Pada tanggal 1 Maret 2016 kemarin, bertempat di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Mahkamah Agung, yang diwakili oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H., menyampaikan Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2015, yang berisikan tentang capaian-capaian Mahkamah Agung dalam berbagai bidang, seperti manajemen perkara, produk-produk hukum, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak isi Laporan Tahunan tersebut, penulis sangat tertarik melihat ke bagian “landmark decision”, yang mana bagian ini berisi putusan-putusan yang menurut Mahkamah Agung adalah putusan-putusan yang penting, atau dalam sepahaman penulis ketika membaca putusan-putusan tersebut, adalah putusan-putusan yang memiliki kaidah-kaidah hukum yang penting dalam praktik peradilan. Ada 12 (dua belas) putusan yang dianggap landmark decision oleh MA pada tahun 2015 ini. Kalau pembaca ingin mengetahuinya, secara singkat, bisa dilihat disini. Kalau mau lebih lengkap lagi, silahkan tunggu versi lengkapnya, semoga Laporan Tahunan Tahun 2015 ini diunggah oleh MA dalam website nya seperti yang dilakukan dengan Laporan Tahunan MA 2014.
Dari 12 putusan tersebut, ada satu putusan yang sangat menarik perhatian penulis disini, yaitu Putusan Kasasi Nomor 285K/PID.SUS/2015 (disini) atas nama Terdakwa Mantan Gubernur Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah, S.E., dalam perkara suap kepada Mantan Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Ada 1 (satu) hal yang membuat penulis sangat tertarik dengan putusan tersebut, dimana Majelis Hakim Kasasi menyatakan bahwa putusan judex facti tidak mempertimbangkan benar-benar mengenai hal-hal relevan yang dilakukan Terdakwa dan kurang mempertimbangkan hal yang memberatkan bagi Terdakwa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, sehingga judex juris kemudian memperberat pemidanaan kepada Terdakwa, yaitu pidana penjara menjadi 7 tahun dari 4 tahun, pidana denda menjadi Rp. 200.000.000,- subsidair 6 bulan kurungan dari Rp. 200.000.000,- subsidair 5 bulan kurungan, dan menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Kasasi menyatakan bahwa:
“Berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah wewenang judex facti, akan tetapi secara kasuistis prinsip umum tersebut pernah disimpangi dalam putusan MA No. 47K/Pid/1979 tangal 7 Juni 1982. Kejahatan korupsi oleh Undang-Undang diancam dengan pidana maksimum seumur hidup sehingga dengan kedudukan terdakwa sebagai pemegang kekuasaan publik yang melakukan korupsi politik serta berupaya mempengaruhi putusan hakim Mahkamah Konstitusi dipandang perlu dijatuhi pidana yang setimpal dengan sifat berbahayanya kejahatan tersebut. Dengan demikian putusan yang dijatuhkan harus memadai ditinjau baik dari segi edukatif, preventif, korektif, maupun represif.”
Sebelumnya, perlu penulis jelaskan bahwa putusan Kasasi ini berawal dari Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 44/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST., yang menyatakan Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sebagaimana yang diatur dan diancam dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), dan dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratrus juta rupiah), yang apabila tidak dibayar, diganti dengan dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan. Atas putusan tersebut, Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Terdakwa sama-sama mengajukan banding ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta, dan dalam putusannya Nomor 72/PID/TPK/2014/PT.DKI., Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan untuk menguatkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, yaitu Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 44/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST. Lalu, Atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta ini, Penuntut Umum dan Terdakwa kembali sama-sama mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Terkait pemberatan pemidanaan oleh Majelis Hakim Kasasi di atas, dalam putusan tersebut, Pemohon Kasasi I, yaitu Penuntut Umum dari KPK mendalilkan bahwa Judex facti telah keliru dan salah menerapkan hukum karena dalam putusannya tidak mempertimbangkan ketentuan-ketentuan hukum dan tidak cukup mempertimbangan rasa keadilan masyarakat dalam menjatuhkan lamanya hukuman buat Terdakwa, sehingga pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa terlalu ringan. Penuntut Umum KPK mendalilkan bahwa dalam menjatuhkan putusan a quo, judex facti tidak berpedoman kepada beberapa ketentuan mengenai Tindak Pidana Korupsi, seperti Penjelasan Umum UU 31/1999 alinea kedua, Penjelasan Umum UU 20/2001 alinea kedua, dan Pembukaan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah disahkan oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2006, alinea kesatu dan ketiga, sehingga penjatuhan hukuman kepada Terdakwa bertentangan dengan maksud dan tujuan pembentukan UU PTPK dan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Selain itu, putusan judex facti yang terlalu ringan tersebut juga tidak sesuai dengan semangat dan jiwa yang terkandung dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 143 K/ Pid/1993 tanggal 27 April 1994 yang di dalamnya memuat kaidah hukum tentang Pemidanaan yang proporsional, karena pemidanaan yang tidak proporsional akan bertentangan dengan prinsip dan tujuan pemidanaan yaitu koreksi, edukasi, prevensi dan represi mengingat dampak yang amat luas, baik terhadap anggota masyarakat maupun si pelaku sendiri sebagai akibat dilakukannya perbuatan tersebut. Penuntut Umum KPK menambahkan bahwa walaupun pembentuk Undang-Undang, Doktrin dan Yurisprudensi tidak memberikan pegangan pada Hakim dalam menetapkan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa, sehingga Hakim mempunyai kebebasan dalam menetapkan atau menjatuhkan hukuman (pidana), maka sepatutnyalah Majelis Hakim menjatuhkan pidana tidak hanya untuk kepentingan pembinaan Terdakwa semata, melainkan seharusnya Majelis Hakim juga memperhatikan kepentingan Masyarakat dan Negara.
Atas alasan-alasan tersebut, dikarenakan perbuatan Terdakwa sesungguhnya merupakan tindak pidana yang sangat serius, dan oleh karenanya sejalan dengan semangat untuk melakukan pemberantasan Korupsi dengan “extra ordinary methode“, maka seharusnya pidana yang dijatuhkan tidak terlalu ringan.
Atas 2 (dua) dalil Penuntut Umum KPK/Pemohon Kasasi I tersebut, Majelis Hakim pada Mahkamah Agung (judex jurist) berpendapat, yang pada intinya, sebagai berikut:
- Putusan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 5 (lima) bulan kurungan penjara tidak memadai/tidak setimpal dengan perbuatan Terdakwa, baik dilihat dari segi edukatif, preventif, korektif, maupun represif, dan tidak memberikan efek jera;
- Perbuatan Terdakwa merusak tatanan, harkat, dan martabat bangsa dan Negara, karena telah menyuap seorang hakim Konstitusi yang adalah pengawal konstitusi, padahal Terdakwa juga, dalam jabatannya sebagai Gubernur, seharusnya adalah pengawal konstitusi;
- Judex facti tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan yang dilakukan Terdakwa, yaitu perbuatan Terdakwa aktif mempengaruhi Akil Mochtar untuk memenangkan perkara di Mahkamah Konstitusi, dimana Majelis Hakim menilai, tanpa turut serta Terdakwa, maka peristiwa penyuapan tersebut tidak akan terjadi;
- Judex facti kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiveerd) karena kurang mempertimbangkan hal yang memberatkan Terdakwa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP;
Perlu kita pahami bersama, bahwa pada dasarnya, menurut Pasal 253 KUHAP, seperti yang sudah disebutkan pula dalam putusan di atas, bahwa kewenangan judex juris adalah yang berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Menurut Pasal 30 ayat (1) UU 14/1985 jo. UU 5/2004 jo. UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Agung pada tahap kasasi adalah membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan yang tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, atau lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Dari aturan-aturan ini, kita dapat melihat dengan jelas, bahwa pada dasarnya menilai kurang pertimbangan hukum tentang berat ringan hukuman bukan merupakan objek pemeriksaan pada tahap kasasi, atau dengan kata lain, bukan kewenangan MA, sehingga seharusnya MA tidak bisa memeriksa pengajuan kasasi dengan alasan tersebut, termasuk dalam perkara ini. Faktanya, (setidaknya) dalam perkara Ratu Atut, MA “menerabas” aturan ini dengan menerima berat ringan hukuman sebagai objek pemeriksaan kasasi, kemudian memperberat pemidanaan terhadap Ratu Atut. Apabila kita membaca kembali kaidah hukum dalam putusan tersebut di atas, maka alasan yang digunakan oleh Majelis Hakim Kasasi dalam “menerabas” ketentuan tersebut, sehingga berat ringan hukuman dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi, adalah adanya kaidah yang memperbolehkan hal tersebut berdasarkan putusan MA Nomor 47K/KR/1979 tangal 7 Juni 1982. Mari kita telaah bersama putusan tersebut.
