknya. Dengan demikian, maka para pejabat tidak perlu lagi takut mengambil kebijakan atau keputusan karena takut dipidana dengan pidana korupsi, selama kebijakan atau keputusan tersebut tidak diambil dengan niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, walaupun terdapat penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara dalam pengambilan keputusan atau kebijakan tersebut.

 

Pengembalian Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik formil

Solusi ini terkait dengan solusi di atas, yaitu terkait dengan ada tidaknya niat jahat sebagai unsur yang esensial dalam membedakan penindakan administratif dan penindakan pidana. Dikarenakan niat jahat tersebut melekat kepada perbuatan, maka untuk menyelesaikan masalah “salah tindak” di atas, Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor haruslah dinyatakan sebagai delik formil, bukan delik materiil seperti yang dinyatakan MK dalam pertimbangannya. Hal ini berguna untuk menghindari terjadinya kembali miskonsepsi tentang perbuatan korupsi, dimana apabila unsur yang dianggap esensial adalah kerugian Negara, maka akan masih banyak kebijakan atau keputusan yang dipidanakan dengan pidana korupsi hanya karena terbukti merugikan keuangan Negara, terlepas apakah pengambilan kebijakan atau keputusan tersebut patut atau tidak. Dengan perumusan secara delik materiil, maka ketentuan ini tidak akan menyelesaikan masalah ketakutan pejabat publik untuk mengambil kebijakan atau keputusan, karena “kriminalisasi kebijakan” tersebut akan tetap terjadi, yang mana sebenarnya masalah tersebutlah yang ingin diselesaikan dengan Putusan ini. Bahkan, perumusan sebagai delik materiil ini dapat semakin parah karena semakin mempertegas kriminalisasi tersebut dimana sebuah kebijakan pasti akan dipidana korupsi apabila telah nyata ada kerugian Negara, terlepas apakah pengambilan keputusannya dilakukan dengan niat baik atau tidak, secara patut atau tidak.

Untuk itu, menurut penulis, solusi yang dapat dijalankan adalah merumuskan kembali Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik formil. Silahkan saja dirumuskan bahwa unsur “kerugian keuangan Negara” harus terjadi secara nyata sebagai syarat untuk terpenuhinya unsur tersebut, namun jangan sampai menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor adalah delik formil. Dengan demikian, masalah ketakutan pejabat publik dalam mengambil kebijakan atau keputusan dapat diselesaikan.

 

Kejelasan mengenai hukum acara, terutama mengenai hubungan antara proses administrasi di dalam UU Administrasi Pemerintahan dan proses pidana sebagai proses yang saling melengkapi

Seperti yang sudah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa aturan di dalam UU Administrasi Pemerintahan tidaklah menggeser paradigma penindakan penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian Negara, dari secara pidana menjadi secara administratif. Justru, aturan di dalam UU Adminstrasi pemerintahan seharusnya menjadi pelengkap aturan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dalam kondisi apabila tidak ditemukan niat jahat dalam penyalahgunaan wewenang tersebut, namun terdapat kerugian Negara yang harus dikembalikan. Namun, tidak ada aturan yang mengatur mengenai hubungan saling melengkapi ini. Untuk itu, harus ada hukum acara yang jelas agar hubungan antara proses administrasi dan proses pidana ini saling melengkapi serta tidak tumpang tindih satu sama lain.

Menurut penulis, yang pertama harus diatur adalah proses mana yang terlebih dahulu harus dijalankan, apakah secara administratif terlebih dahulu baru secara pidana, atau sebaliknya, atau apakah keduanya dapat dijalankan secara bersamaan. Hal ini penting untuk dijelaskan agar tidak terjadi kesalahan dalam urutan proses, yang dapat mengakibatkan seseorang tidak diproses sebagaimana mestinya. Ada 4 (empat) pilihan pengaturan guna dapat menentukan proses apa yang paling tepat untuk menindak sebuah penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian Negara, yaitu:

Pemeriksaan secara administratif terlebih dahulu.

