Awal tahun 2016 ini, ada sebuah peristiwa yang berhasi menarik perhatian masyarakat Indonesia secara luas, yaitu meninggalnya I Wayan Mirna setelah meminum kopi Vietnam di gerai kopi Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata kopi yang diminum oleh Mirna mengandung racun sianida dan dipercaya racun tersebutlah yang menyebabkan Mirna meninggal. Pemeriksaan pun bergulir hingga akhirnya ditetapkanlah salah seorang teman Mirna, Jessica Kemala Wongso, yang pada saat itu adalah orang yang memesankan kopi yang diminum oleh Mirna, sebagai Tersangka.
Seiring berjalannya waktu, kemudian disinyalir bahwa Jessica memiliki gangguan kejiwaan. Hal ini membuat penyidik meminta bantuan ahli psikiatri untuk memeriksa kesehatan jiwa Jessica. Polemik pun bergulir mengenai bagaimana kelanjutan kasus ini dengan kondisi kesehatan jiwa Jessica. Ada pihak yang menyatakan apabila Jessica terbukti memiliki gangguan kejiwaan, maka ia tidak dapat dihukum (dipidana). Ada juga yang menyatakan masih bisa. Pemeriksaan kesehtaan jiwa Jessica sendiri sampai saat ini masih berlangsung.
Ada hal yang menarik untuk kita lihat bersama dari peristiwa ini, terutama mengenai bagaimana apabila Jessica memang terbukti memiliki gangguan kejiwaan? Apakah perkaranya dapat terus dilanjutkan, atau apakah akan berhenti karena tidak dapat dimintai pertangungjawaban pidana berdasarkan ketentuan Pasal 44 Ayat (1) KUHP? Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai bagaimana hubungan antara gangguan kejiwaan dan kemampuan bertanggung jawab secara pidana tersebut mulai dari definisi kemampuan bertanggung jawab secara pidana itu sendiri menurut para ahli pidana hingga sejarah pengaturannya. Continue reading “GANGGUAN KEJIWAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (SEBUAH PEMAHAMAN MENGENAI PASAL 44 AYAT (1) KUHP)”