Putusan tersebut “lahir” karena adanya pengajuan kasasi oleh Penuntut Umum atas Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 15/1977 tanggal 7 April 1977, dimana putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin tersebut mengurangi pemidanaan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Samarinda terhadap Terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dari 7 ½ tahun menjadi 2 tahun 8 bulan, dimana pengurangan tersebut tidak disertai pertimbangan dan tidak memadai bila dilihat dari segi edukatif, preventif, korektif, maupun represif. Majelis Hakim Kasasi yang menyidangkan perkara tersebut, menerima alasan tersebut dan menyatakan bahwa pada dasarnya berat ringan hukuman adalah kewenangan Judex Facti. Namun, apabila terdapat pengurangan hukuman sedemikian rupa yang dilakukan tanpa alasan dan pertimbangan, maka dapat menjadi kewenangan Judex Juris.
Apabila kita cermati, kaidah hukum dalam putusan Kasasi Nomor 47K/Pid/1979 ini tidak hanya menggariskan ketentuan bahwa berat ringan hukuman dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi, atau dengan kata lain, menjadi kewenangan judex juris, namun disertai syarat dimana agar berat ringan hukuman dapat menjadi kewenangan judex juris, maka harus terdapat keadaan berupa pengurangan hukuman sedemikian rupa yang dilakukan tanpa alasan dan pertimbangan. Sekarang mari kita lihat kembali ke putusan Nomor 285K/PID.SUS/2015. Pertanyaannya adalah apakah ada kondisi dimana terdapat pengurangan hukuman yang sedemikian rupa yang dilakukan tanpa alasan dan pertimbangan dari Pengadilan Tinggi Jakarta, sehingga berat ringan hukuman dalam kasus ini dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi berdasarkan putusan Nomor 47K/Pid/1979?
Jawabannya Tidak. Seperti yang sudah penulis jabarkan di atas, bahwa dalam perkara Ratu Atut, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan menjatuhkan pemidanaan sama dengan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, bukan mengurangi hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta sedemikian rupa tanpa alasan dan pertimbangan. Dalam perkara ini, tampak terlihat jelas bahwa Majelis Hakim Kasasi hanya menggunakan sebagian kaidah Putusan No. 47K/Pid/1979 sebagian, yaitu terbatas pada kaidah “berat ringan hukuman dapat menjadi kewenangan judex juris” untuk kemudian menyatakan bahwa Majelis Hakim tersebut berwenang memeriksa berat ringan hukuman pada tahap kasasi tanpa mempertimbangkan kaidah lainnya, yaitu “adanya pengurangan hukuman yang sedemikian rupa tanpa alasan dan pertimbangan”. Berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya kaidah dalam putusan Nomor 47K/Pid/1979 tidak dapat dijadikan rujukan oleh Majelis Hakim Kasasi perkara Nomor 285K/PID.SUS/2015 karena memiliki kondisi perkara yang berbeda.
Melihat kepada hal-hal di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah sebenarnya judex juris, yang dalam hal ini adalah Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, memiliki kewenangan untuk menilai berat ringan hukuman (strafmaat)? Apakah judex juris memiliki kewenangan untuk mengubah (memperingan atau memperberat) pemidanaan terhadap Terdakwa? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita lihat bersama bagaimana para Majelis Hakim Kasasi menyikapi hal ini dalam putusan-putusannya. Dari beberapa putusan yang berhasil penulis kumpulkan, terlihat jelas bahwa sikap Majelis Hakim Kasasi dalam memandang strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi terbagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi dan menolak strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi. Putusan-putusan inilah yang nantinya akan penulis jabarkan lebih lanjut dalam tulisan ini. Perlu penulis jelaskan sebelumnya bahwa dalam menjabarkan putusan-putusan kasasi ini nantinya, penulis hanya akan langsung mengacu kepada kaidah hukum dalam putusan tersebut sebagai dasar penerimaan/penolakan strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi.
Putusan-putusan yang menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi.
Berdasarkan data yang sejauh ini penulis kumpulkan, putusan-putusan kasasi yang menerima strafmaat menjadi objek pemeriksaan kasasi dapat dibagi berdasarkan kaidah hukum/alasan penerimaan tersebut, antara lain:
- Terdapat Pengubahan (Pengurangan Atau Penambahan) Berat Ringan Pemidanaan Tanpa Alasan Dan Pertimbangan
Putusan kasasi pertama yang masuk kategori ini adalah Putusan Kasasi No. 47K/Pid/1979, dengan kaidah bahwa strafmaat pada dasarnya adalah kewenangan judex facti yang pemeriksaannya tidak tunduk pada kasasi, namun apabila terdapat pengurangan hukuman sedemikian rupa tanpa dan alasan pertimbangan, maka strafmaat dapat menjadi objek kasasi. Selanjutnya, Putusan Kasasi No. 1168K/Pid/2000 dimana Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa Mahkamah Agung berwenang memperbaiki dan mengubah tentang lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh Judex Facti (Pengadilan Tinggi) karena Mahkamah Agung menilai Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum, yaitu Pengadilan Tinggi memperbaiki dengan cara “memperberat pidana” putusan Pengadilan Negeri tanpa memberikan pertimbangan dan alasan-alasan konkrit yang menjadi dasar untuk memperberat hukuman.
Selanjutnya, kaidah ini dapat pula ditemukan pada Putusan Kasasi No. 903K/Pid.Sus/2011, dimana Majelis Hakim Kasasi menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah salah dalam menerapkan hukum, dimana dalam pertimbangan tingkat banding membenarkan seluruh pertimbangan Pengadilan Negeri, mempersalahkan Terdakwa melanggar pasal dakwaan, tetapi pidananya diringankan tanpa alasan yang tepat. Dalam perkara ini, MA menaikkan hukuman dari pidana penjara 9 bulan menjadi 1 tahun 6 bulan dan pidana denda dari Rp. 3.000.000 sub 3 bulan menjadi Rp. 5.000.000 sub 3 bulan, yang adalah vonis pada Pengadilan Negeri.
Putusan lain dengan kaidah ini adalah Putusan Kasasi No. 1488K/Pid/2012, dimana Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah salah dalam menerapkan hukum karena dalam mengurangi hukuman, tidak memberikan pertimbangan secara yuridis mengenai alasan-alasan pengurangan pemidanaan tersebut, sehingga pertimbangan seperti itu dipandang kurang cermat (onvoldoende gemotiveerd), sehingga dapat dikesampingkan. Selain itu, pidana penjara yang dijatuhkan kurang dari pidana minimum. Dalam perkara ini, MA menaikkan hukuman dari pidana penjara 2 tahun menjadi 5 tahun dan pidana denda dari Rp. 500 juta sub 1 bulan menjadi Rp. 500 juta sub 3 bulan, yang adalah vonis pada Pengadilan Negeri.
- Tidak/Kurang Mempertimbangkan Hal-Hal Yang Meringankan dan/atau Memberatkan
Putusan yang masuk kategori ini adalah Putusan Kasasi No. 24K/Pid/1984 dimana Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi telah tidak memuat tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum dalam putusannya dan tidak memberikan pertimbangan mengenai keadaan-keadaan yang meringankan dan memberatkan Terdakwa. Dalam perkara ini, selain menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi, MA juga menambah hukuman yang dijatuhkan judex facti dari 1 tahun 6 bulan menjadi 6 tahun.
Kemudian, pada tahun 2007, terdapat Putusan Kasasi No. 817K/Pid.Sus/2007, dimana Pemohon Kasasi mendalilkan bahwa Judex Facti dalam pertimbangan putusanya hanya mempertimbangkan hal-hal yang meringankan pada diri Terdakwa dan sama sekali tidak memperhatikan fakta-fakta yang memberatkan Terdakwa atau hal-hal yang memberatkan Terdakwa. Majelis Hakim Kasasi menerima dalil tersebut dan menjadikan strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi dengan berpendapat bahwa Judex Facti hanya mengedepankan hal-hal yang meringankan saja, tanpa memperhatikan hal-hal yang memberatkan, sehingga putusan Judex Facti harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili diri sendiri. Dalam perkara ini, Majelis Hakim Kasasi menaikkan pidana penjara yang dijatuhkan oleh judex facti kepada Terdakwa, dari 7 bulan penjara menjadi 2 tahun penjara.
- Pemidanaan Yang Dijatuhkan Tidak Proporsional Dan Bertentangan Dengan Prinsip Dan Tujuan Pemidanaan Yaitu Koreksi, Edukasi, Prepeventif Dan Represif, Kurang Mempertimbangkan Berat Ringannya Hukuman, Atau Tidak Sebanding dan Selaras Dengan Tindak Pidana Yang Dilakukan
Kaidah ini dapat ditemukan pada Putusan Kasasi No. 828K/Pid/1984 dimana Majelis Hakim Kasasi (judex juris) menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi dan menyatakan bahwa putusan Judex Facti harus dibatalkan sepanjang mengenai pidananya dengan alasan karena kurang cukup mempertimbangkan berat ringannya hukuman. Kemudian, dapat ditemukan pula pada Putusan Kasasi No. 143K/Pid/1993, dimana Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa pada prinsipnya, tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa adalah menjadi kewenangan sepenuhnya dari Judex Facti sehingga masalah berat ringannya pemidanaan ini berada di luar kewenangan pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung. Akan tetapi, meskipun demikian Majelis Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi dapat mengubah berat ringannya pemidanaan tersebut, bilamana pidana yang dijatuhkan oleh Judex Facti tersebut dinilai Mahkamah Agung sebagai pemidanaan yang tidak proporsional dan bertentangan dengan prinsip dan tujuan pemidanaan yaitu koreksi, edukasi, prepeventif dan represif mengingat dampak yang amat luas, baik terhadap anggota masyarakat maupun si pelaku sendiri sebagai akibat dilakukannya perbuatan tersebut.