Dengan cara ini, maka adanya perbuatan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu secara administratif sesuai UU Administrasi Pemerintahan. Hal yang dibuktikan adalah apakah telah ada kesalahan administrasi, yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang, dan mengakibatkan kerugian Negara. Namun, ketika hal tersebut sudah terbukti, maka pihak penindak administratif, yaitu APIP, tidak akan serta merta menindak pelaku dengan hukuman administrasi, melainkan akan memberikan hasil pemeriksaan tersebut kepada penyidik untuk kemudian dibuktikan apakah terdapat niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dalam penyalahgunaan wewenang tersebut. Apabila tidak ditemukan adanya niat jahat tersebut, maka Penyidik harus mengembalikan perkara kepada APIP agar pelaku diproses secara administratif. Apabila ditemukan adanya niat jahat tersebut, maka APIP akan menyerahkan sepenuhnya kepada Penyidik untuk melakukan proses pidana korupsi. Hal ini juga bisa terjadi apabila dalam pemeriksaan administratif APIP menemukan adanya niat jahat tersebut, maka APIP wajib memberikan perkara tersebut kepada penyidik untuk ditindak secara korupsi.

 

Pemeriksaan secara pidana terlebih dahulu.

Cara ini adalah kebalikan dari cara di atas, dimana pemeriksaan akan dimulai oleh penyidik tindak pidana korupsi, untuk menemukan adanya penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara, dimana ada niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dalam penyalahgunaan wewenang tersebut. Apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan dugaan bahwa ada perbuatan tersebut dan ada niat jahat dalam melakukan perbuatan tersebut, maka proses akan dilanjutkan secara pidana. Namun, apabila perbuatan tersebut ada tetapi tidak ditemukan niat jahat dalam melakukannya, maka proses pidana akan berhenti dan pemeriksaan akan diserahkan kepada APIP untuk memeriksa secara administratif.

Dari cara 1 dan 2, penulis berpendapat bahwa cara yang lebih baik adalah cara 1 karena cara tersebut lebih melindungi pejabat publik. Yang harus kita pahami bersama bahwa dasar pemeriksaan perbuatan tersebut adalah adanya dugaan penyalahgunaan wewenang, yang lebih masuk dalam ranah penilaian administratif, sehingga pembuktian ada tidaknya penyalahgunaan tersebut haruslah diputuskan secara administratif terlebih dahulu. Penulis berpendapat, dengan adanya keputusan administratif ini, apabila keputusan tersebut menyebutkan adanya penyalahgunaan wewenang dan terdapat kerugian Negara sehingga harus diproses lebih lanjut secara pidana untuk menentukan adanya niat jahat untuk memperkaya dalam perbuatan tersebut, maka dasar pemeriksaan secara pidana akan lebih kuat mengenai adanya penyalahgunaan wewenang. Selain itu, tugas dari penyidik juga akan terbantu dalam mendalilkan hal adanya penyelahgunaan wewenang tersebut.

Namun, cara ini akan berpotensi membutuhkan waktu yang lebih panjang dalam penyelesaiannya. Hal ini disebabkan, berdasarkan Pasal 21 Ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan, Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan ke PTUN untuk menyatakan bahwa dirinya tidak melakukan penyelahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang (PERMA 4/2015), PTUN baru berwenang mengadili permohonan ini apabila telah ada keputusan APIP. Proses ini sendiri harus dilakukan sebelum proses pidana, sesuai Pasal 2 Ayat (1) PERMA 4/2015. Dengan demikian, menurut penulis, proses pidana dnegan cara 1 baru dapat berjalan ketika sudah ada putusan tata usaha Negara mengenai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang.

Proses di PTUN ini memakan waktu yang tidak sedikit. Menurut Pasal 21 Ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan, PTUN wajib menjatuhkan putusan atas permohonan ini dalam waktu 21 hari kerja sejak permohonan. Kemudian, berdasarkan Pasal 21 Ayat (4) ada hak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), dimana menurut Pasal 21 Ayat (5), PT TUN wajib menjatuhkan putusan banding dalam waktu 21 hari kerja. Dengan aturan-aturan ini, setidaknya proses pidana baru dapat dilakukan 42 hari kerja setelah adanya keputusan APIP. Namun, masalah lamanya waktu ini dapat bertambah karena UU Administrasi Pemerintahan tidak memberi syarat berapa lama jangka waktu pengajuan permohonan ke PTUN dapat dilakukan setelah adanya keputusan APIP. Begitu juga dengan jangan waktu pengajuan banding ke PT TUN dari adanya putusan banding. Dengan ketiadaan aturan ini, maka proses secara administrasi sendiri sangat berpotensi memakan waktu yang lama dan bertele-tele, sehingga proses secara pidana dapat terabaikan.

