Hukum

  • Pada tanggal 31 Januari 2019, kasus PT First Anugerah Karya Wisata, atau yang dikenal dengan First Travel, memasuki babak baru. Mahkamah Agung memutuskan aset First Travel yang menjadi barang bukti dalam perkara tersebut dirampas untuk negara.[1] Berbagai pihak mengkritik putusan ini karenamenilaiseluruh aset tersebut seharusnya dikembalikan kepada korban, yaitu para calon jemaah First Travel, untuk memulihkan kerugian para korban dalam kasus tersebut.[2] Bahkan hal ini diutarakan pula oleh Kejaksaan sebagai eksekutor[3] dengan menyebutkan bahwa putusan tersebut bermasalah dan sulit untuk dieksekusi. Padahal, Kejaksaan ingin mengembalikan seluruh aset tersebut kepada korban dan Kejaksaan sudah mengajukan hal tersebut dalam tuntutannya.[4] Atas putusan ini, pihak First Travel mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk mengusahakan agar aset First Travel yang diputuskan untuk dirampas negara dapat dikembalikan kepada para calon jemaah.[5]

    Sebelumnya, dalam persidangan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Depok, Jaksa penuntut umum meminta agar aset-aset First Travel yang tercantum sebagai barang bukti nomor 1 sampai 529 dikembalikan kepada para calon jamaah untuk dibagikan secara proporsional dan merata melalui Perkumpulan Pengurus Pengelola Aset Korban First Travel yang sudah memiliki akta pendirian yang dibuat dihadapan Notaris. Namun, di dalam persidangan, perkumpulan tersebut menyampaikan surat dan pernyataan penolakan menerima pengembalian barang bukti tersebut. Akhirnya, melalui putusan No. 83/Pid.B/2018/PN.DPK, Majelis Hakim memutuskan bahwa aset-aset tersebut dirampas untuk negara dengan pertimbangan bahwa barang-barang tersebut bernilai ekonomis dan merupakan hasil kejahatan yang disita dari terdakwa, sehingga berdasarkan Pasal 39 jo. Pasal 46 KUHAP, barang-barang tersebut harus dirampas untuk negara. Putusan ini kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi Bandung pada tingkat banding melalui putusan No. 195/PID/2018/PT.BDG dan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi melalui putusan No. 3096 K/Pid.Sus/2018 dengan pertimbangan yang sama.

    Dari jabaran di atas, terlihat bahwa terdapat permasalahan mengenai bagaimana seharusnya perlakuan terhadap aset First Travel, apakah seharusnya dikembalikan kepada korban untuk mengembalikan kerugian korban, atau apakah putusan pengadilan sudah tepat dengan memutus aset First Travel dirampas untuk negara. Tulisan ini hadir untuk mencoba menjawab permasalahan tersebut dengan melihat bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur mekanisme pemulihan kerugian korban tindak pidana dan apakah mekanisme tersebut dapat diterapkan dalam kasus First Travel.

    (more…)
  • Pada tanggal 23 Juli 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) mengucapkan putusan No. 30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa frase “pekerjaan lain” pada Pasal 182 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik. Dikarenakan pasal tersebut berisi larangan untuk berpraktik dalam beberapa pekerjaan sebagai syarat untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka dengan putusan ini, pengurus (fungsionaris) partai politik tidak dapat menjadi calon anggota DPD. Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa pengurus partai politik yang dimaksud adalah pengurus mulai dari tingkat pusat hingga tingkat terendah. Dalam pertimbangannya pula, MK menyatakan bahwa putusan ini berlaku untuk Pemilu Anggota DPD tahun 2019 dimana bakal calon anggota DPD yang sudah mendaftar tetap dapat menjadi calon anggota DPD apabila menyerahkan pernyataan tertulis bahwa ia telah mengundurkan diri dari kepengurusan suatu partai politik.