Selanjutnya, pada tahun 2003, ada Putusan Kasasi No. 830K/Pid/2003 dimana Pemohon Kasasi (Jaksa Penuntut Umum) pada perkara ini merasa bahwa hukuman 4 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi adalah tidak selaras dan sebanding dengan tindak pidana pidana yang terbukti, yaitu korupsi, yang diancam maksimum pidana mati atau seumur hidup atau 20 tahun penjara. Atas permohonan tersebut, Majelis Hakim Kasasi berpendapat untuk menerima permohonan tersebut (menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi) dengan pertimbangan:
“Amar putusan Judex Facti dapat diubah mengenai kualifikasi kejahatan serta hukumannya apabila pidana yang dijatuhkan tidak selaras dan sebanding dengan perbuatan yang dilakukan. Seharusnya, Judex Facti memberikan hukuman bersifat edukatif dan preventif serta sepatutnya setimpal dengan perbuatan yang terbukti tersebut.”
Dalam perkara ini, Majelis Hakim Kasasi menaikkan hukuman dari pidana penjara selama 4 tahun menjadi 8 tahun.
Selanjutnya adalah Putusan Kasasi No. 285K/Pid.Sus/2015, yang sudah penulis jabarkan sebelumnya di atas, dimana Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa tidak memadai/tidak setimpal dengan perbuatannya baik dilihat dari segi edukatif, preventif, korektif maupun represif dan tidak memberikan efek jera (detterent effect). Selain itu, putusan judex facti dinilai kurang dalam pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd) kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP. Dalam perkara ini, MA menaikkan hukuman yang dijatuhkan oleh PN, yang dikuatkan oleh PT, yaitu pidana penjara selama 4 tahun menjadi 7 tahun, pidana denda dari 200 juta sub 5 menjadi 200 juta sub 6 bulan. Putusan ini juga menambahkan pemidanaan berupa pencabutan hak untuk dipilih jabatan publik.
Selain 3 kategori di atas, ada 1 putusan kasasi yang menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi dengan alasan bahwa putusan judex facti tidak setimpal dengan kerugian yang diderita oleh korban, yaitu Putusan Kasasi No. 1849K/Pid/2012. Dalam perkara ini, MA mengubah pemidanaan, yaitu pidana penjara 1 tahun 8 bulan yang dijatuhkan oleh PN dan dikuatkan PT menjadi pidana bersyarat dimana Terdakwa harus membayar kerugian yang diderita korban senilai Rp. 80 juta dalam waktu 3 bulan setelah putusan BHT, yang apabila tidak dibayar dalam 3 bulan, maka Terdakwa akan menjalani pidana penjara selama 1 tahun.
Selain putusan-putusan di atas, ada beberapa putusan yang pada masing-maisng perkara menyatakan menolak strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi. Namun, apabila diperhatikan lebih lanjut, pada dasarnya, Majelis Hakim Kasasi pada perkara-perkara tersebut menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi dengan syarat-syarat/kaidah-kaidah hukum tertentu, yang mana dalam perkara tersebut, syarat-syarat/kaidah-kaidah hukum tersebut tidak terpenuhi, sehingga strafmaat dalam perkara tersebut ditolak menjadi objek pemeriksaan kasasi. Beberapa putusan tersebut antara lain:
Putusan Kasasi No. 53K/Kr/1980
Putusan ini bermula dari pengajuan Pemohon Kasasi (Terdakwa) yang mendalilkan bahwa putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi, yaitu 2 Tahun, cukup berat mengingat usia pengaju kasasi (Pemohon Kasasi) sudah lanjut. Atas dalil ini, Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa mengenai ukuran hukuman adalah kewenangan Judex Facti yang tidak tunduk kepada Judex Juris, kecuali ternyata dalam putusan Pengadilan Tinggi tidak dilaksanakan peraturan hukum atau ada kesalahan dalam pelaksanaannya ataupun tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut menurut undang-undang.
Putusan Kasasi No. 535K/Pid/1982
Dalam perkara ini, Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa ukuran hukuman adalah memang kewenangan penuh Judex Facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali Judex Facti menjatuhkan hukuman yang tidak diatur undang-undang atau tidak/kurang memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap Terdakwa.
Putusan Kasasi No. 57K/Pid/1983
Putusan ini bermula dari pengajuan Pemohon Kasasi (Terdakwa) yang merasa putusan Pengadilan Tinggi yang menaikkan pidana denda dari yang dijatuhkan Pengadilan Negeri, yaitu dari Rp. 100.000 menjadi Rp. 300.000, adalah terlalu berat mengingat pemohon hanya pengusaha kecil. Atas hal ini, Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa besar kecilnya denda adalah wewenang Judex Facti yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi, kecuali jika denda yang dijatuhkan melampaui batas maksimum yang diatur undang-undang.
Putusan Kasasi No. 797K/Pid/1983
Putusan ini bermula dari pengajuan Pemohon Kasasi (Terdakwa) yang mendalilkan bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang memperbaiki pemidanaan Pengadilan Negeri, dari pidana penjara selama 8 bulan dikurangi masa penahanan, menjadi 8 bulan tanpa penahanan, adalah terlalu berat, karena pemohon masih memiliki 8 orang anak yang harus diasuh. Atas dalil ini, Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa berat ringannya hukuman adalah wewenang Judex Facti, termasuk besar kecilnya denda. Akan tetapi apabila pengadilan dalam menjatuhkan pidana kurang cukup mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan atau meringankan, atau pengadilan menjatuhkan pidana yang melampaui ancaman pidana maksimum atau menjatuhkan pidana yang tidak termasuk jenis-jenis pidana yang ditentukan Undang-Undang maka hal tersebut dapat dijadikan alasan kasasi.
Putusan Kasasi No. 1380K/Pid/2012
Putusan ini bermula dari pengajuan Pemohon Kasasi (Penuntut Umum) yang mendalilkan bahwa pemidanaan yang dijatuhkan kepada Terdakwa tidak setimpal dengan perbuatannya dan putusan Judex Facti tidak memuat alasan-alasan yang jelas dalam menjatuhkan pidana percobaan kepada Terdakwa. Atas dalil ini, Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa berat ringannya pidana yang dijatuhkan dalam perkara ini adalah wewenang Judex Facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila Judex Facti menjatuhkan suatu hukuman yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Putusan Kasasi No. 1624K/Pid/2012
Putusan ini bermula dari pengajuan Pemohon Kasasi (Penuntut Umum) yang mendalilkan bahwa putusan Pengadilan Negeri dirasa masih belum sesuai karena tidak akan membuat Terdakwa atau orang lain yang berniat untuk melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan Terdakwa menjadi jera, karena tindakan Terdakwa yang secara tanpa hak dan melawan hukum menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dengan hukuman 2 (dua) tahun penjara dan juga hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang diputuskan setengah dari tuntutan Jaksa/Penuntut Umum yaitu 4 (empat) tahun penjara, sehingga timbul pemikiran oleh masyarakat kalau pengguna Narkoba tidak akan dihukum berat yang dapat menimbulkan generasi muda akan lebih banyak mengkonsumsi Narkoba dan sudah barang tentu akan merusak generasi yang akan datang. Atas dalil ini, Majelis Hakim Kasasi menolak dalil tersebut dengan berpendapat bahwa berat ringannya pidana dalam perkara ini adalah wewenang Judex Facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila Judex Facti menjatuhkan suatu pidana telah melampaui batas maksimum ancaman pidananya atau kurang dari batas minimum ancaman pidananya, yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau menjatuhkan pidana dengan tidak memberikan pertimbangan yang cukup.
Putusan Kasasi No. 1253K/Pid/2013
Putusna ini bermula dari pengajuan Pemohon Kasasi (Penuntut Umum) yang mendalilkan bahwa dengan menjatuhkan hukuman percobaan kepada Terdakwa tentu tidak memberikan efek jera dan tidak mendidik bagi Terdakwa serta tidak memberi rasa keadilan khususnya pihak korban yang telah mengalami sakit akibat penganiayaan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan cara meninju kepala korban beberapa kali hingga korban mengalami benjol di kepala. Atas dalil ini, Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa berat ringannya pidana dalam perkara ini merupakan wewenang Judex Facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum ancaman pidananya atau kurang dari batas minimum ancaman pidananya, yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau menjatuhkan pidana dengan tidak memberikan pertimbangan yang cukup.
Putusan-putusan yang menolak strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi
Dari putusan-putusan yang telah penulis kumpulkan, hampir seluruh putusan kasasi menolak strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi menggunakan kaidah hukum yang sama, yaitu berat ringan hukuman (strafmaat) adalah kewenangan judex facti yang pemeriksaannya tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi. Kaidah ini dapat dilihat dalam beberapa putusan kasasi, yaitu Putusan Kasasi No. 857K/Pid/1982, No. 1432K/Pid/1999, No. 1071K/Pid/2006, No. 2579K/Pid/2007, No. 1517K/Pid/2008, No. 1464K/Pid/2012, No. 807K/Pid/2013, No. 582K/Pid/2014, dan No. 564K/Pid/2015.