Untuk mengatasi hal tersebut, harus ada aturan yang jelas dan proporsional mengenai jangka waktu pengajuan permohonan ke PTUN dan banding ke PT TUN, sehingga proses administrasi ini tidak menghambat proses pidana dalam hal keputusan APIP menyatakan bahwa terdapat penyalahgunaan wewenang. Dan kalaupun sudah ada aturan yang jelas mengenai hal ini, pada dasarnya akan memakan waktu yang lama karena setidaknya butuh waktu 42 hari kerja untuk memulai proses pidana. Namun, cara ini lebih memberikan kepastian hukum bagi pejabat yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian Negara dan juga dapat mengurangi waktu proses pidana karena telah terbantu dengan adanya keputusan secara administrasi tersebut.

Atas pertimbangan-pertimbangan di atas, maka penulis berpendapat, cara 1 adalah cara yang lebih baik untuk dipilih untuk menindak adanya penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian Negara.

 

Pemeriksaan dilakukan masing-masing lembaga secara bersamaan.

Dengan cara ini, APIP, PTUN, dan PT TUN akan melakukan penindakan secara administratif untuk menentukan apakah seorang pejabat pemerintahan telah melakukan penyalahgunaan wewenang yang mneyebabkan kerugian Negara dan dalam waktu yang bersamaan proses pemeriksaan pidana dilakukan untuk menentukan apakah pejabat tersebut melakukan tindak pidana korupsi. Konsekuensi logisnya, hasil pemeriksaan administratif dan pidana tidak akan saling mempengaruhi satu sama lain. Akibat dari cara ini adalah pejabat tersebut dapat saja dijatuhi 2 hukuman dalam waktu yang sama atas perbuatannya.

Perlu dipahami bahwa proses ini memang tidak dapat disebut nebis in idem, karena inti pemeriksaan dari 2 proses ini berbeda, dimana secara administratif, yang dibuktikan adalah apakah ada nilai-nilai dalam administrasi yang dilanggar, sedangkan secara pidana yang dibuktikan adalah apakah ada kesalahan dalam diri pejabat tersebut. Namun, pejabat tersebut dapat dijatuhi hukuman yang sama, yaitu pengembalian kerugian Negara, sehingga pejabat tersebut harus membayar kerugian Negara 2 kali, yaitu 1 atas keputusan administratif, 1 atas putusan pidana korupsi. Hal ini jelas tidak adil bagi pejabat tersebut karena harus memberikan uang kepada Negara sebagai hukum lebih besar daripada kerugian Negara yang ia timbulkan.

Hal yang juga dapat terjadi kepada Pejabat tersebut adalah ia akan menerima putusan yang berbeda, terutama dalam penilaian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang yang dilakukannya. Bisa saja pejabat tersebut menerima putusan dimana secara administratif ia tidak terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang, namun secara pidana ia terbukti melakukan hal tersebut, atau sebaliknya. Hal ini jelas akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum mengenai apakah sebenarnya ada penyalahgunaan wewenang yang ia lakukan.

Kemudian, dalam situasi dimana pejabat tersebut menerima putusan yang secara administratif ia tidak terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang, namun secara pidana ia terbukti melakukan hal tersebut, pertanyaannya, apakah pejabat tersebut pada dasarnya masih dapat dipidana dengan korupsi, mengingat tidak terbukti adanya penyalahgunaan wewenang berdasarkan penilaian yang lebih dekat dengan hal tersebut, yaitu secara administratif? Menurut penulis, pada dasarnya, pejabat tersebut dapat dipidana dengan pasal korupsi, namun hanya Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor, karena unsur yang ada di dalam pasal ini adalah “secara melawan hukum”, yang lebih luas yang ada di Pasal 3 UU Tipikor yang dengan jelas unsurnya disebutkan sebagai “menyalahgunakan kewenangan”. Jadi, dasar penjatuhan putusan terhadap pejabat tersebut adalah adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum selain penyalahgunaan wewenang yang dilakukan sehingga merugikan keuangan Negara. Dengan konstruksi ini, maka putusan secara administratif dan pidana tidaklah bertentangan satu sama lain.

