Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Aksesibilitas Norma Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi : Ada, Tak Diketahui, Tak Bermanfaat”, penulis telah menjabarkan bahwa terdapat permasalahan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berupa sulitnya akses masyarakat dan penegak hukum terhadap norma-norma hasil putusan MK. Hal tersebut menyebabkan seringkali norma-norma (baik pasal, ayat, frase, maupun kata) yang sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, inkonstitusional bersyarat, konstitusional bersyarat, ditafsirkan, atau ditambahkan oleh MK, tidak diketahui dan tidak dijalankan oleh masyarakat dan pelaksana undang-undang. Putusan-putusan tersebut pun pada akhirnya menjadi tidak bermanfaat karena apa yang sudah diatur dalam putusan tersebut tidak dijalankan, sehingga akan tetap merugikan masyarakat. Tulisan ini hadir untuk melanjutkan pembahasan dari tulisan tersebut dengan menjabarkan 1 (satu) permasalahan lain terkait putusan MK yang terjadi, yaitu ketidakpatuhan terhadap putusan yang telah dijatuhkan MK.
Kalau kita melihat pada 2 (dua) berita dalam tulisan yang sudah penulis sebutkan di atas, yaitu mengenai masih adanya LBH kampus yang dilarang berpraktik oleh penegak hukum dengan melandaskan kepada Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, padahal pasal tersebut sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK dengan Putusan Nomor 006/PUU-II/2004 dan mengenai penggunaan delik “perbuatan tidak menyenangkan” dalam Pasal 335 Ayat (1) angka 1 KUHP yang sebenarnya frase tersebut sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK dengan Putusan Nomor 1/PUU-XI/2013, maka sebenarnya ada potensi bahwa para pelaksana undang-undang (yang dalam hal ini adalah Kepolisian dan Pengadilan) sebenarnya mengetahui bahwa norma-norma tersebut telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK, namun mereka tidak mau tunduk dan menjalankan putusan tersebut. Hasilnya, masyarakat yang terkait dengan noma tersebut tidak mendapatkan manfaat dari putusan tersebut, bahkan merugikan masyarakat tersebut. Namun, perlu penulis tegaskan bahwa ini hanyalah potensi bahwa dalam kasus-kasus tersebut, penegak hukum tidak tunduk kepada putusan MK. Perlu penelusuran lebih jauh untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus tersebut, apakah memang penegak hukum dalam kasus-kasus tersebut tidak mengetahui adanya putusan MK, atau apakah para penegak hukum mengetahui, namun tidak mau tunduk dan menjalankan putusan MK.
Terlepas dari berita-berita yang mengandung potensi ketidakpatuhan terhadap putusan MK tersebut, ada (setidaknya) 2 (dua) bukti nyata dari “pembangkangan” terhadap putusan MK. Pertama, yaitu pada kasus dr. Bambang, yang tetap dijatuhi pidana penjara oleh Majelis Hakim Kasasi karena melanggar Pasal 76 dan Pasal 79 huruf c Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, padahal MK telah menghapus ketentuan pidana penjara pada pasal-pasal tersebut dengan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007. Atas kasus ini, Mahkamah Agung (MA) membuat pernyataan resmi kepada masyarakat tentang kasus dr Bambang. MA beralasan hakim punya independensi dalam melakukan pertimbangan hingga amar putusan. Lebih lanjut, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, menyebutkan bahwa tidak semua apa yang diputuskan MK memiliki unsur memaksa.