Dalam beberapa putusan, kaidah hukum yang dipakai untuk menolak strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi adalah masalah berat ringan hukuman merupakan mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP.
Kaidah ini dapat ditemukan dalam Putusan Kasasi No. 106K/Pid/2012, dimana pada perkara tersebut, Pemohon Kasasi (Penuntut Umum) mendalilkan bahwa pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 9 (sembilan) hari yang dijatuhkan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) tidak memadai dilihat dari segi edukatif, preventif, korektif, maupun represif terhadap tindak pidana yang telah dilakukan oleh Terdakwa terlalu ringan. Putusan lain yang didalamnya terdapat kaidah hukum ini adalah Putusan Kasasi No. 1470K/Pid.Sus/2013, dimana Pemohon Kasasi (Penuntut Umum) mendalilkan bahwa Putusan Judex Facti harus dibatalkan karena putusan-putusan tersebut dikeluarkan dengan dilandasi penerapan hukum yang salah, putusan yang kurang mempertimbangkan (Onvoldoende Gemotiveerd), dan melanggar azas Audi et Alteram Partem.
Apabila kita cermati bersama kaidah-kaidah hukum dalam putusan kasasi di atas, maka kita akan dapat melihat bahwa pada dasarnya, hampir di seluruh putusan-putusan kasasi di atas menyebutkan bahwa berat ringan hukuman adalah kewenangan judex facti yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi, atau dalam bahasa yang lain dapat penulis sebutkan sebagai “berat ringan hukuman adalah kewenangan judex facti dan bukan merupakan kewenangan judex juris”. Tidak hanya dalam putusan-putusan kasasi yang menolak strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi, namun juga yang menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi. Menurut penulis, hal ini menunjukkan, pada dasarnya, para Hakim Agung yang menjadi Majelis Hakim Kasasi menyepakati bahwa mengenai berat ringan hukuman adalah kewenangan judex facti dan bukan kewenangan judex juris atau bukan merupakan objek pemeriksaan kasasi. Baru kemudian, beberapa Hakim Agung memberikan keadaan-keadaan tertentu yang menjadi syarat untnuk mengecualikan kaidah hukum tersebut. Pertanyaannya adalah apakah keadaan-keadaan tertentu tersebut memang dapat menjadi pengucualian, sehingga strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi? Pertanyaan yang lebih mendasar, yaitu apakah pada dasarnya strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi?
Menurut pendapat penulis, strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi, namun hanya terbatas dengan syarat bahwa alasan permohonan kasasi mengenai strafmaat yang diajukan wajib memenuhi syarat-syarat objek pemeriksaan kasasi menurut peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkenaan dengan tidak diterapkannya suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Pertanyaannya kemudian, alasan-alasan permohonan kasasi seperti apakah yang memenuhi syarat objek pemeriksaan kasasi, sehingga dapat membuat strafmaat menjadi objek pemeriksaan kasasi? Adakah dari keadaan-keadaan/kaidah-kaidah hukum dalam putusan-putusan kasasi di atas yang dapat dijadikan alasan tersebut?
Kalau kita melihat bersama pada putusan-putusan kasasi di atas, maka menurut penulis, keadaan-keadaan/kaidah-kaidah hukum yang dapat menjadi alasan untuk menerima strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi adalah:
- Adanya hukuman yang dijatuhkan kurang dari ancaman pidana minimum atau melebihi ancaman pidana maksimum;
- Adanya penjatuhan hukuman yang tidak diatur undang-undang;
- Putusan judex facti tidak mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan/atau meringankan;
- Terdapat pengubahan (pengurangan atau penambahan) berat ringan pemidanaan oleh Pengadilan Tinggi atas putusan Pengadilan Negeri tanpa alasan dan pertimbangan dalam putusan judex facti.
Menurut penulis, alasan-alasan ini telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sebagai syarat objek pemeriksaan kasasi, yaitu judex facti telah tidak menerapkan suatu peraturan hukum sebagaimana mestinya, atau dengan kata lain, telah melakukan kesalahan penerapan hukum, sehingga apabila diajukan sebagai dasar permohonan kasasi atas strafmaat, maka strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi. Untuk alasan nomor 1 dan 2, jelas alasan-alasan tersebut telah memenuhi syarat bahwa judex facti telah tidak menerapkan suatu peraturan hukum sebagaimana mestinya. Untuk alasan nomor 3, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 197 Ayat (1) huruf f KUHAP, sehingga dapat dipastikan telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukum oleh judex facti. Untuk alasan nomor 4, apabila hal tersebut terjadi, maka Majelis Hakim judex facti telah melanggar Pasal 50 Ayat (1) dan Pasal 53 Ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana pada intinya, Hakim dalam putusannya harus menyertakan alasan, dasar, dan pertimbangannya dalam menjatuhkan putusan tersebut, yang penulis artikan bahwa alasan, dasar, dan pertimbangan tersebut harus ada untuk setiap hal yang diputus dalam putusan tersebut, termasuk apabila judex facti mengubah pemidanaan tanpa disertai alasan, dasar, dan pertimbangan, sehingga putusan tersebut memenuhi syarat untuk dapat dikatakan telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukum oleh Majelis Hakim judex facti yang memutus perkara tersebut. Selain itu, alasan-alasan ini masih berada dalam konteks memeriksa penerapan hukum putusan judex facti, yang adalah fungsi dari kasasi sebagai judex juris yang sebenarnya.
Dari hasil diskusi penulis dengan peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, penulis meyakini ada 1 alasan lagi yang dapat digunakan agar strafmaat dapat dijadikan objek pemeriksaan kasasi, yaitu adanya penjatuhan pidana dalam suatu putusan yang memiliki perbedaan (disparitas) yang mencolok dengan putusan lainnya untuk keadaan perkara yang sama atau hampir sama. Misalnya, ada 1 perkara pencurian ayam di sebuah peternakan yang memiliki ayam ternak sebanyak 500 ekor yang dilakukan oleh 2 orang. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa terbukti melanggar Pasal 363 Ayat (1) angka 1 KUHP dan dijatuhi pidana 5 tahun penjara. Kemudian, ada perkara lain, yaitu pencurian ayam di sebuah peternakan yang memiliki ayam ternak sebanyak 450 ekor yang dilakukan oleh 3 orang. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim menytakan Terdakwa terbukti melanggar Pasal 363 Ayat (1) angka 1 KUHP dan dijatuhi pidana 1 tahun penjara. Dari contoh ini, kita bisa melihat bahwa terdapat peristiwa atau keadaan yang hampir sama namun putusan yang dijatuhkan memiliki amar yang mencolok.
Apabila perkara-perkara tersebut diajukan ke tahap kasasi, menurut pendapat penulis, maka Majelis Hakim kasasi harus menentukan pemidanaan mana yang lebih tepat agar putusan tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi hakim lain apabila mengadili perkara dengan peristiwa/keadaan yang serupa. Disini Mahkamah Agung berperan sebagai penjaga kesatuan hukum melalui fungsi kasasi sehingga disparitas pemidanaan yang terjadi dapat dihilangkan. Penghilangan disparitas pemidanaan disini sangatlah penting mengingat hal tersebut dapat berakibat kepada ketidakpastian hukum dimana apabila disparitas pemidanaan tersebut masih terjadi, maka terdapat potensi penjatuhan pemidanaan yang didasari kepentingan-kepentingan beberapa pihak, yang apabila terhadap pihak yang memiliki kepentingan yang “baik”, maka akan dijatuhi pemidanaan yang sangat ringan, sedangkan bagi pihak yang tidak memiliki kepentingan atau kepenitngan yang bertentengan dengan Majelis Hakim, maka akan dijatuhi pemidanaan yang sangat berat. Apabila disparitas pemidanaan ini dihilangkan, maka akan menghilangkan pula potensi penjatuhan pemidanaan berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu karena pemidanaan yang dijatuhkan tidak akan jauh berbeda, sehingga percuma untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan tertentu tersebut.
Lalu, bagaimana dengan keadaan-keadaan/kaidah-kaidah hukum lain dalam putusan-putusan kasasi di atas? Menurut penulis, kaidah-kaidah hukum lainnya tidak dapat dijadikan alasan agar strafmaat menjadi objek pemeriksaan kasasi. Perlu kita pahami bersama bahwa pada dasarnya strafmaat adalah hasil penilaian Majelis Hakim terhadap fakta-fakta dalam (pembuktian) persidangan dimana penilaian atas fakta persidangan tersebut adalah kewenangan judex facti, bukanlah kewenangan judex juris (lihat kaidah hukum dalam Putusan Kasasi No. 106K/Pid/2012 di atas). Apabila kita melihat bersama pada kaidah-kaidah hukum lainnya di atas, yaitu pemidanaan yang dijatuhkan tidak proporsional dan bertentangan dengan prinsip dan tujuan pemidanaan seperti koreksi, edukasi, preventif dan represif; kurang mempertimbangkan berat ringannya hukuman; kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan; tidak sebanding dan selaras dengan tindak pidana yang dilakukan; tidak setimpal dengan kerugian yang diderita oleh korban; atau alasan lainnya, menurut penulis, kaidah-kaidah tersebut sudah masuk ke dalam ranah penilaian fakta hasil pembuktian persidangan. Secara logis (setidaknya logika penulis), apabila judex juris menyatakan alasan-alasan tersebut di atas, maka judex juris telah menguji penilaian fakta pembuktian yang dilakukan oleh judex facti dengan cara ikut menguji ulang fakta persidangan pada tahap pembuktian, bukan dengan cara menilai penerapan hukum yang dilakukan judex facti untuk kemudian ditentukan apakah tepat atau tidak.
