PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRA PERADILAN, SEBUAH PROGRESIVITAS HUKUM YANG DIBUTUHKAN

Akhir-akhir ini, kita tentu sangat familiar dengan peristiwa penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian, dimana KPK menetapkan Calon Kapolri, Budi Gunawan (BG), sebagai tersangka, yang kemudian “dibalas” oleh Polri dengan menetapkan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjajanto (BW) sebagai tersangka pula. Peristiwa ini sontak membuat geger masyarakat se-Indonesia dan mulai memunculkan aksi-aksi penggalangan dukungan, baik “save KPK”, “save Polri”, maupun “save Indonesia”. Dugaan adanya politisasi dan kriminalisasi dalam peristiwa ini pun menyeruak menjadi perbincangan hangat se-antero negeri, disamping banyaknya isu-isu politis lainnya, yang sebenarnya sangat sayang untuk dilewatkan, seperti sinetron seri Tersanjung dan Cinta Fitri di televisi Indonesia.

Tapi, kejadian ini mengundang keprihatinan yang mendalam dari penulis. Mengapa? Karena kita semua hanya terjebak dalam pembahasan politik dan konspirasi, yang bahkan kalau kita mau kaitkan dengan adanya intervensi dari Amerika, Yahudi, Israel, Iluminati, bahkan alien atau alam gaib sekalipun, kita pasti akan dapatkan hubungannya. Padahal, sebenarnya ada permasalahan hukum yang mendasar dalam peristiwa ini, yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama, yaitu masalah penetapan tersangka oleh KPK dan Polri terhadap BG dan BW, yang disinyalir terdapat kesalahan apabila dilihat dari kaca mata hukum acara pidana. Dan dengan alasan itu pula, BG saat ini mengajukan pra peradilan atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Continue reading “PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRA PERADILAN, SEBUAH PROGRESIVITAS HUKUM YANG DIBUTUHKAN”

SEMA 7/2014 : SEBUAH PEMBENARAN YANG BENAR-BENAR KURANG BENAR

Mahkamah Agung, pada tanggal 31 Desember 2014, mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, dimana SEMA ini, dalam poin nomor 3, mempertegas kembali aturan mengenai pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana yang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. Menurut poin nomor 4, PK dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali hanya dengan alasan apabila terhadap suatu objek yang sama, terdapat 2 (dua) putusan PK yang bertentangan, sesuai dengan SEMA RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali.

Terbitnya SEMA ini mengundang reaksi dari beberapa pihak. Ketua Badan Pengurus Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahyu, dalam siaran persnya kepada hukumonline, Senin (5/1). “ICJR menduga bahwa SEMA No.7 Tahun 2014 lahir karena intervensi Pemerintah melalui Menkopulhukam dan Jaksa Agung ke Mahkamah Agung terkait dengan pembatasan Peninjauan Kembali dalam KUHAP,” ujarnya[1]. Menurutnya, intervensi pemerintah sebagai upaya pengalihan tanggung jawab eksekusi mati kepada MA[2]. Continue reading “SEMA 7/2014 : SEBUAH PEMBENARAN YANG BENAR-BENAR KURANG BENAR”

KEJAHATAN POLLYCARPUS : SUATU PANDANGAN DARI TEORI HUKUM

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), melalui SK Menteri Hukum dan HAM RI No: W11.PK.01.05.06-0028 tahun 2014, tertanggal 13 November 2014, telah resmi memberikan pembebasan bersyarat (PB) bagi terpidana dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Prijanto. Keputusan pemberian PB ini menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai kalangan. Reaksi yang menjadi perhatian bagi penulis adalah penolakan terhadap pemberian PB atas Pollycarpus dengan melandaskan kepada sifat kejahatan yang dilakukan Pollycarpus terhadap Munir, dimana ada pihak yang menyatakan bahwa perbuatan Pollycarpus merupakan tindakan kejahatan atas kemanusiaan, ada yang menyatakan bahwa perbuatan Pollycarpus adalah termasuk dalam kejahatan serius atau kejahatan berat HAM, dan ada juga yang berpendapat bahwa perbuatan Pollycarpus adalah kejahatan biasa, atau tindak pidana umum.

Atas reaksi-reaksi tersebut, perlu kiranya kita jabarkan bersama, sebenarnya, secara kodrati, dalam hukum, termasuk kategori manakah perbuatan Pollycarpus terhadap Munir? Kejahatan atas kemanusiaan kah? Kejahatan serius kah?kejahatan berat HAM kah? Atau kejahatan biasa atau tindak pidana umum? Dalam tulisan ini, penulis sengaja tidak mencantumkan siapa yang memiliki pendapat-pendapat di atas, karena penulis hanya ingin memfokuskan pembahasan pada pendapat-pendapat di atas, bukan kepada siapa yang mengeluarkan pendapat, karena sepanjang penulis melihat di Indonesia, kebiasaan yang terjadi di masyarakat adalah ketika suatu pihak mengeluarkan suatu pendapat, dan mereka menyalahkan atau membenarkan pendapat tersebut, yang terjadi adalah menganggap semua pendapat yang dikeluarkan oleh pihak tersebut selalu salah atau benar. Padahal, tidak semua pendapat pihak-pihak tersebut adalah benar dan salah, termasuk pihak-pihak di atas. Continue reading “KEJAHATAN POLLYCARPUS : SUATU PANDANGAN DARI TEORI HUKUM”