    (more…)

  • Dalam tulisan sebelumnya, yang berjudul “Salah Paham Dan Salah Timbang Sang Penjaga Konstitusi Tentang Praktik Kriminalisasi Kebijakan, Niat Menyelesaikan Masalah Yang Menambah Masalah”, penulis telah membahas mengenai Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menghapuskan kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Perkara ini berangkat dari praktik kriminalisasi kebijakan yang terjadi dan Para Pemohon dalam perkara tersebut menganggap hal tersebut terjadi karena adanya kata “dapat dalam pasal-paal tersebut. Majelis Hakim MK pun menjatuhkan putusan berupa pencabutan kata “dapat” dalam pasal-pasal tersebut, sehingga diharapkan masalah kriminalisasi kebijakan tidak akan terjadi lagi.

    Pada tulisan tersebut, penulis menjabarkan kesalahan-kesalahan dalam putusan tersebut, yaitu kesalahpahaman bahwa kata “dapat” adalah penyebab sebuah kebijakan dapat “dipidanakan” dengan korupsi, mengubah Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dari delik formil menjadi delik materiil, kesalahan dalam menganggap bahwa lahirnya UU Administrasi Pemerintahan mengubah pendekatan penindakan penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian negara, dari pendekatan pidana menjadi pendekatan administratif, dan kesalahan pendefinisian perbuatan korupsi yang membuat perbedaan antara perbuatan korupsi dan perbuatan di dalam UU Administrasi Pemerintahan menjadi kabur. Penulis berpendapat bahwa kesalahan-kesalahan ini dapat menyebabkan beberapa masalah pada praktiknya, seperti praktik kriminalisasi kebijakan yang tidak akan selesai karena pada dasarnya bukan kata “dapat” lah yang menjadi penyebab kriminalisasi kebijakan ini terjadi, sehingga walaupun dihapus tidak akan mengubah apapun, bertambahnya praktik kriminalisasi kebijakan karena perumusan perbuatan korupsi yang sama dengan perbuatan yang harus diselesaikan secara administratif, hingga dapat menimbulkan budaya korupsi baru karena ada 1 perbuatan yang dapat diselesaikan dengan 2 mekanisme yang tidak memiliki parameter pembeda yang jelas, sehingga membuka peluang orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk melakukan berbagai cara untuk menghindari mekanisem yang lebih berat, termasuk melakukan korupsi baru.

    Lalu bagaimana agar dampak-dampak dari kesalahan-kesalahan di atas tidak terjadi pada praktik nantinya? Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus diperjelas agar pelaksanaan putusan MK ini dapat dilakukan secara maksimal. Hal-hal tersebutlah yang akan penulis bahas secara rinci dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini juga nantinya penulis akan membahas mengenai bagaimana legislasi atas putusan MK hadir sebagai penyempurna putusan MK, yang memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya dampak-dampak tersebut di atas. (more…)

  • Pada hari Kamis, tanggal 16 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan dengan nomor 1/PUU-XI/2013. Dalam amarnya, MK menyatakan bahwa frase “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan” dalam Pasal 335 Ayat (1) Angka 1 KUHP bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, dengan putusan ini, MK menyatakan bahwa frase tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar hukum.

    Putusan ini bermula dari permohonan yang diajukan oleh Pemohon, yaitu Oei Alimin Sukamto Wijaya, yang merasa bahwa keberlakuan frase tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga Negara Indonesia. Pemohon mengalami penganiayaan di Hotel Meritus Surabaya, yang mana penganiayaan tersebut dilakukan oleh pemilik Hotel Meritus Surabaya, Haryono Winata alias Mingming. Atas penganiayaan ini, Pemohon melaporkan Haryono Winata ke Polsek Genteng Surabaya. Alih-alih laporannya ditindaklanjuti, Pemohon malah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Genteng Surabaya atas 3 (tiga) laporan pelapor yang berbeda, yaitu atas nama pelapor Haryono Winata (berdasarkan surat panggilan nomor SPG/107/IX/2012/Reskrim tertanggal 24 September 2012 dan SPG/123/X/2012/Reskrim tertanggal 9 Oktober 2012), Hary Moeljono (berdasarkan surat panggilan nomor SPG/83/IX/2012/Reskrim tertanggal 11 September 2012), dan Jenny Kosasi alias Cucu (berdasarkan surat panggilan nomor S-Pgl/3567/X/2012/Reskrim tertanggal 25 Oktober 2012). (more…)