Selain itu, apabila kita perhatikan lebih lanjut putusan-putusan kasasi di atas, maka “pintu masuk” untuk menyatakan bahwa strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi adalah judex facti telah salah dalam menerapkan hukum atau tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Pertanyaannya adalah apakah kurang pertimbangan adalah kesalahan dalam penerapan hukum? Pertama, mari kita definisikan terlebih dahulu keadaan apa yang disebut dengan “kesalahan dalam penerapan hukum”. Berdasarkan tulisan Lilik Mulyadi yang berjudul “Pergeseran Perspektif Dan Praktik Dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan” disebutkan bahwa pengertian “salah menerapkan hukum” berarti judex facti telah keliru menerapkan suatu peraturan hukum seperti yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (verkeerde toepossing) atau telah menerapkan suatu peraturan hukum bertentangan atau berlawanan dengan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (schending der wet). Apakah putusan yang dinilai kurang mempertimbangkan berat ringan hukuman, perbuatan terdakwa, kerugian korban, atau hal-hal yang memberatkan dan/atau memberatkan, atau alasan lainnya yang senada dengan hal tersebut, adalah putusan yang “salah menerapkan hukum”?
Menurut penulis, alasan-alasan tersebut tidak dapat dijadikan alasan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum sehingga strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi karena pada dasarnya, dalam kondisi tersebut, judex facti telah menerapkan hukum sebagaimana mestinya dengan memberikan alasan, dasar, atau pertimbangan atas amar yang dijatuhkan dalam putusannya dan juga tidak menerapkan peraturan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Menurut penulis, alasan-alasan tersebut hanyalah penilaian mengenai kualitas dari penerapan hukum yang dilakukan oleh judex facti, apakah cukup atau kurang, atau hanya mengenai perbedaan pandangan mengenai kualitas penerapan hukum antara judex facti dan judex juris, bukan mengenai apakah penerapan hukum yang dilakukan tepat atau tidak, sehingga seharusnya alasan-alasan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum. Lagipula, apabila kita cermati lebih lanjut putusan-putusan yang memiliki kaidah-kaidah tersebut, maka akan terlihat bahwa pada dasarnya judex juris tetap mengambil penerapan hukum yang dilakukan oleh judex facti, hanya saja berbeda pandangan mengenai pemidanaan yang dijatuhkan oleh judex facti, kemudian menggunakan alasan-alasan tersebut di atas sebagai “pintu masuk” untuk mengubah pemidanaan dari yang dijatuhkan oleh judex facti.
Sekarang mari kita renungkan bersama, apabila judex juris menyatakan bahwa judex facti kurang mempertimbangkan berat hukuman atau kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan/atau meringankan atau yang lainnya, bukankah hal tersebut berarti judex juris kemudian harus “menambah” pertimbangan agar tidak lagi kurang pertimbangan? Bukankah jalan satu-satunya untuk melakukan hal tersebut adalah dengan kembali menilai fakta dalam tahap pembuktian? Bukankah untuk mengubah pemidanaan berarti judex juris harus kembali melakukan penialian atas fakta-fakta pembuktian? Bukankah menilai fakta pembuktian seharusnya bukan merupakan kewenangan judex juris? Atas dasar inilah penulis berpendapat bahwa alasan-alasan selain 4 alasan yang telah penulis sebutkan sebelumnya tidak dapat dijadikan alasan agar strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi. Alasan-alasan yang seharusnya dapat diterima agar strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi adalah alasan-alasan yang dinyatakan secara tegas bahwa judex facti telah “tidak memberikan alasan, dasar, dan/atau pertimbangan” dan alasan-alasan yang terlihat dengan jelas seperti menjatuhkan pidana dibawah ancaman minum atau di atas ancaman maksimum, menjatuhkan pidana yang tidak ditentukan oleh undang-undang, atau menjatuhkan putusan yang menimbulkan disparitas pemidanaan, bukan “kurang memberikan alasan, dasar, dan/atau pertimbangan” dan alasan-alasan yang sukar untuk dilihat secara nyata dan jelas, yang berpotensi bersinggungan dengan penilaian terhadap fakta pembuktian, yang mana hal tersebut bukan merupakan kewenangan judex juris.
Lalu, pertanyaan selanjutnya, walaupun strafmaat dapat menjadi objek pemeriksaan kasasi dengan alasan-alasan yang dapat diterima di atas, apakah judex juris berwenang untuk menjatuhkan putusan yang memuat pemidanaan terhadap Terdakwa? Menurut penulis, jawabannya adalah TIDAK. Penulis mendasarkan hal ini kepada kaidah yang sudah penulis sebutkan pula di atas bahwa sejatinya berat ringan hukuman adalah penilaian terhadap pembuktian, yang adalah kewenangan judex facti, bukanlah kewenangan judex juris, sehingga seharusnya judex juris tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan dalam putusannya. Lalu, mengingat alasan-alasan yang dapat diterima tersebut di atas telah penulis nyatakan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum, akan timbul pertanyaan, bukankah berdasarkan Pasal 255 Ayat (1) KUHAP, Majelis Hakim Kasasi dapat mengadili sendiri perkara tersebut apabila judex facti dinilai telah salah menerapkan hukum?
Menurut penulis, ketentuan “Majelis Hakim Kasasi dapat mengadili sendiri” dalam pasal tersebut tidak berarti bahwa Majelis Hakim Kasasi dapat menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa. Sebelumnya, perlu kita pahami bersama bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai “mengadili sendiri” ini tidak dijelaskan lebih lanjut dalam undang-undang, baik KUHAP, maupun peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga tidak jelas sampai sejauh mana Majelis Hakim Kasasi dapat “mengadili sendiri” putusan judex facti yang salah menerapkan hukum. Dengan tidak dijelaskannya lebih lanjut mengenai aturan ini, maka menurut penulis, wajar saja Majelis Hakim Kasasi menganggap bahwa mereka berwenang untuk “mengadili sendiri” perkara tersebut sampai dengan menjatuhkan pemidanaan kepada Terdakwa. Padahal, kalau kita kembalikan kepada kodratnya, seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, penjatuhan pidana adalah hasil penilaian terhadap fakta yang ada pada tahap pembuktian, yang adalah kewenangan judex facti dan bukan kewenangan judex juris, sehingga Majelis Hakim Kasasi tidak berwenang untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa, karena fungsi judex juris hanyalah menilai hukumnya saja, bukan menilai fakta yang ada di persidangan. Selain itu, secara logika, bagaimana judex juris dapat menjatuhkan putusan pemidanaan yang tepat dan adil padahal Majelis Hakim Kasasi tidak mengalami “kebatinan” persidangan pembuktian atas fakta-fakta tersebut, melainkan hanya berdasarkan fakta-fakta yang tertera dalam putusan-putusan judex facti. Jangankan “kebatinan” persidangannya, keadaan Terdakwa bahkan wajah Terdakwa saja mungkin Majelis Hakim Kasasi tidak mengetahuinya. Penulis merasa bahwa apabila judex juris menjatuhkan pemidanaan, maka dikhawatirkan pemidanaan yang dijatuhkan akan sulit memberikan keadilan bagi Terdakwa. Atas dasar itu, penulis berpendapat bahwa seharusnya judex juris tidak berwenang untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap Tedakwa, cukup hanya menyatakan bahwa putusan judex facti telah melakukan kesalahan penerapan hukum kemudian membatalkan putusan tersebut.
Lalu, bagaimana mengartikan “mengadili sendiri” yang sudah dibahas sebelumnya? Menurut penulis, ketentuan “mengadili sendiri” tersebut haruslah diartikan bahwa judex juris dapat langsung menjatuhkan putusan apabila memang fakta persidangan yang ada sudah lengkap dan tidak memerlukan pemeriksaan tambahan untuk melengkapi fakta, baik oleh judex facti atau oleh judx juris sendiri (lihat Pasal 254 KUHAP), namun judex juris menganggap bahwa Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kesalahan penerapan hukum. Dengan pengartian seperti ini, maka pelaksanaan “mengadili sendiri” oleh judex juris akan sejalan dengan KUHAP dan tidak bertentangan dengan kodrat judex juris itu sendiri.