Namun, fakta tidak berbicara demikian. Bagaimana apabila dalam konstruksi di atas terbukti ada perbuatan yang bersifat melawan hukum selain penyalahgunaan wewenang, namun kerugian Negara yang ditimbulkan bernilai Rp. 100.000.000,- atau lebih rendah? Yang akan terjadi adalah pejabat tersebut harus dipidana dengan pidana berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor. Hal ini disebabkan adanya ketentuan di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 7/2012), dimana pada bagian “Tindak Pidana Khusus” nomor 1 huruf b disebutkan bahwa apabila kerugian Negara yang ditimbulkan Rp. 100.000.000,- atau di bawahnya, maka dasar putusan akan menggunakan Pasal 3 UU Tipikor. Hal ini jelas membingungkan Hakim nantinya karena perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut harus dianggap memenuhi Pasal 3, dimana unsurnya adalah menyalahgunakan kewenangan, padahal penyalahgunaan tersebut tidak terbukti secara administratif.

Berdasarkan hal-hal tersbeut di atas, penulis berpendapat bahwa cara ini tidak layah dipilih sebagai proses untuk menindak penyelahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara. Cara 1 masih merupakan cara terbaik untuk menindak perbuatan tersebut.

 

Pemeriksaan dilakukan secara bersama-sama antara lembaga pemeriksa admnistratif dan penindak secara pidana korupsi

Cara ini dilakukan dimana APIP yang merupakan penindak administratif melakukan pemeriksaan bersama dengan penyelidik dan/atau penyidik korupsi yang merupakan penindak pidana untuk memutuskan secara bersama apakah terdapat penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara. Kalau dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya niat jahat untuk memperkaya diri, maka proses selanjutnya diserahkan kepada penyidik tindak pidana korupsi. Tentu saja proses ini tetap harus berjalan setelah putusan yang menegaskan terdapat penyalahgunaan wewenang dalam pebruatan tersebut, ketika memang ada pemohonan dari pejabat tersebut ke PTUN dan PT TUN. Kalau tidak ada, maka akan langsung diproses secara pidana. Kalau tidak ditemukan adanya niat jahat tersebut, maka selanjutnya pejabat tersebut akan diproses secara administratif. Dengan cara ini, maka perbedaan pandangan mengenai proses apa yang harus dilakukan akan terhindari.

Pada dasarnya, cara ini sama dengan cara 1, dimana pada intinya penentuan ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam perbuatan tersebut dilakukan atas penilaian administratif. Kemudian, setelah ditemukan penyalahgunaan wewenang tersebut, maka untuk menentukan proses apa yang akan dilakukan selanjutnya, haruslah dicari ada tidaknya niat jahat untuk memperkaya dalam perbuatan tersebut. Kalau ditemukan, maka proses selnajutnya adalah pidana, jika tidak ditemukan, maka akan diproses secara administratif.