  • Mistakes are always forgivable, if one has the courage to admit them

    Bruce Lee

     

    Pada Tanggal 27 Januari 2015 yang lalu, penulis menerbitkan tulisan berjudul “SEMA 7/2014 : Sebuah Pembenaran Yang Benar-Benar Kurang Benar”. Setelah penulis me-review kembali tulisan tersebut dan berdiskusi dengan salah satu senior panutan penulis, Arsil, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengoreksi beberapa pendapat penulis dalam tulisan tersebut dikarenakan pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat yang tidak tepat. (more…)

  • Pada tanggal 19 April 2016, Mahkamah Agung RI telah menetapkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dalam pertimbangannya bagian b, Perma ini dibentuk untuk mengakhiri polemik yang terjadi akibat ketentuan bahwa putusan praperadilan dapat diajukan peninjauan kembali (PK) apabila terdapat penyelundupan hukum, yang tertera dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, yang pada praktiknya, ternyata menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda atas apa definisi “penyelundupan hukum” dalam ketentuan tersebut. Selain berisi tentang larangan PK atas putusan praperadilan, Perma ini juga berisi tentang objek perkara apa yang saat ini dapat diajukan praperadilan, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang memperluas objek praperadilan menjadi melingkupi pula sah tidaknya penyitaan, penggeledahan, dan penetapan tersangka.

    Di satu sisi, penulis sangat mengapresiasi terbitnya Perma ini karena menurut penulis, Mahkamah Agung telah berupaya menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi perkembangan hukum mengenai praperadilan yang ada saat ini, terutama pasca putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Perma ini juga telah menjawab sebagian “tuntutan” penulis yang telah ada dalam tulisan penulis sebelumnya yang berjudul “Praperadilan Atas Sah Tidaknya Penetapan Tersangka (Perjudian Hukum Yang Di(ter)biarkan”, yaitu dengan mengatur bahwa sah tidaknya penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan (Pasal 2 Ayat (1) huruf a Perma 4/2016) dan hal apa yang harus dibuktikan dalam pemeriksaan sah tidaknya penetapa tersangka, yaitu hanya sejauh aspek formil, apakah terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah atau tidak (Pasal 2 Ayat (2) Perma 4/2016). Selain itu, Perma ini adalah bentuk “kepatuhan” Mahkamah Agung dalam menjalankan putusan MK yang tersebut di atas, karena isi materi Perma tersebut, khususnya mengenai objek praperadilan, mengikuti apa yang telah diputus dalam putusan MK tersebut. Namun, di sisi lain, menurut catatan penulis, Perma ini masih memiliki beberapa kekurangan karena masih ada pengaturan yang kurang tepat dan tidak jelas, sehingga harus disempurnakan. Tulisan ini akan membahas mengenai beberapa catatan penulis terkait Perma ini, yaitu yang pertama, terhadap pengaturan tentang objek praperadilan dan materi pembuktiannya, dan kedua mengenai larangan PK atas putusan praperadilan itu sendiri. (more…)

  • Pada tanggal 1 Maret 2016 kemarin, bertempat di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Mahkamah Agung, yang diwakili oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H., menyampaikan Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2015, yang berisikan tentang capaian-capaian Mahkamah Agung dalam berbagai bidang, seperti manajemen perkara, produk-produk hukum, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak isi Laporan Tahunan tersebut, penulis sangat tertarik melihat ke bagian “landmark decision”, yang mana bagian ini berisi putusan-putusan yang menurut Mahkamah Agung adalah putusan-putusan yang penting, atau dalam sepahaman penulis ketika membaca putusan-putusan tersebut, adalah putusan-putusan yang memiliki kaidah-kaidah hukum yang penting dalam praktik peradilan. Ada 12 (dua belas) putusan yang dianggap landmark decision oleh MA pada tahun 2015 ini. Kalau pembaca ingin mengetahuinya, secara singkat, bisa dilihat disini. Kalau mau lebih lengkap lagi, silahkan tunggu versi lengkapnya, semoga Laporan Tahunan Tahun 2015 ini diunggah oleh MA dalam website nya seperti yang dilakukan dengan Laporan Tahunan MA 2014.