Lalu, bagaimana pemidanaan terhadap Terdakwa selanjutnya? Apakah apabila judex juris membatalkan putusan judex facti karena telah salah menerapkan hukum berarti sudah pasti menyatakan bahwa Terdakwa tidak bersalah? Belum tentu. Bisa saja pada dasarnya Terdakwa tetap memiliki kesalahan namun dihukum dengan ketentuan yang salah, sehingga harus diperbaiki. Siapa yang memperbaiki? Seharusnya, yang memperbaiki adalah judex facti karena judex facti lah yang lebih mengetahui mengenai fakta-fakta persidangan dan yang memang berwenang untuk menilai fakta-fakta persidangan pada tahap pembuktian secara kodrati. Bagaimana proses “perbaikan” putusan tersebut?
Seharusnya, apabila terbukti bahwa Majelis Hakim judex facti telah salah menerapkan hukum, maka judex juris menjatuhkan putusan untuk membatalkan putusan judex facti tersebut dan mengembalikan perkara tersebut kepada judex facti untuk diadili kembali dan kemudian dijatuhi pemidanaan dengan memberikan petunjuk kaidah-kaidah hukum yang harus diikuti oleh Majelis Hakim judex facti dalam mengadili ulang perkara tersebut. Dengan kata lain, judex juris memberikan petunjuk kepada judex facti tentang apa hukum yang harus dipakai untuk mengadili fakta-fakta yang terbukti dalam persidangan judex facti. Apabila mengikuti proses ini, maka judex juris akan tetap berada pada kewenangannya, yaitu menilai penerapan hukum judex facti dan tidak melakukan hal yang diluar kewenangannya, yaitu menilai fakta untuk kemudian menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa, sedangkan judex facti juga akan sesuai dengan kewenangannya yaitu menilai fakta dengan hukum yang tepat (yang ditentukan oleh judex juris) dan kemudian menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa. Sistem seperti ini dikenal dengan sistem renvoi.
Perlu pembaca ketahui, bahwa sistem renvoi ini adalah sistem yang diterapkan di beberapa Negara Civil Law.Di Belanda, pelaksanaan sistem renvoi ini terlihat dari Pasal 440 angka 2 Code of Criminal Procedure (KUHAP) Belanda, dimana disebutkan bahwa:
If the disputed judgment is quashed, the Supreme Court shall deal with the case itself if this can be done without having to re-examine the facts.
After quashing the disputed judgment, the Supreme Court may,– in order for said judgment to be re-tried and dealt with or further tried and dealt with – remit it to the court which rendered it, or refer it:
- when the quashed judgment was rendered by a District Court, to the Court of Appeal in the jurisdiction;
- when the quashed judgment was rendered by a Court of Appeal, to another Court of Appeal.
Dari aturan di atas, dapat terlihat jelas bahwa Mahkamah Agung Belanda dapat langsung memutus sendiri perkara tersebut dengan membatalkan putusan judex facti apabila tidak diperlukan pemeriksaan fakta lagi. Setelah Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut, maka akan dikembalikan ke judex facti untuk diperiksa ulang dengan ketentuan apabila yang dibatalkan adalah putusan Pengadilan Distrik, maka yang memutus ulang adalah Pengadilan Tingkat Banding yang membawahi yurisdiksi Pengadilan Distrik tersebut, sedangkan apabila yang dibatalkan adalah putusan Pengadilan Tingkat Banding, maka yang memutus ulang perkara tersebut adalah Pengadilan Tingkat Banding yang lain.
Sistem yang sama juga berlaku di Negara tempat lahirnya lembaga kasasi dan sistem renvoi, yaitu Perancis. Sebelum menjelaskan lebih lanjut, pada saat menjabarkan nantinya, akan terdapat badan-badan peradilan pidana Perancis seperti Investigating Chamber dan Court of Assize. Namun, dalam penjelasan nantinya, penulis tidak akan menjelaskan lebih lanjut mengenai hal-hal tersebut mengingat penulis dalam hal ini hanya ingin menggambarkan bagaimana proses peradilan kasasi di Perancis. Bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai badan-badan tersebut, dapat mencari di literature-literatur yang ada mengenai hal tersebut.
Di Perancis, ketentuan mengenai pengembalian perkara dari judex juris ke judex facti untuk diadili kembali, tergambar dalam Pasal 609-612 KUHAP Perancis yang menyebutkan:
- Untuk perkara pelanggaran atau kejahatan ringan, maka yang berhak melakukan persidangan ulang adalah pengadilan pada tingkat yang sama dengan pengadilan yang menjatuhkan (Pasal 609) atau pengadilan lain yang ditunjuk oleh Pengadilan Kasasi;
- Untuk putusan yang diputus oleh investigating chamber, maka yang berhak melakukan persidangan ulang adalah investigating chamber awal atau investigating chamber lainnya (Pasal 609-1) atau bisa juga oleh Criminal Court (Pasal 611);
- Dalam hal kejahatan, Pengadilan Kasasi memerintahkan persidangan ulang kepada:
- Investigating Chamber selain Investigating Chamber yang menjatuhkan putusan;
- Court of Assize selain Court of Asize yang menjatuhkan putusan;
- Pengadilan Tingkat Banding atas putusan yang dijatuhkan Court of Assize, sepanjang putusan yang dibatalkan hanya mengenai gugatan perdata.
Ketentuan lain mengenai hal ini tercantum dalam Pasal 613, yang berbunyi:
In every case where the Court of Cassation is allowed to choose an appeal court or first instance court for the trial of a case that it sends back, this choice may only be the result of a special deliberation taken immediately in chambers. A mention thereof is made in the cassation judgment.
Dari aturan-aturan tersebut di atas, maka kita dapat melihat bahwa dalam sistem peradilan pidana Perancis, setelah judex juris membatalkan putusan judex facti, maka putusan akan dikembalikan kepada judex facti untuk kemudian diadili kembali dimana judex juris berwenang untuk menunjuk judex facti mana yang harus mengadili kembali perkara tersebut dengan menyatakannya dalam amar putusan.
Apabila kita melihat kepada pengaturan kasasi di Belanda dan Perancis, maka kita akan dapat melihat dengan jelas bahwa Belanda dan Perancis masih menggunakan sistem renvoi dalam sistem kasasinya dimana apabila putusan judex facti dibatalkan oleh juder juris, maka judex juris akan mengirimkan putusan tersebut kepada judex facti untuk dilakukan persidangan ulang atas perkara tersebut. Walaupun di Belanda pernah terjadi perubahan mengenai hal ini, yaitu pada tahun 1838, Hoge Raad diizinkan memutus sendiri suatu perkara sejauh hal itu menyangkut pelanggaran atas persyaratan yang ditetapkan undang-undang, dimana konsep ini kemudian diadopsi oleh negeri jajahan, Hindia Belanda, dan dilaksanakan oleh lembaga yang bernama Hooggerechtshof, atau yang kita kenal dengan “Mahkamah Agung Republik Indonesia” (lihat buku Sebastian Pompe, “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung”, halaman 313-314), namun pada faktanya, saat ini, Belanda menggunakan sistem renvoi dalam sistem kasasinya.
Di Indonesia sendiri, kalau kita telisik sejarah kasasi di Indonesia, menurut paparan Sebastian Pompe dalam bukunya yang tersebut di atas, Indonesia memang sudah sedari awal menghapus sepenuhnya sistem renvoi dalam sistem kasasinya, khususnya dalam perkara pidana. Hal ini dapat terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 171, 173, dan 174 Rechterlijke Organisatie (RO) dimana disebutkan (lihat footnote nomor 50 dan 51 di buku Pompe di atas halaman 314):
Pasal 171 RO
“Hooggerechtshof bisa membatalkan, melalui permohonan kasasi, putusan atau penetapan Raden van Justitie (…) 1). Dengan alasan melanggar persyaratan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam pelanggaran itu dengan pembatalan; 2). Dengan alasan salah menerapkan dan melanggar peraturan perundang-undangan; 3). Dengan alasan melampui kewenangan; 4). Dengan alasan tidak berwenang (inkompeten)”
Pasal 173 RO
“Apabila suatu putusan pengadilan dibatalkan dengan alasan salah menerapkan dan melanggar undang-undang, melampaui kewenangan, atau tidak berwenang (inkompeten), Hooggerechtshof akan memutus sendiri perkara tersebut…”
Pasal 174 RO
“Apabila putusan suatu pengadilan dibatalkan dengan alasan tidak memenuhi persyaratan yang kelalaian itu diancam dengan pembatalan putusan yang bersangkutan, Hooggerechtshof akan mengeluarkan instruksi untuk mengulangi proses …, yang instruksi itu bisa dilaksanakan oleh Hooggerechtshof sendiri yang selanjutnya akan memutus perkara atau oleh hakim asal …”
Dari pasal-pasal di atas, kita dapat melihat dengan jelas bahwa untuk semua alasan kasasi, Hooggerechtshof berwenang mengadili sendiri perkara tersebut. Hooggerechtshof memiliki kewenangan untuk meminta pencarian lebih banyak fakta untuk selanjutnya mengadili perkara tersebut dengan fakta-fakta baru tersebut.