PEMBEBASAN BERSYARAT YANG “TER”ISTIMEWA (SEBUAH KETIDAKSENGAJAAN)

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), melalui SK Menteri Hukum dan HAM RI No: W11.PK.01.05.06-0028 tahun 2014, tertanggal 13 November 2014, telah resmi memberikan pembebasan bersyarat (PB) bagi terpidana dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Prijanto[1]. Keputusan pemberian PB ini menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai kalangan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), LSM yang dibidani alm Munir, mengecam keras pemberian pembebasan bersayarat tersebut. “KontraS mengecam keras pemberian pembebasan bersyarat terhadap Pollycarpus pelaku aktivis HAM Munir. Kami menilai pembebasan bersyarat tersebut merupakan sinyal bahaya terhadap penuntasan kasus pembunuhan Munir,” kata Kepala Divisi Pembelaan Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia, di Kantornya jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Minggu (30/11/2014)[2].

Reaksi serupa ditunjukkan oleh Sekretaris Ekskutif Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum), Choirul Anam, yang menegaskan, pembebasan bersyarat bagi Pollycarpus tidak hanya mencederai keadilan bagi korban dan sahabat Munir, namun juga merusak rasa keadilan publik dan demokratisasi di indonesia. Bebas bersyarat ini, lanjut Anam lagi, menjadi pertanda buruk bagi pemerintahan Jokowi dan awal dari kegagalan berkomitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Karena itu, Choirul Anam meminta Presiden Jokowi untuk segera membatalkan pembebasan bersyarat untuk Pollycarpus[3]. Continue reading “PEMBEBASAN BERSYARAT YANG “TER”ISTIMEWA (SEBUAH KETIDAKSENGAJAAN)”

MENYOAL ATURAN HOTEL PRODEO (PROTES ATURAN MELAYANG, LARANGAN JENGUK PUN DATANG)

            Dalam 1 minggu terakhir, kita tentu mendengar berita bahwa Anas Urbaningrum dan Akil Mochtar, mendapat larangan dijenguk oleh keluarga selama 1 bulan. Selain itu, terdakwa dan tersangka korupsi lainnya, yaitu Gulat Medali Emas Manurung, Kwee Cahyadi Kumala, Teddy Renyut, dan Mamak Jamaksari, mendapat larangan yang sama selama 2 minggu. Larangan tersebut muncul akibat dari surat protes yang disampaikan mereka terhadap beberapa aturan Rutan KPK, yang mereka anggap sebagai aturan-aturan yang membatasi hak-hak mereka sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Rutan KPK. Menurut KPK, surat protes tersebut mengandung unsur penghinaan dan dianggap menghalangi petugas dalam menjalankan tugas, dimana hal tersebut, menurut KPK berdasarkan Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan), masuk dalam kategori pelanggaran berat, sehingga Kepala Rutan KPK menjatuhkan sanksi berupa larangan dijenguk oleh keluarga tersebut. Larangan tersebut pun mengundang tentangan, terutama dari pihak kuasa hukum Anas Urbaningrum dan Akil Mochtar, yang menyatakan bahwa hukuman tersebut membatasi hak Anas dan Akil untuk menyampaikan protes dan terlalu berat untuk ukuran Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

            Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 telah menggariskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, sehingga, setiap perbuatan, kebijakan, dan/atau aturan di Indonesia, haruslah dilaksanakan berdasarkan pada aturan dan ketentuan hukum yang berlaku. Untuk itu, menarik untuk kita lihat apakah larangan dijenguk keluarga oleh Kepala Rutan KPK terhadap 6 orang di atas telah sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Continue reading “MENYOAL ATURAN HOTEL PRODEO (PROTES ATURAN MELAYANG, LARANGAN JENGUK PUN DATANG)”

DARI GEDUNG KURA-KURA KE GEDUNG BUNDAR

           Misteri tentang siapa yang menjadi Jaksa Agung dalam masa pemerintahan Jokowi-JK akhirnya terjawab sudah. Kamis, 20 November 2014, Pukul 15.50 WIB, melalui Keputusan Presiden nomor 131 Tahun 2014, H.M. Prasetyo, politisi partai Nasional Demokrat (Nasdem), diangkat dan diambil sumpahnya oleh Presiden Joko Widodo sebagai Jaksa Agung RI 2014-2019 menggantikan Basrief Arief[1]. Dengan latar belakang politik tersebut, beberapa pihak secara tegas menolak penunjukkan Prasetyo menjadi Jaksa Agung, namun di sisi lain, ada pihak-pihak yang mendukung penunjukkan tersebut. Continue reading “DARI GEDUNG KURA-KURA KE GEDUNG BUNDAR”