Satu-satunya yang membedakan cara 4 ini dari cara 1 hanyalah penyelidik tindak pidana korupsi terlibat sejak awal dalam pemeriksaan dan tidak hanya menunggu hasil pemeriksaan administratif seperti cara 1. Penyelidik tersebut juga bisa memberikan pandangan mengenai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang, sehingga keputusan ada tidaknya penyalahgunaan wewenang juga atas penilaian mereka. Apabila ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang dari proses ini, maka hal ini berguna untuk menambah keyakinan penyelidik mengenai adanya penyalahgunaan wewenang tersebut untuk kemudian mencari ada tidaknya niat jahat untuk memperkaya, sehingga perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Begitu juga apabila tidak ditemukan penyalahgunaan wewenang, maka akan mendatangkan keyakinan bagi Penyelidik untuk tidak memproses perbuatan tersebut secara pidana. Cara ini yang mungkin tidak terlalu diakomodir oleh cara 1, dimana sangat mungkin timbul perbedaan pendapat antara APIP dan penyelidik tindak pidana korupsi mengenai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang tersebut, khususnya apabila APIP berpendapat tidak ada penyalahgunaan wewenang, sehingga tidak harus diteruskan kepada penyelidik tindak pidana korupsi, namun penyelidik menganggap ada dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut. Ketika hal ini yang terjadi, maka tidak mungkin perbuatan tersebut tetap diproses secara pidana dan menimbulkan kebingungan mengenai apakah sebenarnya terdapat penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat tersebut.

Namun, bukan berarti cara 4 ini tidak bisa menimbulkan perbedaan pandangan mengenai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang tersebut. Dalam proses cara 4 pun, dalam mencapai kesepakatan bersama, bisa saja terjadi perbedaan pendapat antara APIP dan penyelidik tindak pidana korupsi, seperti perbedaan di atas, yang berujung pada tidak bulatnya keputusan mengenai ada tidaknya penyelahgunaan wewenang tersebut. Akhirnya, tidak menutup kemungkinan perbuatan tersebut tetap diproses pidana, walaupun sudah ada proses pemeriksaan bersama. Dengan masih terbukanya peluang ini, maka dapat dikatakan cara 4 adalah cara yang lebih buruk dari cara 1 karena walaupun telah melakukan usaha lebih guna menghindari perbedaan pendapat ini berupa pemeriksaan bersama, namun faktanya peluang terjadinya perbedanan pendapat tersebut masih ada. Selain itu, perbedaan pandangan ini akan membawa proses pemeriksaan lebih lama karena harus menyatukan pandangan guna mencapai keputusan bersama. Hal ini tentu merugikan pejabat itu sendiri karena akan lebih lama menerima kepastian hukum, apakah ia melakukan penyalahgunaan wewenang atau tidak. Belum lagi, harus ada pihak ketiga disiapkan untuk menjadi penengah ketika perbedaan pendapat tersebut terjadi. Terlibatnya pihak lain ini menunjukkan bahwa cara 4 akan melibatkan lebih banyak pihak dari cara 1, padahal adanya pihak lain ini juga belum tentu menyelesaikan masalah tersebut.

Atas pertimbangan ini, maka penulis berpendapat bahwa cara 1 adalah cara terbaik dalam menindak ada tidaknya penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian, dimana akan dilakukan pemeriksaan secara administratif terlebih dahulu, lalu apabila terbukti, maka akan diserahkan kepada penyelidik tindak pidana korupsi untuk melihat ada tidaknya niat jahat untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dalam melakukan penyalahgunaan wewenang tersebut. Ketika niat jahat tersebut ditemukan, maka proses selanjutnya adalah proses pidana, sedangkan apabila niat jahat tersebut tidak ditemukan, maka penyelidik akan mengembalikan kasus tersebut kepada pemeriksa administratif, yaitu APIP, untuk kemudian diputus dan ditindak secara administratif. Dengan proses ini pula, apabila proses pidana dilanjutkan karena ditemukan niat jahat dalam penyalahgunaan wewenang tersebut, maka pembuktian atas adanya penyalahgunaan wewenang akan lebih kuat, karena sudah dinilai berdasarkan administratif, yaitu penilaian yang lebih tepat untuk menentukan hal tersebut bagi seorang pejabat pemerintahan.

Walaupun penulis menilai cara 1 adalah cara yang paling efektif, namun seperti yang penulis sebutkan di atas, cara ini masih menyisakan masalah yang harus diselesaikan, yaitu bagaimana apabila terjadi perbedaan pendapat antara APIP dan penyelidik tindak pidana korupsi mengenai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang pejabat. Pertanyaannya, apabila APIP menyatakan bahwa tidak ada penyalahgunaan wewenang, sedangkan proses pidana menyatakan ada penyalahgunaan wewenang, apakah proses pidana masih dapat berjalan atau tidak? Lalu, bagaimana apabila Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memutus bahwa terdapat penyalahgunaan wewenang, apakah pejabat tersebut harus ditindak kembali secara administratif karena ditemukan ada penyalahgunaan wewenang berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor tersebut? Kalau iya, apakah pejabat tersebut masih akan dikenai hukuman pengembalian kerugian Negara secara administratif, sesuai Pasal 20 Ayat (4) dan (6) UU Administrasi Pemerintahan?