Terkait pemeriksaan fakta oleh Mahkamah Agung, dalam perkembangannya, Mahkamah Agung sendiri mengakui bahwa telah terjadi perubahan sistem kasasi di Indonesia dari yang hanya memeriksa penerapan hukum menjadi memeriksa fakta dan hukum, yang mana sistem ini membuat Mahkamah Agung lebih dekat dengan konsep banding sempurna daripada sistem kasasi. Bahkan berdasarkan sebuah wawancara Pompe dengan salah seorang Hakim Agung, Hakim Agung tersebut menyatakan bahwa kasasi telah mengalami banyak perluasan dimana paling banter hanya 1 dari 100 perkara yang kemudian dirujuk ke pengadilan yang lebih rendah (untuk disidangkan ulang) dan selebihnya Mahkamah Agung mengadili suatu perkara layaknya pengadilan banding biasa. Di lain kesempatan, seorang Ketua Muda Mahkamah Agung mengungkapkan kepada Pompe bahwa Mahkamah Agung sudah meninggalkan substansi mengenai pembedaan antara persoalan fakta dan hukum. Penyebutan judex facti dalam putusan-putusan Mahakmah Agung juga tidak lebih dari sekadar formalitas. Lebih lanjut, seorang Hakim Agung senior mengungkapkan kepada Pompe bahwa persoalan hukum dan fakta sudah tidak penting dalam pemikiran para hakim di Mahkamah Agung serta menyatakan bahwaHakim Agung yang duduk sebagai Majelis Hakim Kasasi sebagai judex juris harus juga memeriksa fakta (lihat buku Pompe di atas halaman 333-335).
Dari paparan-paparan di atas, kita dapat melihat bersama bahwa ternyata sistem kasasi dimana Majelis Hakim Kasasi memeriksa fakta dan kemudian mengadili sendiri serta menjatuhkan pemidanaan bukanlah hal yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Yang ingin penulis sampaikan kepada para pembaca dengan paparan-paparan di atas adalah bahwa konsep kasasi yang ada di Mahkamah Agung saat ini, yang memeriksa fakta, bukan hanya sekadar penerapan hukum, dan kemudian menjatuhkan pemidanaan, yang mana konsep tersebut adalah konsep yang salah karena konsep tersebut jauh dari konsep kasasi secara kodrati dan lebih dekat kepada konsep banding sempurna yang menempatkan Mahkamah Agung menjadi Peradilan Tingkat Tiga (Pengadilan Banding Tingkat Dua), sejatinya memiliki sejarah panjang dan tidak bisa sepenuhnya kita persalahkan kepada Hakim-hakim Agung yang ada saat ini. Mungkin sejarah panjang mengenai sistem inilah yang dijadikan dasar hakim-hakim Kasasi saat ini untuk kembali memeriksa fakta dan mengadili sendiri perkara dengan menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa, yang mana sebenarnya tidak cocok dengan konsep kasasi sebagai judex juris.
Namun, menurut penulis, bukan berarti Hakim-hakim Agung sekarang harus hidup tenang meneruskan sejarah yang “salah” ini dengan tetap menjalankan sistem kasasi seperti yang ada saat ini. Pemahaman mengenai kasasi yang salah namun sudah mengkristal secara turun temurun ini harus segera dipecahkan dan diluruskan. Hakim-hakim Agung harus berani untuk keluar dari “comfort zone” ini dan kemudian menerapkan sistem kasasi sebagaimana mestinya secara kodrat kasasi itu sendiri dimana Majelis Hakim Kasasi hanya dapat memeriksa penerapan hukum, bukan memeriksa fakta, dan Majelis Hakim Kasasi tidak dapat menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa, melainkan hanya membatalkan putusan judex facti dan kemudian memerintahkan judex facti untuk mengadili ulang perkara tersebut dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh Majelis Hakim Kasasi (judex juris) karena memang pada dasarnya penjatuhan pemidanaan atau masalah berat ringan hukuman (strafmaat) bukanlah kewenangan judex juris, namun judex facti.
Terkait dengan strafmaat sebagai objek pemeriksaan kasasi, strafmaat bisa saja menjadi objek pemeriksaan kasasi, namun haruslah hanya berdasarkan alasan-alasan yang benar-benar secara nyata bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum, bukan dengan alasan-alasan yang tidak mudah untuk diukur, yang lebih cenderung memeriksa faktanya daripada memeriksa penerapan hukumnya. Walaupun begitu, terlepas dari judex juris dapat berwenang memeriksa strafmaat sebagai objek perkara, namun judex juris tetap tidak boleh memutuskan starfmaat dalam putusannya dan harus berpegang teguh kepada fungsinya sebagai judex juris yang hanya memeriksa penerapan hukum, bukan fakta, dengan cara hanya sebatas membatalkan putusan tersebut apabila terdapat kesalahan penerapan hukum dan kemudian memerintahkan judex facti untuk mengadili ulang perkara tersebut dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh Majelis Hakim Kasasi serta menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa.
Penulis menyadari bahwa pendapat penulis tentang penggunaan sistem renvoi dalam sistem kasasi di Indonesia akan menimbulkan penolakan seperti dengan alasan bahwa nantinya akan terjadi penumpukan perkara di tingkat judex facti akibat renvoi-renvoi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selain itu, sistem renvoi akan berdampak pada semakin banyaknya waktu, tenaga, dan biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Dan memang, menurut A. J. Immink dalam bukunya De rechtelijk organisatie van Nederlandsch-Indie (Den Haag: Stenberg, 1882) halaman 410 (lihat footnote buku Pompe halaman 314), pembatasan sistem renvoi yang terjadi pada zaman Hooggerechtshof adalah karena alasan-alasan seperti ini, yaitu mengingat biaya dan beban adminitrasi merujukkan sebuah perkara yang sudah diperiksa. Penulis pun menyadari akan dampak tersebut. Namun, menurut penulis, dampak tersebut hanyalah dampak jangka pendek dari diberlakukannya sistem renvoi dalam sistem kasasi. Sekarang, mari kita berpikir bersama untuk jangka panjang.
Menurut penulis, dalam jangka panjang, sistem renvoi justru akan mengurangi jumlah perkara, walaupun konteksnya adalah penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Apabila berjalan terus menerus, maka sistem renvoi kedepannya tidak akan menambah beban perkara judex facti, seperti dampak yang terjadi dalam jangka pendek di judex facti. Mengapa penulis dapat berpendapat seperti itu? Sekarang penulis akan mengajak para pembaca untuk berpikir bersama mengenai sistem yang ada sekarang.
Pertanyaan yang harus kita jawab bersama, terutama oleh pembaca yang mungkin adalah Hakim di tingkat judex facti, apakah pernah putusan Hakim judex facti diajukan upaya hukum kasasi? Apakah para Hakim judex facti pernah membaca putusan kasasi atas putusan yang para Hakim jatuhkan? Ketika ternyata putusan judex juris membatalkan putusan Hakim judex facti, apakah para Hakim judex facti mengerti atau setidaknya mengetahui apa alasan dibatalkannya putusan judex facti tersebut atau setidaknya mengetahui di bagian mana yang terdapat kesalahan oleh judef facti sehingga putusan judex facti dibatalkan oleh judex juris? Kalau alasan pembatalannya adalah judex facti telah salah menerapkan hukum, apakah para Hakim judex facti mengetahui hukum mana yang mereka salah terapkan dan penerapan hukum seperti apa yang dianggap benar oleh judex juris?
Dengan segala hormat, tanpa bermaksud mengurangi kewibawaan para Hakim judex facti, dengan beban kerja yang dimiliki oleh para Hakim judex facti yang harus bersidang setiap hari, maka penulis memiliki hipotesa bahwa para Hakim judex facti tidak memiliki waktu untuk membaca putusan judex juris yang membatalkan putusan yang diputuskannya. Pertanyannya, ketika para Hakim judex facti tidak membaca putusan judex juris yang membatalkan putusan yang dijatuhkannya, apakah para Hakim judex facti dapat mengetahui alasan dibatalkannya putusan yang dijatuhkannya oleh putusan judex juris? Apakah para Hakim judex facti dapat mengetahui bagian hukum mana yang salah mereka terapkan sehingga putusan mereka dibatalkan oleh judex juris? Apakah para Hakim dapat mengetahui hukum seperti apa yang seharusnya mereka terapkan agar putusannya dapat dikatakan tidak terdapat kesalahan penerapan hukum?
Secara logika, menurut penulis, dengan kondisi para Hakim judex facti tidak membaca putusan judex juris yang membatalkan putusannya, maka para Hakim tersebut tidak akan mengetahui alasan mengapa putusannya dibatalkan, bagian hukum mana yang dinilai salah penerapan hukum oleh judex juris, dan kaidah hukum apa yang seharusnya digunakan oleh judex facti menurut judex juris agar putusan judex facti tidak dibatalkan. Pertanyaan mendasar yang harus kita jawab kembali adalah, dengan kondisi ketidaktahuan tersebut, bukankah kesalahan yang dilakukan oleh judex facti menurut judex juris yang menyebabkan putusan judex facti dibatalkan oleh putusan judex juris sangat berpotensi terulang kembali? Ketika kesalahan tersebut terulang kembali, bukankah hal tersebut berarti akan menimbulkan permohonan kasasi yang baru dengan alasan yang sebenarnya sudah diputuskan oleh judex juris ketika membatalkan putusan judex facti dalam perkara yang sebelum-sebelumnyanya? Bukankah hal ini akan menimbulkan penumpukan perkara di tingkat kasasi di Mahkamah Agung, yang apabila dibiarkan, maka akan dapat membuat putusan-putusan Mahkamah Kasasi menjadi tidak maksimal dikarenakan titik berat penyelesaian perkaranya bukan kepada kualitas putusan, melainkan kuantitas putusan?