    Dari 12 putusan tersebut, ada satu putusan yang sangat menarik perhatian penulis disini, yaitu Putusan Kasasi Nomor 285K/PID.SUS/2015 (disini) atas nama Terdakwa Mantan Gubernur Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah, S.E., dalam perkara suap kepada Mantan Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Ada 1 (satu) hal yang membuat penulis sangat tertarik dengan putusan tersebut, dimana Majelis Hakim Kasasi menyatakan bahwa putusan judex facti tidak mempertimbangkan benar-benar mengenai hal-hal relevan yang dilakukan Terdakwa dan kurang mempertimbangkan hal yang memberatkan bagi Terdakwa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, sehingga judex juris kemudian memperberat pemidanaan kepada Terdakwa, yaitu pidana penjara menjadi 7 tahun dari 4 tahun, pidana denda menjadi Rp. 200.000.000,- subsidair 6 bulan kurungan dari Rp. 200.000.000,- subsidair 5 bulan kurungan, dan menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Kasasi menyatakan bahwa:

    Berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah wewenang judex facti, akan tetapi secara kasuistis prinsip umum tersebut pernah disimpangi dalam putusan MA No. 47K/Pid/1979 tangal 7 Juni 1982. Kejahatan korupsi oleh Undang-Undang diancam dengan pidana maksimum seumur hidup sehingga dengan kedudukan terdakwa sebagai pemegang kekuasaan publik yang melakukan korupsi politik serta berupaya mempengaruhi putusan hakim Mahkamah Konstitusi dipandang perlu dijatuhi pidana yang setimpal dengan sifat berbahayanya kejahatan tersebut. Dengan demikian putusan yang dijatuhkan harus memadai ditinjau baik dari segi edukatif, preventif, korektif, maupun represif.” (more…)

  • Awal tahun 2016 ini, ada sebuah peristiwa yang berhasi menarik perhatian masyarakat Indonesia secara luas, yaitu meninggalnya I Wayan Mirna setelah meminum kopi Vietnam di gerai kopi Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata kopi yang diminum oleh Mirna mengandung racun sianida dan dipercaya racun tersebutlah yang menyebabkan Mirna meninggal. Pemeriksaan pun bergulir hingga akhirnya ditetapkanlah salah seorang teman Mirna, Jessica Kemala Wongso, yang pada saat itu adalah orang yang memesankan kopi yang diminum oleh Mirna, sebagai Tersangka.

    Seiring berjalannya waktu, kemudian disinyalir bahwa Jessica memiliki gangguan kejiwaan. Hal ini membuat penyidik meminta bantuan ahli psikiatri untuk memeriksa kesehatan jiwa Jessica. Polemik pun bergulir mengenai bagaimana kelanjutan kasus ini dengan kondisi kesehatan jiwa Jessica. Ada pihak yang menyatakan apabila Jessica terbukti memiliki gangguan kejiwaan, maka ia tidak dapat dihukum (dipidana). Ada juga yang menyatakan masih bisa. Pemeriksaan kesehtaan jiwa Jessica sendiri sampai saat ini masih berlangsung.