Menurut penulis, tidak masalah apabila pejabat tersebut ditindak secara administratif kembali dengan dasar adanya penyalahgunaan wewenang menurut putusan Pengadilan Tipikor tersebut. Namun, pejabat tersebut tidak boleh dihukum mengembalikan kerugian Negara secara administratif, karena ia telah mendapatkan hukuman serupa dalam putusan pidananya. Apabila ia harus dihukum mengembalikan kerugian Negara secara administratif lagi, maka hal ini jelas tidak adil bagi pejabat tersebut, karena berarti ia harus membayar kerugian Negara 2 kali, sekali dalam hukuman administratif, sekali dalam hukuman pidana, terlepas jumlahnya sama atau tidak. Untuk mengakomodir hal ini, maka diperlukan aturan yang tegas dan jelas yang menyatakan bahwa pejabat yang telah dipidana atas penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara dengan tindak pidana korupsi dan telah dihukum membayar kerugian Negara, masih dapat diproses secara administratif untuk perbuatan tersebut, namun tidak boleh diberikan hukuman administratif berupa pengambalian kerugian Negara.

Pada dasarnya, memang aturan mengenai penindakan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian di dalam UU Administrasi Pemerintahan ini terkesan tumpang tindih dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Wajar saja apabila kemudian beberapa pihak menganggap aturan di dalam UU Administrasi Pemerintahan ini lebih baik dihapuskan daripada menimbulkan kebingungan mengenai penerapannya. Penulis sendiri berpendapat bisa saja aturan ini dihapus, sehingga penindakan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara hanya diproses secara pidana, namun harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, penindakan secara pidana korupsi harus hanya berdasarkan adanya niat jahat untuk memperkaya, sehingga apabila tidak ditemukan niat jahat tersebut, maka pejabat tersebut tidak dapat dipidana dengan korupsi. Ketiadaan mekanisme lain untuk menindak perbuatan tersebut, karena aturan dalam UU Administrasi Pemerintahan telah dihapuskan, tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menjatuhkan pidana korupsi walaupun tidak ditemukan niat jahat dalam penyalahgunaan wewenang tersebut. Dengan kata lain, pejabat tersebut dapat dipidana dengan tindak pidana korupsi hanya dengan dasar harus terbukti memiliki niat jahat untuk memperkaya dalam melakukan pebruatan tersebut, tidak dengan dasar apapun lainnya.

Kedua, harus ada mekanisme pengganti yang bertujuan sama dengan aturan tersebut, yaitu mengembalikan kerugian Negara akibat penyalahgunaan wewenang, khususnya apabila tidak ditemukan adanya niat jahat untuk memperkaya, sehingga tidak dapat dihukum secara pidana korupsi. Padahal ada kerugian Negara yang harus dikembalikan dan kita tidak bisa melepaskan tanggung jawab pengembalian kerugian Negara ini dari pejabat tersebut, karena kerugian tersebut terjadi akibat penyalahgunaan wewenang yang dilakukannya, sehingga pejabat tersebutlah yang harus bertanggung jawab mengembalikan kerugian Negara tersebut. Dengan dihapusnya aturan dalam UU Administrasi Pemerintahan ini, maka tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban pejabat tersebut untuk mengembalikan kerugian Negara. Untuk itu perlu ada mekanisme baru untuk meminta pertanggungjawaban tersebut, agar kerugian Negara yang sudah terjadi dapat dikembalikan.