Kedua, terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 yang membatasi Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali, padahal MK sudah menyatakan bahwa pengajuan PK dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dengan putusan nomor 34/PUU-XI/2013. Dalam SEMA ini, MA menyebutkan bahwa yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK hanyalah aturan mengenai PK yang ada di dalam KUHP dan tidak serta merta menghapuskan ketentuan PK yang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam Pasal 24 Ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 Ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, sehingga MA mengatur PK dalam perkara pidana tetap hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dengan mendasari SEMA ini kepada aturan dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung di atas. Terkait SEMA 7/2014 itu sendiri, penulis telah menjabarkan lebih lengkap dalam tulisan berjudul “SEMA 7/2014 : Sebuah Pembenaran Yang Benar-benar Kurang Benar”,
Dari 2 (dua) poin di atas, kita dapat melihat bersama bahwa masih ada “pembangkangan” terhadap putusan MK. Perlu penulis jelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya, penulis tidak menyatakan bahwa hanya Mahkamah Agung yang tidak patuh terhadap putusan MK dengan hanya menampilkan fakta-fakta ketidakpatuhan Mahkamah Agung. Tidak menutup kemungkinan bahwa pihak-pihak selain Mahkamah Agung juga melakukan ketidakpatuhan tersebut. Hanya saja, penulis belum mendapatkan data yang lengkap dan valid tentang ketidakpatuhan pihak selain Mahkamah Agung, sehingga ketidakpatuhan Mahkamah Agung terhadap putusan-putusan MK akan penulis jadikan contoh dengan porsi pembahasan yang lebih besar dalam tulisan ini.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah putusan MK dapat tidak dipatuhi dan tidak dijalankan? Menurut penulis, jawabannya adalah TIDAK. Dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, telah disebutkan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa:
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang juga ditegaskan oleh mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, dan Ketua MK saat ini, Arief Hidayat, putusan MK bersifat erga omnes, yang artinyaputusan MK tidak hanya mengikat pihak yang berperkara, namun mengikat seluruh masyarakat Indonesia. Dengan konstruksi tersebut, maka putusan MK bersifat mengikat dan harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Seperti yang sudah penulis jelaskan di atas, bahwa ketidakpatuhan MA terhadap putusan MK akan mendapatkan porsi pembahasan yang lebih besar dalam tulisan ini. Terkait ketidakpatuhan Mahkamah Agung terhadap putusan-putusan MK, ada beberapa pendapat yang menurut penulis perlu untuk dijabarkan lebih lanjut. Perlu penulis jelaskan pula, dalam menjabarkan pendapat-pendapat nantinya, penulis tidak akan menyebutkan siapa yang berpendapat demikian karena menurut penulis, ini adalah salah satu cara menghargai pendapat tersebut karena mayoritas masyarakat Indonesia lebih suka melihat siapa yang berpendapat daripada apa pendapatnya, sehingga tidak jarang pendapat yang bagus dari orang yang dinilai sebagian orang adalah orang yang tidak bagus tidak didengarkan hanya karena orang tersebut yang berpendapat, atau sebaliknya. Atau dalam kondisi lain, orang yang sebenarnya memiliki kapasitas hanya karena pendapatnya dalam hal ini tidak tepat, maka akan merembet ke pendapat-pendapat lainnya dari orang tersebut yang akan dianggap tidak tepat pula, padahal belum tentu demikian, atau sebaliknya. Oleh karena itu, penulis hanya akan fokus membahas pendapat-pendapat tersebut berdasarkan apa pendapatnya, bukan siapa yang berpendapat.
Ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa Mahkamah Agung dapat saja tidak mematuhi putusan MK karena secara ketatanegaraan kedudukan MK dan MA adalah sejajar, bahkan berada dalam 1 (satu) cabang kekuasaan yang sama, yaitu yudikatif, sehingga tidak ada keharusan MA untuk tunduk pada putusan MK. Menurut penulis, pendapat seperti ini adalah pendapat yang keliru dan konyol. Memang benar MA dan MK adalah sejajar secara ketatanegaraan dan berada dalam cabang yang sama, yaitu yudikatif. Namun, apakah hal tersebut dapat dijadikan pembenaran (justifikasi) bahwa MA dapat tidak tunduk kepada putusan MK? Jelas Tidak. Kalau logika berpikirnya seperti itu, maka tidak ada pula keharusan dari lembaga yang secara ketatanegaraan sejajar dengan MK, yaitu DPR dan Pemerintah, untuk menjalankan putusan MK. Lalu, pertanyaannya, kalau putusannya dapat tidak dijalankan, hanya bersifat “dapat dijalankan” bukan “harus dijalankan”, maka apa gunanya MK mengadili perkara judicial review? Bukankah dengan logika seperti itu, MK menjadi tidak ada gunanya untuk mengadili perkara judicial review? Bukankah kalau tidak ada gunanya lebih baik kewenangan tersebut dikeluarkan dari kewenangan MK dan MK hanya menjalankan kewenangannya yang lain selain mengadili perkara judicial review?