    Ada hal yang menarik untuk kita lihat bersama dari peristiwa ini, terutama mengenai bagaimana apabila Jessica memang terbukti memiliki gangguan kejiwaan? Apakah perkaranya dapat terus dilanjutkan, atau apakah akan berhenti karena tidak dapat dimintai pertangungjawaban pidana berdasarkan ketentuan Pasal 44 Ayat (1) KUHP? Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai bagaimana hubungan antara gangguan kejiwaan dan kemampuan bertanggung jawab secara pidana tersebut mulai dari definisi kemampuan bertanggung jawab secara pidana itu sendiri menurut para ahli pidana hingga sejarah pengaturannya. (more…)

  • Beberapa waktu yang lalu, beredar Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt Of Court/CoC), yang diusulkan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). RUU CoC ini langsung menarik perhatian publik terkait materi-materi yang diatur dalam RUU tersebut. Arus penolakan terhadap RUU ini juga sudah dilakukan beberapa pihak, seperti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI (MaPPI FHUI) (selengkapnya baca disini), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers (selengkapnya baca disini), dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (selengkapnya baca disini). Secara garis besar, penolakan yang dilakukan pihak-pihak di atas karena materi dalam RUU CoC ini mengandung duplikasi materi dalam undang-undang lain, seperti KUHP, sehingga dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih pengaturan, adanya pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi beberapa pihak, dan adanya potensi semakin terbatasinya akses publik terhadap pengadilan. Dan memang, berdasarkan RUU CoC yang penulis terima, ada beberapa materi dalam RUU tersebut yang menurut penulis harus kita kritisi bersama.

    Perlu penulis jelaskan, bahwa tulisan ini tidak akan fokus membahas mengenai materi tentang Contempt of Court itu sendiri. Tulisan ini hanya akan membahas mengenai materi-materi yang ada di dalam RUU Contempt of Court hasil revisi atas draft RUU CoC versi IKAHI, bukan RUU CoC versi IKAHI. Kalaupun ada pembahasan mengenai Contempt of Court itu sendiri, maka hal tersebut hanya pengayaan dalam pembahasan tulisan ini. (more…)

  • Selasa, 20 Oktober 2015, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan hasil fit and proper test calon Komisiner Komisi Yudisial (KY). Berdasarkan hasil rapat pleno Komisi III, DPR hanya menyetujui 5 dari 7 nama untuk kemudian dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi komisioner KY[1]. 5 nama yang disetujui oleh DPR tersebut antara lain[2]:

    1. Joko Sasmito, mantan Hakim Pengadilan Militer (unsur hakim);
    2. Maradaman Harahap, mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kota Semarang (unsur hakim);
    3. Sumartoyo, advokat (unsur praktisi hukum);
    4. Farid Wajdi Lubis, advokat (unsur praktisi hukum); dan
    5. Sukma Violetta, Tim Asistensi Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI (unsur masyarakat).

    Sedangkan, 2 nama yang tidak disetujui oleh DPR adalah Harjono, yang adalah mantan Hakim Agung dan mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2009 serta Wiwiek Awiati, yang adalah Dosen Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, yang saat ini aktif sebagian bagian dari Tim Pembaharuan Mahkamah Agung. Baik Harjono, maupun Wiwiek Awiati adalah wakil dari unsur akademisi.

    Perlu diketahui, bahwa sistem pemilihan Komisioner KY dengan sistem persetujuan DPR adalah sistem baru pasca putusan MK nomor 16/PUU-XII/2014 tertanggal 23 Desember 2014. Sebelum putusan MK ini, sistem pemilihan yang ada adalah Pansel menyampaikan 21 nama calon anggota KY kepada Presiden, yang kemudian akan disampaikan Presiden kepada DPR untuk kemudian DPR memilih dan menetapkan 7 calon dari 21 calon. Setelah itu, DPR akan menyampaikan 7 calon pilihannya kepada Presiden untuk dilantik sebagai Komisioner KY[3]. Sistem yang ada saat ini, sesuai dengan putusan MK tersebut, adalah Presiden membentuk panitia seleksi pemilihan anggota Komisi Yudisial (Pansel) yang nantinya akan menyampaikan 7 nama calon anggota Komisi Yudisial setelah rangkaian seleksi yang dilaksanakan oleh Pansel. Kemudian, Presiden akan menyampaikan 7 nama calon tersebut kepada DPR dan DPR berwenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui 7 calon yang disampaikan Presiden. Kemudian, calon yang disetujui DPR akan disampaikan kepada Presiden untuk kemudian dilantik menjadi Komisioner KY. (more…)