Menurut penulis, salah satu meknaisme yang dapat ditempuh adalah mewajibkan pejabat tersebut menghubungi Jaksa Pengacara Negara untuk menggugat secara perdata pihak yang diuntungkan, seperti yang telah dilakukan oleh Hotasi Nababan dalam perkaranya. Hal ini pun hanya dapat dilakukan apabila ternyata ada pihak lain yang diuntungkan dan ada perbuatan melawan hukum dari pihak tersebut dalam memperoleh keuntungan tersebut. Apabila yang diuntungkan adalah diri pejabat tersebut sendiri atau pihak lain namun tidak ada perbuatan melawan hukum dari pihak lain tersebut dalam memperoleh keuntungan, maka harus dipikirkan bagaimana mekanisme yang dapat ditempuh untuk meminta pertanggungjawaban pejabat tersebut untuk mengembalikan kerugian Negara yang diakibatkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukannya.

Terlepas dari semua masalah dan dampak yang ditimbulkan dari putusan MK ini, putusan MK tetaplah sebuah produk hukum yang harus dihormati dan dijalankan. Kita tidak bisa menggunakan argumen bahwa karena putusan MK ini bermasalah maka tidak harus dijalankan. Menurut penulis, apabila kita tidak menjalankan putusan MK ini, maka akan menjadi justifikasi untuk tidak menjalankan putusan MK lainnya, padahal putusan MK tersebut sudah sesuai dengan kaidah hukum yang seharusnya dan patut dijalankan. Lalu, bagaimana agar putusan MK ini dapat dijalankan dengan baik dalam praktiknya?

Menurut penulis, satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah legislator harus melegislasikan putusan MK ini menjadi undang-undang, sesuai dengan Pasal 10 Ayat (1) huruf d dan Ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Legislasi ini nantinya tidak hanya berisi tentang apa yang diputus MK, seperti yang disebut dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) huruf d UU 12/2011, namun juga hal-hal di atas, agar pelaksanaan putusan MK ini maksimal dan tidak menimbulkan masalah dalam praktiknya. Dan seperti yang pernah penulis bahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa legislasi putusan MK dapat menyelesaikan masalah ketidaktahuan atas putusan MK (disini), masalah ketidakpatuhan atas putusan MK (disini), dan masalah ketidakjelasan norma akibat putusan MK (disini). Maka dengan adanya legislasi ini, maka putusan MK ini beserta aturan-aturan di atas menjadi dasar hukum yang lebih dapat diketahui, lebih valid, dan lebih memberikan kejelasan dalam menindak penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara.

Selain itu, dari putusan ini, penulis mendapatkan satu kelebihan lagi dari adanya legislasi putusan MK, yaitu legislator dapat memperbaiki putusan MK yang bermasalah, seperti putusan ini sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya. Dengan adanya legislasi ini, maka aturan-aturan yang tadinya diubah oleh MK dan pengubahan tersebut bermasalah sehingga menimbulkan masalah-masalah baru, seperti yang telah penulis jelaskan di atas, dapat diperbaiki dengan aturan-aturan yang benar dan jelas, sehingga tidak ada kesalahan dalam pelaksanaan aturan-aturan tersebut nantinya. Hal ini semakin memperkuat pandangan penulis bahwa legislasi putusan MK, termasuk putusan ini, adalah jalan yang harus dilakukan agar putusan-putusan MK dapat dijalankan dengan baik.

Mahkamah Konstitusi memang merupakan salah satu wakil Tuhan di dunia ini, namun, tidak membuat MK menjadi lembaga yang tidak luput dari kesalahan. Para Hakim MK tetaplah manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan, termasuk dalam menjatuhkan putusan. Dan legislasi putusan MK hadir sebagai jalan penyempurna kesalahan itu, disamping jalan terang untuk masalah ketidaktahuan, ketidakpatuhan, dan ketidakjelasan atas putusan MK yang sudah dijatuhkan. Legislasi putusan MK adalah sebuah keharusan untuk dilakukan, sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi, agar putusan MK dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak menimbulkan masalah dalam pengimplementaisannya atau bahkan membuat masyarakat mengalami kerugian. Memang, sudah 6 tahun berlalu, jalan ini seperti jalan yang dicipta bukan untuk dikaryakan, tapi untuk diabaikan dan selalu dilupakan. Untuk itu, sekarang saatnya kita wujudkan dan laksanakan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.