Oleh karena itu, menurut penulis, pendapat di atas adalah keliru karena letak MK dalam ketatanegaraan tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa putusan MK dapat tidak dijalankan oleh lembaga lain, termasuk oleh MA. Kita harus melihat lebih dalam, yaitu kepada sifat putusan MK, dimana sifat putusan MK adalah menguji suatu norma apakah bertentangan dengan konsititusi atau tidak, apakah merugikan hak konstitusionalitas warga Negara atau tidak. Apabila MK telah menyatakan bahwa suatu norma, suatu “aturan main”, bertentangan dengan konstitusi atau merugikan warga Negara, maka seharunya norma tersebut tidak dapat dijalankan kembali dengan alasan apapun.
Kemudian, ada juga yang berpendapat bahwa hakim di bawah Mahkamah Agung dapat tidak tunduk kepada putusan hakim MK karena kedudukan mereka (hakim MA dan hakim MK) adalah sejajar, yaitu sama-sama sebagai hakim, hanya pada lembaga yang berbeda, sehingga tidak ada keharusan hakim-hakim dibawah naungan MA untuk mengikuti putusan hakim MK. Pihak yang berpendapat seperti ini mendasarkan kepada asas “Kemandirian Peradilan”, yang tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) UU 48/2009, yang dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa “Kemandirian Peradilan” berarti “bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis”. Asas ini juga disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945, yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selain itu, pihak ini juga mendasarkan pada asas “Bebas”, yang pada dasarnya dikenal dalam sistem yurisprudensi dalam konteks Negara civil law (yang “disinyalir” berlaku di Indonesia), yang artinya bahwa seorang hakim tidak terikat dengan putusan hakim lainnya, baik untuk tingkat yang sama atau tingkat yang lebih tinggi. Dengan dasar tersebut, pihak ini berpendapat bahwa Hakim-hakim di bawah naungan MA tidak terikat kepada putusan hakim MK, tidak bisa diintervensi dan harus merdeka serta bebas dari campur tangan pihak luar, termasuk oleh MK melalui putusan-putusannya.
Menurut penulis, pendapat ini adalah pendapat yang keliru lainnya karena putusan MK tidak dapat disebut sebagai campur tangan dari pihak luar, yaitu MK. Kalau putusan MK, yang mengubah keadaan suatu norma, dianggap sebagai campur tangan atau intervensi dari pihak luar, lalu bagaimana dengan produk undang-undang yang disahkan oleh DPR dan Pemerintah, yang mengesahkan atau mencabut norma-norma tertentu? Bukankah dengan logika seperti itu, akibatnya, kita akan menganggap produk undang-undang dari DPR dan Pemerintah juga merupakan intervensi dari pihak luar?
Kalau kita melihat lebih dalam, pada dasarnya memang undang-undang adalah intervensi dari DPR dan Pemerintah karena sifat undang-undang adalah mengatur mengenai norma-norma yang mengikat seluruh masyarakat Indonesia, termasuk lembaga-lembaga seperti Mahkamah Agung. Namun, intervensi dalam bentuk ini tentu boleh dilakukan mengingat DPR dan Pemerintah memang memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut berdasarkan UUD NRI 1945. Tentu bukan intervensi seperti ini yang tidak diperbolehkan oleh UUD NRI 1945 dan UU 48/2009. Intervensi atau campur tangan yang tidak diperbolehkan adalah dalam konotasi yang negatif, artinya intervensi yang tidak didasari kewenangan untuk melakukan hal tersebut.