Sekarang, mari kita bayangkan bersama apabila kita memakai sistem renvoi. Yang perlu kita pahami bersama bahwa sistem renvoi akan “memaksa” Majelis Hakim judex facti untuk membaca putusan judex juris yang membatalkan putusan yang dijatuhkannya karena judex facti harus menyidangkan ulang perkara tersebut dengan kaidah hukum yang ditentukan oleh judex juris. Dengan “paksaan” ini, maka para Hakim judex facti akan mengetahui alasan dibatalkannya putusan judex facti, bagian hukum mana yang salah penerapan hukum, dan apa kaidah hukum dari judex juris agar putusan judex facti tersebut tidak dibatalkan. Dengan mengetahui hal ini, maka para Hakim judex facti dapat tidak mengulangi kesalahan tersebut, yaitu dengan tidak menggunakan kaidah hukum yang telah dinyatakan salah penerapan hukum judex juris, kecuali apabila para Hakim judex facti ingin menambah pekerjaan bagi dirinya sendiri dengan tidak patuh kepada kaidah di dalam putusan judex juris, karena apabila judex facti tetap menggunakan kaidah hukum yang telah dinyatakan salah penerapan hukum oleh judex juris, maka judex facti akan menerima kembali renvoi-renvoi terkait kaidah hukum yang sama dari judex juris. Apabila sistem ini berjalan dengan baik, dimana judex facti patuh terhadap kaidah hukum judex juris, maka potensi munculnya perkara dengan alasan permohonan kasasi yang sama dalam kasus yang sama/hampir sama jenisnya akan berkurang, karena tidak ada gunanya juga mengajukan alasan permohonan kasasi atas kaidah hukum yang sudah dinyatakan salah penerapan hukum oleh judex juris, karena putusannya pasti akan sama dengan putusan sebelumnya, sehingga penumpukan perkara tidak terjadi di Mahkamah Agung dan tidak ada putusan judex facti yang harus dibatalkan, sistem renvoi tidak perlu dilakukan, dan judex facti tidak akan terbebani dengan renvoi-renvoi dari judex juris.
Penulis memahami bahwa sistem ini tidak bisa berjalan secara terpisah tanpa adanya dukungan dari sistem lainnya. Menurut penulis, sistem renvoi ini akan dapat berjalan secara maksimal dan tidak menimbulkan masalah apabila ditopang oleh 2 hal. Pertama, kedewasaan dari judex facti untuk menuruti apa yang sudah diputuskan oleh judex juris, sehingga tidak akan ada lagi permohonan kasasi atas kaidah hukum yang sudah dinyatakan salah penerapan hukum dalam putusan sebelumnya, tidak ada putusan judex facti yang harus dibatalkan, dan sistem renvoi pun tidak perlu dijalankan. Apabila terdapat ketidakpatuhan dari judex facti terhadap putusan judex juris, maka yang terjadi adalah perkara tersebut akan mengalami renvoi terus menerus, sehingga kondisi seperti inilah yang menyebabkan banyaknya waktu, tenaga, dan uang yang terbuang.
Kedua, pemaksimalan sistem kamar di Mahkamah Agung. Untuk 1 kaidah hukum, sebaiknya kamar hanya memiliki 1 pendapat yang sama, sehingga tidak terdapat 2 putusan dengan kondisi yang sama, namun dnegan kaidah hukum yang berbeda. Kondisi seperti ini dapat membingungkan judex facti untuk mengikuti kaidah hukum yang mana, sehingga akan tercipta suatu ketidakpastian hukum, yang dapat berdampak pada tetap banyaknya perkara yang masuk mengenai kaidah hukum tersebut karena terdapat potensi mendapatkan kaidah hukum yang lebih menguntungkan. Seharusnya, Mahkamah Agung dalam hal ini menjalankan fungsinya sebagai penjaga kesatuan penerapan hukum dengan memaksimalkan rapat-rapat kamar untuk merumuskan 1 pendapat hukum yang sama atas 1 permasalahan hukum, yang mana pendapat hukum tersebut akan digunakan kamar tersebut dan para Hakim judex facti untuk permasalahan hukum tersebut. berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis berpendapat bahwa sistem yang lebih baik digunakan dalam sistem kasasi adalah sistem renvoi.
Sejarah memang tidak selalu benar dan memang dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengakui sejarah yang salah untuk kemudian mengubah sejarah yang salah tersebut menjadi masa depan yang tepat dan lebih baik dengan memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada. Judex juris seharusnya hanya dapat memeriksa penerapan hukum, tidak memeriksa fakta, dan tidak menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa, melainkan hanya membatalkan putusan judex facti dan kemudian memerintahkan judex facti untuk mengadili ulang perkara tersebut dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh Majelis Hakim Kasasi. Dan seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, sistem renvoi ini terbukti lebih memiliki keuntungan dalam jangka panjang daripada judex juris langsung mengadili sendiri dan langsung menjatuhkan pemidanaan, yaitu menimbulkan kesatuan hukum dan dapat mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Bola saat ini ada di kaki para Yang Mulia Hakim Agung. Kita tinggal menunggu bagaimana para Yang Mulia tersebut memainkannya dalam mengubah sejarah yang salah ini. Menarik untuk melihat apakah para Yang Mulia Hakim Agung, yang biasanya duduk di “kursi tinggi” Yang Mulia Majelis Hakim Kasasi memiliki cukup keberanian untuk mengembalikan “Sang Judex Juris” ke peraduan yang seharusnya.
Ayo Yang Mulia..Beranilah..Kami Menunggu…!!!
Great
LikeLike
Thank you..
LikeLike
Masukan sekaligus diskusi pak saya ingin bertanya apakah di prancis dan di belanda hakimnya di pindah-pindah setiap 3 tahun sekali? …
Soalnya untuk hakim di PN kelas II itu di rolling setiap masa tugas 3-5 tahun dan Hakim Tinggi di PT itu sekitar 3-4 tahun sekali sehingga kalau lembaga renvoi ini diterapkan di indonesia maka jangka waktu penyelesaian perkara yg lama sampai tingkat kasasi dan pk lalu dikembalikan ke tingkat pertama untuk diperbaiki tidak akan bertemu dengan hakim yang sama sewaktu memutusnya dahulu (sudah mutasi) sehingga akhirnya hakim lain yg memutus dan dapat informasi terkait itu dikhawatirkan jadi tidak mengetahui susana kebatinan saat hakim yg dulu memutus demikian … terimakasih pak …
Bagus pak tulisannya … kalau bapak ada nulis buku saya mau juga membelinya …
LikeLike
Halo Mas/Mbak Yuris..terima kasih atas pertanyaannya. Mohon maaf baru merespon..
Untuk masalah mutasi Hakim, memang di Perancis, sependek yang saya tahu, terutama di Belanda, memang tidak ada sistem mutasi Hakim dan Hakimnya ditunjuk untuk satu daerah saja. Kalau mau naik ke PT, maka harus mendaftar dan tes lagi.
Terkait lembaga renvoi, menurut saya, kita tidak bisa melihat penerapan renvoi secara terpisah dari aspek lainnya. Jangka waktu yang lama untuk penyelesaian perkara saat ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Salah satu penyebabnya adalah adanya hal-hal yang sudah diputus oleh Mahkamah Agung, tapi masih diputus berbeda oleh Hakim di tingkat bawah. Ada Hakim yang saya tanyakan mengapa bisa demikian, jawabannya karena Hakim tingkat bawah juga tidak punya waktu untuk membaca putusan kasasi. Kalau renvoi ini diterapkan, maka Hakim tingkat bawah akan “dipaksa” untuk mengetahui putusan kasasi, sehingga putusannya akan sejalan dengan apa yang sudah diputus oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam perkara lain yang karakternya serupa.
Dengan sistem seperti itu, maka diharapkan beban perkara yang masuk ke Mahkamah Agung menjadi berkurang, karena Hakim tingkat bawah sudah memutus sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Kalaupun perkaranya masuk kasasi, Mahkamah Agung bisa dengan mudah menolak kasasi tersebut karena Hakim tingkat bawah sudah sesuai dengan pendapat MA, sehingga memotong proses penyelesaian perkara di Mahkamah Agung.
Dengan berkurangnya beban penyelesaian perkara di Mahkamah Agung, maka diharapkan waktu penyelesaian perkara menjadi lebih cepat sehingga kalau renvoi diberlakukan, maka masih sempat diputus ulang oleh Hakim tingkat bawah yang memutus.
Begitu kira-kira Mas/Mbak jawaban saya..semoga bisa memberikan gambaran dan jawaban yang jelas..salam..
LikeLike