Apabila kita melihat sifat putusan MK, yang juga mengatur mengenai keadaan suatu norma, sama seperti undang-undang, dan MK juga memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut berdasarkan UUD NRI 1945, maka tentu saja sifat putusan MK adalah sama dengan undang-undang, yaitu bukan merupakan bentuk intervensi yang tidak diperbolehkan oleh UUD NRI 1945 dan UU 48/2009, sehingga tidak tepat pendapat bahwa putusan MK adalah bentuk intervensi terhadap hakim-hakim di bawah naungan Mahkamah Agung dan hakim-hakim tersebut dapat tidak tunduk terhadap putusan MK.
Dengan hakim di bawah MA tidak dapat tidak tunduk terhadap putusan hakim MK, apakah hal tersebut membuat hakim-hakim di bawah naungan MA harus tunduk kepada putusan hakim MK? Apakah hal tersebut tidak melanggar asas “bebas”, dimana hakim-hakim di bawah naungan MA menjadi harus mengikuti putusan hakim-hakim MK? Jawabannya adalah jelas hakim di bawah naungan MA haruslah tunduk kepada putusan MK dan hal tersebut tidak melanggar asas “bebas”. Yang perlu penulis ingatkan bahwa kita jangan mudah terjebak dengan kata “putusan” dalam produk yang dikeluarkan oleh MK untuk kemudian dihubung-hubungkan dengan asas “bebas”, sehingga berpendapat hakim di bawah naungan MA tidak terikat kepada putusan hakim MK. Apabila kita melhat secara jernih sifat putusan MK, maka kita maka kita akan dapat melihat dengan jelas bahwa secara sifat, putusan MK sama dengan undang-undang, yaitu mengatur keadaan suatu norma, walaupun tidak sama secara penuh. Apabila suatu norma sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK, bukankah hal tersebut sama dengan ketika DPR dan Pemerintah menyatakan bahwa suatu norma tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat dengan mencabut norma tersebut? Jawabannya adalah SAMA, norma tersebut tidak dapat dijalankan lagi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah boleh hakim-hakim di bawah naungan MA “membangkang” atas DPR dan Pemerintah dengan menggunakan norma yang belum diubah oleh DPR dan Pemerintah, padahal sudah diubah oleh DPR dan Pemerintah, misalnya menggunakan norma yang sudah dicabut oleh DPR dan Pemerintah melalui undang-undang? Tentu tidak. Dengan logika yang sama, dengan memperhatikan sifat yang sama antara putusan MK dan undang-undang seperti yang telah penulis jabarkan sebelumnya, apakah hakim-hakim di bawah naungan MA boleh membangkang atas putusan MK, yang mengubah keadaan suatu norma, terlebih norma yang sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? Jawabannya tentu tidak bisa. Hakim di bawah naungan MA harus lah tunduk pada putusan MK.
Disamping itu, apabila hakim-hakim di bawah naungan MA masih menggunakan norma yang sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK, bukankah hal tersebut berarti hakim-hakim tersebut menggunakan ketentuan yang tidak memiliki dasar hukum lagi sehingga seharusnya tidak boleh digunakan lagi? Untuk norma-norma yang dinyatakan dalam keadaan konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, ditafsirkan, diubah, atau ditambah oleh MK, apabila hakim-hakim tersebut masih menggunakan norma tersebut yang belum diberikan keadaan-keadaan tersebut, bukankah hal tersebut berarti bahwa hakim-hakim tersebut menggunakan norma-norma yang bertentangan dengan UUD NRI 1945?
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berpendapat bahwa MA beserta hakim-hakim yang berada di bawah naungan MA haruslah patuh dan tunduk kepada putusan MK.
Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, bahwa ketidakpatuhan MA terhadap putusan MK hanya 1 (satu) contoh dari ketidakpatuhan terhadap putusan MK. Mungkin masih banyak ketidakpatuhan lain yang dilakukan oleh pihak selain MA, yang informasinya tidak penulis dapatkan. Menurut penulis, akan selalu ada alasan untuk tidak menjalankan putusan MK dari pihak-pihak yang terkait dengan norma hasil putusan MK. Mungkin tidak tahu akan adanya putusan tersebut, putusan MK tidak tepat, dan masih banyak beragam alasan lain yang dapat digunakan agar pihak tersebut tidak menjalankan putusan MK. Terkait alasan putusan MK yang tidak tepat, mungkin saja alasan tersebut, pada kondisi tertentu, adalah benar, sehingga sejatinya putusan MK tersebut akan terasa berat untuk diikuti. Perlu penulis jelaskan bahwa hal tersebut adalah isu yang lain yang juga harus segera dicari jalan keluarnya agar putusan-putusan MK dapat diikuti. Misalnya, dengan membuka ruang untuk mengkaji ulang putusan MK yang telah dijatuhkan, seperti sistem yang diterapkan di Jerman, dimana putusan MK di Jerman dapat dikaji ulang dan dicabut apabila masyarakat mempermasalahkan putusan tersebut atau sudah dirasa tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, dengan sistem yang ada saat ini, dengan sifat putusan MK yang adalah putusan pada tingkat pertama dan terakhir, memiliki kekuatan hukum mengikat (final and binding), serta memiliki karakteristik yang sama dengan undang-undang yaitu mengatur mengenai keadaan suatu norma, maka semua pihak harus tunduk dan patuh terhadap putusan MK. Tidak boleh ada pembangkangan dengan alasan apapun.
Dari tulisan penulis sebelumnya dan penjabaran di atas, kita dapat melihat bahwa paling tidak terdapat 2 (dua) masalah terkait putusan MK saat ini, yaitu masalah aksesibilitas masyarakat dan pelaksana undang-undang terhadap putusan MK yang kurang sehingga masyarakat dan pelaksana undang-undang tidak mengetahui adanya perubahan keadaan dari suatu norma dan masalah ketidakpatuhan pihak-pihak tertentu terhadap putusan MK. Kedua masalah ini tentu sangat merugikan masyarakat dimana kerugian yang paling utama adalah masih digunakannya norma-norma yang sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK atau norma-norma yang sebenarnya sudah diubah keadaanya oleh MK agar menjadi konstitusional (yang digunakan adalah norma yang belum diubah oleh MK). Bagaimana caranya agar putusan MK dapat diketahui dan dipatuhi dengan baik dan benar?
Pada tulisan sebelumnya, penulis menjabarkan bahwa untuk mengatasi masalah aksesibilitas norma hasil putusan MK, maka cara yang dapat ditempuh adalah legislasi, yaitu pengundang-undangan norma hasil putusan MK atau kompilasi, yaitu mengumpulkan putusan-putusan MK terkait norma-norma yang ada di suatu undang-undang kemudian diberi lampiran kondisi undang-undang tersebut setelah norma-norma nya diubah keadaannya oleh MK. Dengan adanya masalah ketidakpatuhan terhadap putusan MK, yang harus diselesaikan pula, maka cara yang menurut penulis paling tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut adalah menggabungkan 2 (dua) cara tersebut, yaitu pertama dengan melegislasikan norma hasil putusan MK untuk tiap undang-undang, kemudian menambahkan hasil legislasi tersebut dengan putusan-putusan MK yang menguji norma-norma undang-undang tersebut untuk selanjutnya dibukukan atau dikompilasikan dengan sifat terbuka, yang artinya dapat ditambahkan sewaktu-waktu apabila ada pengujian baru atas norma undnag-undang tersebut. Dengan cara ini, masalah ketidakpatuhan akan selesai dengan legislasi karena norma hasil putusan MK sudah diubah dengan undang-undang, suatu dasar hukum yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai dasar hukum yang paling kuat di Indonesia, dan masalah aksesibilitas akan selesai dengan legislasi serta kompilasi putusan MK karena masyarakat akan mudah melihat norma mana saja yang sudah berubah keadaannya serta norma mana saja yang sudah pernah diajukan judicial review, sehingga duplikasi dan repetisi pengajuan judicial review dapar dihindari, serta pelaksana undang-undang juga dapat melihat pertimbangan dan alasan logis mengapa MK menjatuhkan putusan seperti itu.
Namun, melihat dari kebutuhan, pelegislasian norma hasil putusan MK adalah kebutuhan yang paling mendesak untuk dilakukan karena dengan pelegislasian, 2 (dua) masalah di atas akan dapat teratasi seluruhnya. Menurut penulis, tanpa kompilasi pun, masyarakat dan pelaksana undang-undang, masih dapat mengatasi masalah aksesibilitas yang terjadi dengan melihat langsung kepada putusan MK terkait norma yang berubah keadaannya. Tentu saja legislasi yang dilakukan harus pula menyertakan putusan MK yang mengubah keadaan norma yang diubah dengan legislasi tersebut. Kompilasi dapat dilakukan setelah adanya proses legislasi. Namun, walaupun pasal 10 Ayat (1) huruf d dan Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberikan kewenangan kepada legislator kita untuk mengatur undang-undang yang materi muatannya adalah tindak lanjut atas putusan MK, dimana undang-undang tersebut masuk ke dalam “Daftar Kumulatif Terbuka”, yang dapat diajukan sewaktu-waktu, tanpa harus melalui proses Prolegnas terlebih dahulu, fakta menunjukkan bahwa legislator kita belum pernah menjalankan ketentuan tersebut. Legislator kita, entah disengaja atau tidak, telah melalaikan dan mengabaikan kewenangan tersebut. Padahal, apabila kewenangan tersebut dijalankan, pada dasarnya akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat.
Tanpa disadari, putusan MK, yang berisi aturan-aturan yang menjelaskan keadaan suatu norma, apakah sejalan dengan konstitusi, sejalan atau tidak sejalan dengan konstitusi dengan syarat, tafsir, pengubahan, dan penambahan tertentu, atau tidak sejalan dengan konstitusi sehingga kemudian dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, selama ini cenderung hanya menjadi “Putusan Kosong”, yang berarti putusan tersebut ada namun tidak dijalankan, baik karena ketidaktahuan, maupun karena ketidakpatuhan. Ketidaktahuan dan “Pembangkangan” terhadap putusan MK pada faktanya berpotensi menyebabkan digunakannya suatu norma yang pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak sejalan dengan konstitusi sebagai dasar hukum pelaksana undang-undang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, yang mana pelaksanaan tugas dan kewenangannya tersebut sangat mungkin bersentuhan dengan masyarakat. Penggunaan norma tersebut dalam kondisi ini tentu saja merugikan masyarakat karena menerima perlakuan, yang merupakan pengejawantahan pelaksanaan tugas dan kewajiban pelaksana undang-undang, yang tidak memiliki dasar hukum dan tidak sejalan dengan konstitusi.
Legislasi norma hasil putusan MK adalah jalan untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Sebuah jalan yang dapat mengubah putusan MK dari “Putusan Kosong” yang tidak dapat dijalankan menjadi “Putusan Sakti” yang dapat dijalankan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Sebuah jalan yang diberikan Negara, diwakili oleh legislator, melalui undang-undang untuk ditempuh kepada legislator sendiri. Namun, legislator kita masih mengabaikan dan melupakan jalan tersebut, jalan yang mereka buat untuk mereka sendiri. Semoga para legislator cepat sadar dan tidak lagi melupakan serta tidak lagi mengabaikan jalan “Legislasi” tersebut, sebuah jalan yang sangat mendesak untuk ditempuh agar masalah ketidaktahuan dan ketidakpatuhan tersebut dapat diselesaikan.
2 thoughts on “LEGISLASI NORMA HASIL PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI : “SEBUAH JALAN YANG TERABAIKAN””